Hijrah ke Madinah (bagian 2)

Setelah melalui berbagai rintangan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama rombongan akhirnya berhasil memasuki kota Madinah. Di kota inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membangun masyarakat baru yang dipenuhi dengan nilai-nilai keislaman.

 

Masjid Pertama

Tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah bersama rombongan. Saat itu, para sahabat Anshar banyak yang belum mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Baru ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bernaung dan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu melindungi beliau dari terik matahari, mereka mengenal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Saya ikut menyaksikan hari masuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah. Saya tidak pernah melihat satu hari pun yang lebih baik dan lebih cerah dibandingkan hari itu. Saya juga menyaksikan hari wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya belum pernah melihat hari yang lebih buruk (keadaannya) dan lebih gelap dibandingkan hari itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di Quba, di tempat Kultsum bin al-Hidmi di perkampungan bani ‘Amr bin ‘Auf selama beberapa hari dan mulai membangun Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun sejak beliau tiba di Madinah.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, masjid apa yang pertama dibangun di atas dasar ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَا تَقُمۡ فِيهِ أَبَدٗاۚ لَّمَسۡجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقۡوَىٰ مِنۡ أَوَّلِ يَوۡمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِۚ فِيهِ رِجَالٞ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُطَّهِّرِينَ ١٠٨

“Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, adalah lebih patut bagimu untuk shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah: 108)

Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Masjid Quba, dan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahhak, dan al-Hasan. Mereka berpegang kepada kalimat: مِنۡ أَوَّلِ يَوۡمٍ (sejak hari pertama), Masjid Quba adalah yang pertama kali dibangun di Madinah sebelum Masjid Rasulullah (Masjid Nabawi).

Demikian juga pendapat Ibnu ‘Umar, Sai’d bin al-Musayyab, dan al-Imam Malik menurut riwayat Ibnu Wahb, Asyhab, dan Ibnul Qasim rahimahumullah. Setelah menukilkan beberapa hadits, al-Imam al-Qurthubi dalam Tafsir-nya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa masjid yang dimaksud adalah Masjid Quba.

Demikian pula pendapat asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam at-Taisir. Wallahu a’lam.

Namun ada pula yang mengatakan, masjid itu adalah Masjid Nabawi. Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu tentang dua orang sahabat yang berdebat tentang masjid yang dimaksud dalam ayat ini, kemudian disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kata beliau, “Itu adalah masjidku ini.” Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata bahwa hadits ini sahih. Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa susunan ayat ini mengarah kepada Masjid Quba, kemudian beliau meneruskan, dengan menukil riwayat al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dari hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu sebelumnya, dan berkata, “Ini sahih, dan tidak ada pertentangan antara ayat dengan hadits tersebut. Karena kalau Masjid Quba dianggap sebagai masjid pertama yang didirikan di atas dasar ketakwaan, maka Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentunya lebih utama dan lebih pantas.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/474, dan Tafsir al-Qurthubi)

Setelah itu, beliau bertolak ke Madinah. Beberapa orang sahabat mencoba memegang tali kendaraan beliau dan menuntunnya dengan niat mengajak beliau singgah di tempatnya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dibiarkan karena kendaraannya diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Akhirnya, rombongan tiba di lokasi masjid yang sekarang ini.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengisahkan bahwa al-Imam az-Zuhri rahimahullah menceritakan, beberapa kali unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berputar dan akhirnya kembali di tempat dia menderum pertama kali (di lokasi masjid sekarang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dan segera disambut oleh Abu Ayyub, yang masih keluarga bibi beliau dari bani Najjar.

Tanah lokasi masjid itu sebetulnya milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang diasuh As’ad bin Zurarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli tanah itu dari keduanya untuk didirikan masjid di atasnya. Setelah membersihkan tanah itu dari kuburan kaum musyrikin dan pohon-pohon gharqad, mulailah tanah itu diratakan. Beberapa batang kurma ditebang dan disusun di arah kiblat masjid. Ukuran panjangnya (dari kiblat sampai ke belakang) ketika itu sekitar 100 hasta (kira-kira 50 m). Begitu pula kedua sisinya, hampir sama, sedangkan fondasinya sekitar 3 hasta. Kemudian dibangun dengan bata.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak duduk diam dalam membangun masjid ini, bahkan ikut mengangkat dan memindahkan tanah. Ketika itu, kiblat masih diarahkan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), atapnya dari pelepah-pelepah kurma. Setelah itu baru dibangun rumah untuk istri-istri beliau.

 

Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar

Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka dipersaudarakan atas persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya peristiwa Badr. Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat,

وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah....” (al-Anfal: 75)

Pewarisan dikembalikan kepada hubungan darah dan tidak lagi berdasarkan ukhuwwah diniyyah (persaudaraan seagama) ini.

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam Tafsir-nya bahwa ayat ini menyatakan pewarisan di antara sesama kerabat lebih utama daripada saling mewarisi antara Muhajirin dan Anshar. Ayat ini me-nasikh (menghapus) hukum warisan sebelumnya yang berdasarkan hilf (perjanjian) persaudaraan yang terjadi di antara mereka. Kemudian beliau menukilkan riwayat dari az-Zubair bin al-‘Awwam radhiallahu ‘anhu yang dipersaudarakan dengan Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa seandainya Ka’b bin Malik meninggal dunia ketika itu, dialah yang akan mewarisinya. Lalu turunlah ayat ini.

Begitu eratnya persaudaraan ini, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang keadaan ini dalam firman-Nya,

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (yakni kaum Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam Tafsir-nya, “Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang Anshar, menjelaskan betapa tinggi kedudukan, kemuliaan, kemurahan, tidak adanya kedengkian pada diri mereka, dan justru sebaliknya mereka mempunyai sikap suka mengutamakan serta mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan.”

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan pula betapa mereka mencintai orang-orang Muhajirin yang datang kepada mereka, yang semua ini didorong oleh kemuliaan pribadi mereka. Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka kedengkian terhadap kedudukan dan kemuliaan orang-orang Muhajirin, meskipun mereka disebut oleh Allah pertama kali (dalam ayat tersebut).

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

دَعَا النَّبِيُّ الْأَنْصَارَ إلِى أَنْ يُقْطِعَ لَهُمُ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوْا: لاَ إِلاَّ أَنْ تُقْطِعَ لإِخْوَانِنَا مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ مِثْلَهَا. قَالَ: إِمَّا لاَ، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ فَإِنَّهُ سَيُصِيْبُكُمْ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang orang-orang Anshar untuk dibagikan kepada mereka harta Bahrain, namun mereka berkata, ‘Tidak, kecuali kalau engkau bagikan pula seperti itu kepada saudara-saudara kami kaum Muhajirin atau tidak sama sekali.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Kalau begitu bersabarlah, sampai kalian bertemu denganku. Karena sesungguhnya kalian akan dapati adanya atsarah (sikap pemimpin yang mengutamakan diri sendiri) sepeninggalku’.”

Berkaitan dengan ayat tadi, disebutkan pula oleh Ibnu Katsir rahimahullah bagaimana para sahabat Anshar mendahulukan kepentingan orang lain dari diri mereka sendiri. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan,

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيْفُ هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: أَنَا. فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ: أَكْرِمِيْ ضَيْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا إِلا قُوْتُ صِبْيَانِيْ. فَقَالَ: هَيِّئِيْ طَعَامَكِ وَأَصْبِحِيْ سِرَاجَكِ وَنَوِّمِيْ صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوْا عَشَاءً. فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ فَبَاتَا طَاوِيَيِْن فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ضَحِكَ اللهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ }وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ{

“Abu Hurairah menceritakan, ‘Ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau perintahkan supaya menemui istri-istri beliau. Namun kata mereka, ‘Kami tidak punya sesuatu kecuali air (minum).’

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Siapa yang menjamu tamu ini?’

Tiba-tiba seorang sahabat Anshar bekata, ‘Saya, wahai Rasulullah.’

Berangkatlah dia membawanya ke rumah. Sahabat Anshar ini berkata kepada istrinya, ‘Muliakan (jamulah) tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.’

Wanita itu berkata, ‘Kita tidak punya apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.’

Suaminya berkata, ‘Siapkan makananmu itu, perbaiki pelitamu dan tidurkan anak-anakmu. Kalau mereka minta makan, alihkan perhatian mereka.’

Wanita itu melaksanakan perintah suaminya, dia mulai menidurkan anak-anak, menyiapkan makanan, dan berdiri seakan-akan mau memperbaiki pelita lalu memadamkannya. Mereka pun berbuat seolah-olah memperlihatkan kepada tamunya itu bahwa mereka juga ikut makan bersamanya. Setelah itu mereka berdua tertidur meringkuk menahan lapar. Keesokan harinya laki-laki itu menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, ‘Allah subhanahu wa ta’ala tertawa melihat perbuatan kalian terhadap tamu kalian tadi malam.’

Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, ‘… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung’.

Beliau meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

قَدِمَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْمَدِينَةَ فَآخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ الأَنْصَارِيِّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يُنَاصِفَهُ أَهْلَهُ وَمَالَهُ فَقَالَ عَبْدُالرَّحْمَنِ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلَّنِي عَلَى السُّوْقِ فَرَبِحَ شَيْئًا مِنْ أَقِطٍ وَسَمْنٍ

“Abdurrahman bin ‘Auf tiba di Madinah, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Sa’d bin ar-Rabi’ al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Lalu Sa’d menawarkan kepadanya untuk membagi dua hartanya dan istrinya (dia menceraikan istrinya agar setelah ‘iddahnya selesai, dinikahi oleh Abdurrahman). Namun Abdurrahman berkata, ‘Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku pasar.’ (Dia berjualan di sana) dan akhirnya mendapat keuntungan, mula-mula dia dapatkan aqith (susu yang dikeringkan) dan minyak samin….”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Yakni, persaudaraan seiman, bukan sedarah atau seketurunan. Dikatakan bahwa persaudaraan seiman lebih kokoh daripada persaudaraan sedarah. Karena persaudaraan senasab (sedarah, seketurunan) akan terputus apabila salah satunya berbeda agama dengan yang lain. Sebaliknya, persaudaraan seiman tidak akan terputus meskipun nasabnya berbeda.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pula sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُِحبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak (sempurna) iman salah seorang dari kalian, sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.”

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang kokoh, saling menguatkan satu sama lain. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalin jemarinya.”

dan,

تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Kamu lihat kaum mukminin itu dalam kasih sayang dan perasaan di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh itu mengeluh kesakitan, maka seluruh badan merasakan panas (demam) dan tidak bisa tidur.”

Berbagai kisah tentang persaudaraan kaum mukminin yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini, banyak kita dapati dalam berbagai kitab sejarah, tafsir, dan lainnya. Namun mampukah kita menerapkannya dalam kehidupan kita di zaman di mana persaudaraan dan hubungan kasih sayang diikat dan dinilai dengan materi, harta benda dunia?

Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan Syaqiq bin Ibrahim dalam buku al-Fawaid yang menerangkan beberapa hal yang menjadi sebab terhalangnya seseorang mendapat taufik, di antaranya adalah tertipu atau merasa bangga duduk dan bergaul bersama orang-orang saleh, tapi tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka.

Di sisi lain, kita juga membaca buku-buku sejarah hidup para ulama as-salafush shalih, membahas karya-karya mereka, namun sudahkah kita meniru akhlak mereka dan menerapkannya dalam kehidupan? Hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal.

Wallahul muwaffiq.

(Bersambung)

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib

hijrahkisah para nabisirah nabawiyah