Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (4)

 SYARAT KELIMA

Akad jual beli dari pemilik barang atau yang menggantikan posisinya

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil kecuali berupa perdagangan yang diadakan atas keridhaan masing-masing di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian.” (an-Nisa`: 29)

Karena itu tidak diperbolehkan mengurusi harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Juga dengan dalil hadits:

        “Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (tidak ada padamu).” (HR. Ahmad 3/401, 403 dan Ashhabus Sunan dengan sanad shahih, lihat Al-Irwa` no. 1292)

Adapun pihak yang menggantikan posisi pemilik, terbagi menjadi 2 kategori:

  1. Pihak yang diizinkan secara syar’i, yaitu wali.

        Wali ini dibagi menjadi 2 macam:

  1.  Wali khusus, yaitu pihak yang mengurusi harta anak kecil/yatim, orang gila, atau orang yang tidak bisa mengelola hartanya.
  2.  Wali umum, yaitu pemerintah. Mereka mengurusi hal-hal berikut:

                –    Harta benda yang tidak diketahui pemiliknya.

                –    Harta anak yatim yang tidak mem-punyai wali khusus yang mengurusi hartanya.

                –    Menjual harta/aset seseorang yang telah wajib membayar hutangnya jika yang bersangkutan tidak mau menjual hartanya untuk memenuhi kewajibannya

3.  Pihak yang diizinkan oleh sang pemilik barang/harta.

        Mereka terdiri dari 3 jenis:

  1.  Al-Wakil, yaitu seseorang yang mengurusi harta orang lain semasa hidupnya dengan izinnya.
  2.  Al-Washi, yaitu seseorang yang mengurusi harta orang lain sepeninggalnya dengan izin atau wasiat darinya. Dalam masalah ini ada catatan:

                –    Harta yang diurusi tidak boleh lebih dari sepertiganya

                –    Diperbolehkan bagi salah seorang ahli waris untuk menjadi al-washi

       3. Pengurus harta wakaf, yaitu seseorang yang mengurus harta wakaf sesuai dengan kemaslahatannya. Orang yang seperti ini ada 2 jenis:

                – Diberi izin oleh pewakaf.

                – Diberi izin oleh pemerintah.

Masalah 44: Jika ada seseorang datang lalu mengambil barang dagangan orang lain dan menjual barang tersebut di depan sang pemilik. Kemudian dia menyerahkan uangnya kepada sang pemilik dalam keadaan sang pemilik diam saja, tidak menyetujui dan tidak pula mengingkari. Apakah jual belinya sah?

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

  1. Jumhur ulama berpendapat jual belinya tidak sah.
  2. Ibnu Abi Laila berpendapat jual belinya sah.

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, karena sang pemilik tidak memberinya izin. Adapun sikap diamnya tidaklah menunjukkan keridhaan atau persetujuannya.

 

Masalah 45: Jual beli fudhuli (orang yang melakukan tindakan spekulasi)

Fudhuli adalah seseorang yang tidak memiliki barang, dan tidak pula diizinkan dalam akad oleh sang pemilik barang.

Jika seorang Fudhuli membeli atau menjual barang untuk seseorang tanpa seizin pemiliknya, bagaimana hukumnya?

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat:

  1.  Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad menyatakan batalnya akad jual beli tersebut.
  2.  Jumhur ulama berpendapat bahwa akad itu tergantung izin orang lain tersebut. Kalau dia mengizinkan maka sah, kalau tidak maka tidak sah.

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, dengan dasar hadits ‘Urwah Al-Bariqi radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku 1 dinar agar aku membelikan beliau seekor kambing. (Dengan uang itu) aku belikan 2 ekor kambing, lalu aku jual salah satunya dengan harga 1 dinar. Lalu aku bawa kambing dan 1 dinar tadi kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka diceritakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perkara kambing tersebut, dan beliaupun berdoa:

“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahimu pada perdaganganmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/79)

Dalam hadits di atas, ‘Urwah Al-Bariqi melakukan 2 tindakan fudhuli sekaligus:

  1.  Membeli 2 ekor kambing, padahal dia diperintahkan untuk membeli 1 ekor kambing.
  2.  Menjual salah satunya.

 

 

Beberapa Masalah Seputar Makelar/Broker

  1. Apa hukum upah makelar?

Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan, dengan dasar hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma riwayat Al-Imam Al-Bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang kota menjualkan barang orang dusun. Maka Thawus bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma: “Apa maksudnya?” Beliau menjawab:

        “Tidak boleh (orang kota) jadi makelarnya (orang dusun).”

Sisi pendalilannya, jika orang kota dilarang menjadi makelar orang dusun, berarti orang kota boleh menjadi makelar orang kota, orang dusun boleh menjadi makelar orang dusun, dan orang dusun boleh menjadi makelar orang kota.

  1. Apa hukumnya mengambil upah yang diberikan perusahaan dagang tertentu (supplier) kepada karyawan bagian pembelian dari perusahaan lain?

Tidak diperbolehkan mengambil upah/uang tersebut kecuali dengan izin dari perusahaan yang menugasinya. Wallahu a’lam. Demikian jawaban dari Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adani hafizhahullah. Lihat juga Fatwa Al-Lajnah (13/126).

  1.  Karyawan bagian pembelian barang sebuah perusahaan datang kepada perusahaan dagang lainnya (perusahaan pemasok barang/supplier), lalu dia meminta kepada perusahaan tersebut agar menaikkan harga barang dalam catatan notanya. Apa hukumnya?

Jawab: Perbuatan di atas sangat jelas keharamannya, dan termasuk memakan harta orang dengan kebatilan. Juga mengandung unsur menipu/membohongi perusahaannya sendiri.

  1. Si A memberikan uang kepada si B sejumlah Rp.100.000 untuk membeli sebuah barang. Lalu si B membelinya dengan harga Rp.80.000
    Si B tidak boleh mengambil sisa uang itu kecuali dengan izin si A. Begitu pula kalau si A menyuruh si B untuk menjual barang dengan harga Rp.80.000 lalu si B menjualnya dengan harga Rp.100.000 maka si B tidak diperkenankan mengambil kelebihan uang tersebut kecuali seizin si A.
  2. Bolehkah menentukan upah makelar dengan 5%, 10%, atau semisalnya?
    Masalah ini dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/129-130): “Bila memang ada kesepakatan antara makelar, penjual dan pembeli, bahwa makelar akan mendapatkan komisi dari penjual atau pembeli atau dari keduanya dengan prosentase tertentu, maka diperbolehkan. Tidak ada batasan tertentu dalam hal ini. Ini tergantung kesepakatan dan kerelaan dari pihak yang memberikan komisi tersebut. Namun seyogyanya hal itu masih dalam batas keumuman yang ada di masyarakat, untuk memberikan manfaat kepada makelar atas upaya dan usaha yang dia kerahkan dalam menyelesaikan akad antara penjual dan pembeli. Juga tidak ada unsur merugikan penjual atau pembeli dengan tambahan yang di luar kebiasaan. Wabillahit taufiq.”

Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.

SYARAT KEENAM

Barang yang diperjualbelikan harus diketahui dengan cara dilihat atau dengan kriteria/spesifikasinya


Masuk pula dalam syarat ini: harga dan tempo harus diketahui. Syarat ini dijadikan oleh sebagian ulama sebagai syarat ketujuh.

Kalimat ‘dengan cara dilihat’, mencakup barang yang harus dilihat keseluruhannya dan barang yang bisa dilihat sebagiannya untuk mewakili lainnya.
Termasuk di sini adalah yang mungkin diketahui dengan mencium, mendengar, dan merasakannya.

Masalah 46: Menjual barang tidak di tempat, yang tidak dilihat sebelumnya dan tidak diketahui spesifikasinya.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1.  Jumhur ulama berpendapat tidak sah dan tidak diperbolehkan, karena ada unsur gharar (penipuan). Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang melarang hal tersebut, juga dengan ayat:

        “Kecuali berupa perdagangan yang diadakan atas keridhaan masing-masing di antara kalian.”

Sementara tidak mungkin tercapai kata saling ridha pada jual beli sesuatu yang tidak diketahui jenisnya.

  1. Abu Hanifah, satu riwayat Ahmad, satu pendapat Asy-Syafi’i, dan yang dirajihkan Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani dalam As-Sail, serta Ibnu Utsaimin. Mereka berpendapat bahwa jual belinya sah, dan sang pembeli punya khiyar (pilihan) untuk melihat barang tersebut. Mereka berhujjah dengan atsar ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dalam masalah ini.

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama. sedangkan atsar ‘Utsman bin ‘Affan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang dha’if. Wallahu a‘lam, lihat fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/86-87).

Masalah 47: Jual beli barang tidak di tempat namun diketahui spesifikasinya.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1.  Yang mashyur dari madzhab Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan pendapat yang dipilih Asy-Syaukani dalam As-Sail, bahwa jual beli tersebut tidak sah.
  2.  Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, Makhul, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan Ashabur Ra`yi berpedapat bahwa jual belinya sah, dan sang pembeli punya hak khiyar (memilih untuk meneruskan atau membatalkan) baik barangnya sesuai dengan kriteria ketika dilihat ataupun tidak.
  3.  Malik, Ahmad, Ibnu Sirin, Ayyub, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Azh-Zhahiriyah, dan mayoritas ahlul Madinah berpendapat bahwa jual belinya sah, dan sang pembeli punya hak khiyar bila barang tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan. Bila sesuai, maka dia tidak punya hak khiyar.
    Pendapat terakhir inilah yang shahih dengan dasar hadits tentang masalah jual beli sistem salam[1]. Wallahu a’lam.

Masalah 48: Jual beli sampel/contoh

Maksudnya, sang penjual membawa contoh barang yang hendak dijual, kemudian ditaruh di tokonya atau etalase, di mana barang serupa masih banyak di gudang. Jika ada pembeli datang dan membeli salah satu satu barang, maka dia ambilkan di gudang.

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di antara ulama:

  1.  Yang mashyur dalam madzhab Hambali adalah jual beli tersebut batil. Karena sang pembeli tidak melihat barang sesungguhnya sewaktu akad.
  2.  Syafi’iyah berpendapat boleh bila contoh yang dipajang termasuk barang yang dijual. Misalnya, ia memajang 1 gelas kaca, sedangkan di gudang ada 11 barang lainnya. Bila dia menjual 1 lusin gelas tadi maka sah, tapi kalau tidak mau menjual contohnya maka tidak sah.
  3.  Malikiyah, Hanafiyah, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dirajihkan oleh As-Sa’di dan Ibnu ‘Utsaimin: Jual belinya sah. Dan inilah yang shahih, wallahu a‘lam.

Masalah 49:Jual beli dengan orang buta

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1.  Ulama Syafi’iyah menyatakan tidak sah, sebab barang yang dijual harus dilihat.
  2.  Jumhur ulama berpendapat jual belinya sah. Adapun untuk mengetahui barang bisa dengan cara meraba, mencium, merasakan atau dengan gambaran yang disebutkan orang lain yang dia ridha.

Pendapat ini yang benar, dengan dasar keumuman ayat:

        “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli.” Wallahu a‘lam.

Masalah 50: Jual beli dengan nomor

Maksudnya sang penjual mencantumkan harga masing-masing pada barang itu sendiri berikut dengan nomornya.

Jawab: Bila sang penjual dan pembeli mengetahui harga yang tergantung berupa nomor pada barang tersebut, maka diperbolehkan tanpa ada perbedaan pendapat.

Termasuk Syarat Jual Beli adalah Harga dan Tempo Diketahui

Dalil untuk persyaratan tempo adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (al-Baqarah: 282)

Juga dengan kesepakatan ulama yang dinukil oleh Ibnu Abdil Barr, begitu pula An-Nawawi dengan ucapannya: “Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan jual beli dengan harga tertentu sampai pada tempo yang tidak diketahui.”

Masalah 51: Hukum tempo sampai panen atau dapat gaji bulanan
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1.  Jumhur ulama berpendapat tidak sah jual beli dengan cara pembayaran seperti ini. Sebab, gaji atau panen kadang terlambat atau bahkan tidak ada sama sekali.
    2.    Malik, Abu Tsaur, dan satu riwayat dari Ahmad, membolehkan sistem tempo dengan cara di atas. Sebab, secara kebiasaan waktunya diketahui yaitu akhir/awal bulan/tahun.
    Yang rajih adalah pendapat kedua. Wallahu a‘lam.

Masalah 52: Hukum tempo hingga ada kemudahan

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1.  Jumhur ulama berpendapat tidak sah. Sebab tidak diketahui kapan tercapainya kemudahan.
  2.  Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hazm, dipilih oleh Ash-Shan’ani dan yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, bahwa sistem tersebut diperbolehkan, dengan dalil berikut:
  3.  Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan apabila ia memiliki kesusahan maka diberi tangguh hingga ia mendapatkan kemudahan.”

  1. Hadits ‘Aisyah, riwayat At-Tirmidzi (4/404), Ahmad (6/147) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli 2 baju dari orang Yahudi, hingga waktu maisarah (kemudahan).

Hadits ini dimasukkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad 2/488-489 dan beliau berkata: “Hadits shahih atas syarat Syaikhain.”

Yang rajih adalah pendapat kedua. Dan masalah ini menunjukkan kuatnya pendapat yang dirajihkan pada masalah sebelumnya, karena waktu kemudahan lebih tidak dapat dipastikan lagi. Wabillahit taufiq.

Adapun alasan persyaratan ‘Harga harus diketahui nilai/ukurannya’ adalah sebagai berikut:
a.    Jual beli dengan harga yang tidak diketahui termasuk sistem gharar (penipuan). Dan hal itu terlarang, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

b. Mengakibatkan tidak tercapainya syarat ‘saling ridha’ antara penjual dan pembeli, karena masing-masing menginginkan harga yang sesuai.

Masalah 53: Jual beli dengan harga “seperti yang dijual/dibeli si fulan”

Gambarannya, sang pembeli berkata kepada sang penjual: “Berapa harga barang ini?” dan dijawab: “Seperti yang dijual si fulan”, atau “Seperti harga pasaran”, atau yang semisalnya, dalam keadaan sang pembeli tidak mengetahui harga pasarnya.
Masalah-masalah ini ada perbedaan pendapat:

  1.  Jumhur ulama berpendapat, tidak sah karena harga tidak diketahui (ada unsur gharar).
  2.  Satu sisi pendapat Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim: diperbolehkan dan harganya dipatok berdasarkan harga pasar barang tersebut.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Masalah ini dan yang semisalnya yang dikatakan tidak diketahui atau diketahui, harus dilihat hakikatnya. Bila diyakini ada unsur gharar maka dilarang. Kalau tidak ada maka hukum asalnya adalah boleh.”

Yang rajih adalah pendapat kedua dengan rincian dari As-Sa’di. Sehingga bila harga pasar baku/tidak berubah-ubah, maka tidak mengapa. Wallahu a‘lam.

Demikian uraian singkat tentang perniagaan dalam Islam, bila persyaratan di atas terpenuhi maka sahlah akad jual beli itu. Namun bila salah satunya tidak terpenuhi, maka berubah menjadi jual beli yang terlarang.

Bila masalah-masalah di atas dipahami, maka pada edisi berikutnya kita akan membahas seputar masalah khiyar dan riba untuk melengkapi pembahasan edisi ini, insya Allah. Wallahul muwaffiq.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Afifuddin

Maraji’:
        1.    Syarah Buyu’ min Kitab Ad-Darari, karya Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adani.

  1.  Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia.

[1]  Sistem salam yaitu seseorang memberikan uang di majelis transaksi, dengan syarat nanti penjual memberikan barang sesuai yang dipesan, sampai waktu tertentu.

 

hukum jual beliJual beli