Kesamaran yang Mengancam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)

An-Nu‘man bin Basyir z berkata: Aku mendengar Rasulullah r bersabda:

An-Nu‘man bin Basyir z berkata: Aku mendengar Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara samar (syubhat/tidak jelas halal haramnya) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa berhati-hati dari perkara samar (syubhat) ini, berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa jatuh dalam perkara syubhat, berarti ia jatuh dalam keharaman, seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut. Ketahuilah, setiap raja itu memiliki daerah larangan. Ketahuilah, daerah larangan Allah adalah perkara-perkara yang Allah haramkan. Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila baik segumpal darah itu maka baik pula seluruh jasad. Sebaliknya apabila rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati1.”
(HR. Al-Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599)

Seputar Sanad Hadits
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali t berkata: “Hadits yang disepakati keshahihannya ini diriwayatkan Asy-Sya’bidari An-Nu’man bin Basyir c. Pada sebagian lafadznya ada beberapa tambahan dan pengurangan namun maknanya satu ataupun hampir sama. Hadits ini diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar bin Yasir, Jabir, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas –semoga Allah I meridhai mereka semuanya– , namun hadits An-Nu’man inilah yang shahih di antara hadits-hadits yang lain di dalam bab ini.” (Jami’ul ‘Ulum, 1/193)
Penduduk Madinah, Al-Waqidi dan selainnya mempertanyakan sima‘ (pendengaran) An-Nu‘man2 terhadap hadits ini dari Rasulullah r. Namun Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadits ini dengan sanadnya sampai kepada Asy-Sya‘bi, ia berkata:

“Aku mendengar An-Nu’man berkata: “Aku mendengar Rasulullah r bersabda (sambil ia mengisyaratkan dengan dua jarinya ke arah dua telinganya).” Lalu An-Nu’man menyebutkan hadits tersebut.
Dengan riwayat ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar t mengatakan bahwa di sini ada bantahan terhadap pendapat Al-Waqidi dan orang-orang yang mengikutinya yang mereka menyatakan bahwa tidak benar An-Nu‘man mendengar dari Rasulullah r.” (Fathul Bari, 1/158)
Begitu pula Yahya ibnu Ma‘in menetapkan sima‘ An-Nu’man dari Rasulullah r dalam hadits ini. (Tahdzib, 10/400)
Karena hadits ini diriwayatkan dari jalan Zakariya ibnu Abi Zaidah dari Asy-Sya’bi, maka yang dipermasalahkan di sini adalah Zakariya. Ia disifati dengan tadlis3 khususnya dalam riwayatnya dari Asy-Sya‘bi. Sebagaimana dikatakan Abu Zur‘ah, Abu Hatim, dan Abu Dawud bahwasanya Zakariya ini adalah rawi yang shaduq (terpercaya) namun ia biasa melakukan tadlis dalam riwayatnya dari Asy-Sya‘bi. Ad-Daraquthni juga mensifatkannya dengan tadlis. (Hadyus Sari hal. 538, Thabaqatul Mudallisin hal. 31, Tabyinul Asma Al-Mudallisin hal. 82)
Dijawab oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar t: “Tidaklah aku dapatkan periwayatan Zakariya dari Asy-Sya’bi dalam Ash-Shahihain dan selain keduanya kecuali mu’an’an (periwayatan perawi dengan mengatakan ‘an (dari)).  Kemudian aku dapatkan dalam Fawaid Ibnu Abil Haitsam dari jalan Yazid bin Harun dari Zakariya, ia mengatakan dengan lafadz haddatsana (telah menceritakan kepada kami) Asy-Sya’bi (). Dengan adanya riwayat yang demikian ini, amanlah kita dari kekhawatiran tadlis Zakariya dari Asy-Sya’bi (dalam hadits ini).” (Fathul Bari 1/158)
Sebenarnya dalam riwayat Al-Imam Ahmad t (Musnad Ahmad, 4/270) didapatkan bahwa Zakariya juga secara jelas menyatakan tahdits (ia mendengar langsung dari Asy-Sya‘bi), demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ghayatul Maram (hal. 32).
Perlu kita ketahui pula bahwa Al-Imam Al-Bukhari ataupun Al-Imam Muslim menjauhkan perawi-perawi mudallis dalam periwayatannya, kecuali perawi mudallis itu telah disaring hadits-haditsnya ataupun periwayatannya dengan mutaba’ah (pengikutan) karena ketatnya persyaratan kedua imam tersebut. Oleh karena itu, kita aman dari tadlis Zakariya. Terlebih lagi, terdapat pula mutaba‘ah (pengikutan) dari Abu Farwah dan yang lainnya. Juga dalam riwayat Al-Bukhari, Muslim dan selain keduanya.
Abu ‘Amr Ad-Dani menyatakan bahwa hadits ini tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi r kecuali An-Nu‘man bin Basyir. Namun sebelumnya sudah kita paparkan di atas dari perkataan Al-Hafidz Ibnu Rajab bahwa hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat-shahabat yang lainnya. Demikian pula Al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan bahwa kalau yang dimaksud itu dari sisi keshahihannya maka itu bisa diterima (yakni tidak ada yang shahih dari riwayat shahabat yang lain kecuali riwayatnya An-Nu‘man ini). Namun kalau bukan itu yang dimaksud maka sebenarnya hadits ini diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar dan ‘Ammar dalam Al-Ausath oleh Al-Imam Ath-Thabrani, Ibnu ‘Abbas dalam Al-Kabir dan dari Watsilah dalam At-Targhib oleh Al-Ashbahani. Namun terdapat kritikan (yang mencacatkan hadits) pada semua sanadnya. (Fathul Bari, 1/158)
Abu ‘Amr Ad-Dani dan selainnya mengatakan bahwa lafadz yang menunjukkan permisalan:

“…seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan…”
adalah mudraj dari Asy-Sya‘bi (sisipan ucapan perawi, bukan sabda Nabi r).
Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar: “Aku tidak mendapatkan bukti dari anggapan demikian, hanya saja didapatkan dari Ibnul Jarud dan Al-Isma’ili dari riwayat Ibnu ‘Aun dari Asy-Sya’bi, adanya perkataan Ibnu ‘Aun pada akhir hadits: “Aku tidak tahu apakah permisalan ini merupakan sabda Nabi r atau perkataan Asy-Sya’bi.”
Kemudian beliau berkata: “Keraguan Ibnu ‘Aun dalam menyandarkan hadits ini kepada Rasulullah r tidaklah memastikan lafadz ini mudraj. Karena mereka yang menetapkan lafadz ini sebagai sabda Nabi telah memastikan bahwa lafadz ini memang diucapkan oleh Nabi r, maka keraguan sebagian mereka tidak mencacatkannya. Begitu pula gugurnya permisalan ini dalam riwayat sebagian rawi seperti riwayat Abu Farwah dari Asy-Sya’bi, tidaklah mencacatkan orang/rawi yang menetapkannya karena mereka semua adalah huffadz (para penghafal hadits, yang terkadang melafadzkan hadits secara sempurna dan dalam keadaan yang lain tidak secara sempurna).” (Fathul Bari, 1/160)

Kandungan Hadits
Di dalam hadits yang agung ini kita pahami bahwa perkara itu terbagi tiga, yaitu halal, haram dan syubhat. Apa yang Allah sebutkan kehalalannya dalam Al Qur`an maka ia halal dengan kehalalan yang jelas seperti firman-Nya:

“Pada hari ini aku halalkan untuk kalian hal-hal yang baik, dan makanan (sembelihan) ahlul kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka.” (Al-Maidah: 5)
Dan apa yang Allah sebutkan keharamannya dalam Al Qur`an maka ia haram dengan jelas seperti firman-Nya:

“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian…” (An-Nisa: 23)
Allah I mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya yang di dalamnya telah menjelaskan segala yang diperlukan oleh umat ini berupa yang halal ataupun yang haram. Dia Yang Mahaagung berfirman:

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab sebagai penjelas bagi segala sesuatu…” (An-Nahl: 89)
Mujahid dan selainnya berkata: “Yakni sebagai penjelas bagi segala sesuatu yang diperintahkan kepada mereka dan yang dilarang.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/603)
Allah menyerahkan kepada Nabi-Nya untuk menerangkan kepada umat ini apa yang tidak dipahami dari Al Qur`an sebagaimana firman-Nya:

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz Dzikr agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Halal dan haram ini dikatakan jelas dan gamblang karena tidak butuh penerangan dan setiap orang mengetahuinya.” (Fathul Bari, 4/356)
Sementara di antara dua perkara yang jelas dan gamblang ini ada perkara yang samar bagi kebanyakan orang, tidak jelas halal haramnya bagi mereka, yang dinamakan dengan syubhat.
Syubhat, kata Al-Imam An-Nawawi t, adalah sesuatu yang tidak jelas halalnya ataupun haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Adapun ulama, mereka mengetahui hukumnya dengan nash atau qiyas atau istishaab4 atau dengan selainnya.” (Syarah Muslim, 11/27-28)
Ibnu Daqiqil Ied t berkata: “Syubhat adalah setiap perkara di mana dalil-dalil yang ada dari Al Qur`an dan As Sunnah kelihatannya bertentangan dan maknanya saling tarik menarik. Maka menahan diri darinya merupakan sikap wara’ (kehati-hatian).” (Syarhul Arba’in An-Nawawiyah hal. 29)
Dengan pengertian di atas dapat kita pahami bahwasanya perkara syubhat itu hanya tersamarkan bagi sebagian orang, adapun bagi sebagian yang lainnya tidak tersamarkan. Dan penilaian syubhat itu sendiri bukan pada dzatnya tapi kembali pada pandangan orang yang menilainya, karena Allah I tidaklah meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya melainkan Dia telah menerangkannya dan menegakkan dalil terhadapnya. Hanya saja, mungkin dalil tersebut tersamarkan bagi kebanyakan manusia kecuali orang-orang yang khusus dari kalangan ulama, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau r:

“(ada perkara syubhat) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Dari sini dipahami bahwa ada sebagian manusia yang mengetahuinya walaupun jumlahnya sedikit. (‘Aunul Ma‘bud, 9/128, dinukilkan dari Al-Khaththabi secara makna)
Namun dalam keadaan lain, terkadang seorang ulama (mujtahid) juga mendapatkan kesamaran apabila tidak tampak baginya mana yang kuat dari dua dalil yang ada, apakah sisi halalnya ataukah sisi haramnya. (Fathul Bari, 1/158)
Kemudian perkataan Rasulullah r:

“Maka siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat ini …”
Ibnu Daqiqil Ied t berkata: “Ulama berselisih tentang syubhat yang disebutkan di atas. Kelompok pertama mengatakan syubhat ini haram berdasarkan sabda beliau:  (berarti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya). Sehingga siapa yang tidak menjaga agamanya dan kehormatannya maka berarti ia jatuh dalam keharaman.
Kelompok yang kedua mengatakan syubhat ini halal dengan dalil sabda beliau:

“seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut.”
Namun meninggalkan perkara syubhat tersebut walaupun halal termasuk sikap wara’ (kehati-hatian agar tidak jatuh dalam keharaman).
Kelompok yang ketiga mengatakan: Syubhat yang dinyatakan dalam hadits ini tidak bisa kita katakan halal atau haram karena Nabi r sendiri menempatkannya antara halal dan haram, maka sepantasnya kita berdiam diri terhadap perkara syubhat tersebut dan hal ini juga merupakan sikap wara’.” (Syarhul Arba’in hal. 27)
Dan sabda Nabi r:

“Dan siapa yang jatuh dalam perkara syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman…”
ditafsirkan dengan dua makna oleh ulama:
Pertama: seseorang melakukan perkara syubhat disertai pengetahuannya hal itu adalah syubhat. Sikap bermudah-mudahnya ini akan membawa dia untuk berani melakukan perkara yang haram.
Kedua: seseorang yang berani dan sering melakukan perkara yang syubhat dalam keadaan ia tidak tahu apakah perkara itu halal ataukah haram. Orang yang demikian ini akan gelap hatinya karena telah hilang darinya cahaya ilmu dan wara’. Orang seperti ini tidak aman untuk jatuh dalam perkara yang diharamkan. (Jami‘ul ‘Ulum, 1/203-204 dan Syarhul Arba’in hal. 29-30)
Dengan demikian orang yang berhati-hati dari syubhat berarti ia telah menyelamatkan agamanya dari kekurangan dan menyelamatkan kehormatannya dari celaan. Karena orang yang dikenal suka mendatangi syubhat, ia tidak akan selamat dari celaan orang lain. Sehingga yang namanya syubhat sepantasnya kita jauhi, karena bila ternyata perkara itu haram maka kita telah melepaskan diri kita dari melakukan perkara tersebut, namun bila ternyata perkara itu halal maka dengan kehendak Allah kita akan diberi pahala karena kita meninggalkan syubhat dalam rangka wara’. (Fathul Bari 1/159, 4/356, Syarah Al-Imam As-Sindi terhadap Sunan Ibni Majah)
Dan sabda beliau r:
“Ketahuilah, setiap raja itu memiliki daerah larangan. Ketahuilah, daerah larangan Allah adalah perkara-perkara yang Allah haramkan.”

Al-Imam An-Nawawi t menerangkan: “Setiap raja dari kalangan Arab dan selain mereka memiliki daerah larangan yang mereka menjaganya dari manusia dan melarang manusia untuk memasukinya. Siapa yang berani masuk ke dalamnya, ia akan diberi hukuman dan siapa yang menjaga dirinya maka dia tidak akan mendekati daerah tersebut karena takut mendapatkan hukuman. Allah I juga memiliki daerah larangan tersebut berupa perkara-perkara yang Dia haramkan seperti membunuh, zina, mencuri, menuduh orang lain berzina, minum khamr, dusta, ghibah, namimah, memakan harta dengan cara batil dan yang semisal itu. Hal ini semua merupakan daerah larangan Allah.
Siapa yang memasukinya dengan melakukan salah satu perkara-perkara tersebut maka ia pantas mendapatkan hukuman, dan siapa yang coba-coba mendekatinya, dikhawatirkan ia akan terjatuh ke dalamnya. Namun siapa yang membentengi dirinya, tidak mendekati perkara tersebut dan tidak bergantung dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya, hendaknya dia tidak mendatangi satu perkara syubhat pun.” (Syarah Muslim, 11/28)
Dengan keterangan di atas dan meninjau kenyataan yang ada pada hari ini, maka kita dapati keadaan manusia sangatlah mempri­hatinkan. Jangankan yang syubhat, yang jelas halalnya dan jelas haramnya saja mereka tidak mengetahuinya. Hal ini merupakan musibah yang seharusnya kita mengupayakan untuk menghilangkan musibah itu dan memperbaiki diri dengan mempelajari agama Allah.
Wallahu al-musta‘an.5

Catatan Kaki:

1  Makna qalbu ()  yang sebenarnya adalah jantung. Namun orang-orang Indonesia mengartikannya dengan hati sehingga kami menukil dengan apa yang telah lazim di masyarakat.
2 An-Nu‘man bin Basyir c ini termasuk shahabat yang kecil.
3 Tadlis artinya menyembunyikan aib. Pelakunya dinamakan mudallis.
4 Istishaab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya, hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu
5 Sengaja kami tidak membicarakan masalah hati karena di sana ada pembahasan tersendiri.