Kisah Khidir Bersama Nabi Musa

Disebutkan bahwa kisah ini bermula ketika Nabi Musa ‘alaihis salam mengajari Bani Israil berbagai ilmu. Mereka merasa kagum dengan keluasan ilmunya.

Di saat itu ada yang bertanya kepadanya, “Wahai Nabi Allah, adakah di dunia ini seseorang yang lebih berilmu daripada engkau?”

Nabi Musa ‘alaihis salam mengatakan, “Tidak.”

Jawaban ini didasari pengetahuan yang ada pada beliau, sekaligus sebagai dorongan agar mereka menimba ilmu yang ada pada beliau. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala segera mengabarkan kepada beliau bahwa ada seorang hamba-Nya yang ada di daerah pertemuan dua laut, mempunyai ilmu yang tidak ada pada Nabi Musa ‘alaihis salam dan hal-hal yang luar biasa.

Akhirnya muncullah keinginan beliau untuk bertemu dan menambah ilmu yang ada padanya dari hamba Allah tersebut. Beliau memohon agar Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkannya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan kepada beliau tempat di mana Khidhir[i] berada dan memerintah beliau membawa bekal seekor ikan. Lalu dikatakan kepadanya, “Apabila engkau kehilangan ikan itu, dia berada di tempat tersebut.”

Beliaupun berangkat dan akhirnya bertemu. Kisah ini Allah sebutkan selengkapnya di dalam surah al-Kahfi,

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.

Tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”

Muridnya menjawab, “Tahukah kamu, tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan; dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Musa berkata kepada Khidhir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajariku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?

Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam satu urusan pun.

Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”

Berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melubanginya.

Musa berkata, “Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”

Dia (Khidhir) berkata, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’?”

Musa berkata, “Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.”

Berjalanlah keduanya, hingga keduanya berjumpa dengan seorang anak maka Khidhir membunuhnya.

Musa berkata, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”

Khidhir berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sungguh kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”

Musa berkata, ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, janganlah kamu membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.”

Keduanya berjalan, hingga keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu.

Musa berkata, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”

Khidhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap bahtera.

“Adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin. Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Kami menghendaki supaya Rabb mereka mengganti anak lain bagi mereka, yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih mendalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan tidaklah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya’.” (al-Kahfi: 60—82)

 

Beberapa Pelajaran Penting

  1. Kisah ini sarat dengan berbagai keutamaan ilmu dan disyariatkannya rihlah (berkelana) mencari ilmu.

Diterangkan pula dalam kisah ini bahwa ilmu adalah urusan yang sangat penting. Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan beliau merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.

  1. Diterangkan dalam kisah ini bahwa tahap awal dalam menuntut ilmu hendaknya dimulai dari yang paling utama kemudian yang berikutnya.

Sebab, sesungguhnya seseorang yang menambah ilmu dengan usahanya sendiri lebih penting daripada dia meninggalkannya karena semata-mata sibuk mengajar. Hendaklah dia kerjakan keduanya sekaligus, mengajar sambil tetap belajar.

  1. Bolehnya mengangkat seorang pelayan dalam perjalanan atau ketika bermukim (tidak bepergian) untuk memudahkan urusan dan ketenangan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Musa ‘alaihis salam.
  2. Seorang musafir yang menuntut ilmu, berjihad, ataupun untuk melaksanakan suatu ketaatan, apabila memang terdapat kemaslahatan yang nyata untuk disampaikan kepada yang lain, ke mana dan apa yang dicarinya, lebih baik ia menceritakannya daripada merahasiakannya.

Ini mengandung berbagai manfaat. Di samping untuk mempersiapkan diri, juga sebagai dorongan untuk mengerjakan amalan yang utama ini. Sebagaimana yang beliau katakan di dalam ayat tersebut,

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَآ أَبۡرَحُ حَتَّىٰٓ أَبۡلُغَ مَجۡمَعَ ٱلۡبَحۡرَيۡنِ أَوۡ أَمۡضِيَ حُقُبًا

“Aku tidak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (al-Kahfi: 60)

Demikian pula Rasulullah n dalam peristiwa perang Tabuk. Beliau mengabarkan banyak tujuannya kepada manusia. Padahal biasanya apabila ingin memerangi suatu kaum, beliau rahasiakan maksud dan tujuan beliau untuk suatu kemaslahatan.

  1. Bolehnya menisbahkan suatu kejahatan, sebab-sebabnya dan kekurangan kepada setan.

Dalilnya adalah perkataan pembantu Nabi Musa ‘alaihis salam kepadanya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيۡطَٰنُ أَنۡ أَذۡكُرَهُۥۚ

“Dan tidaklah ada yang membuat saya lupa mengingatnya kecuali setan.” (al-Kahfi: 63)

  1. Boleh menceritakan apa yang dirasakan oleh diri sendiri kepada orang lain, seperti letih, lapar atau dahaga dan tabiat manusiawi lainnya. Dengan syarat, jujur dalam mengucapkannya dan tidak didorong oleh kejengkelan atau tidak suka terhadap semua keadaan tersebut.

Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam,

لَقَدۡ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

“Sungguh, kita telah merasa letih dengan perjalanan kita ini.” (al-Kahfi: 62)

  1. Diajarkan kepada kita dalam kisah ini untuk mengambil seorang pembantu yang cerdas dan rajin agar bisa menyempurnakan semua urusan yang diinginkan. Sangat dianjurkan untuk memberi makan seorang pembantu dari apa yang dimiliki atau memakannya bersama-sama.

Sebab, lafadz ayat “Bawalah kemari makanan kita, artinya (makanan) untuk semuanya. Diambil dari pengertian ayat ini bahwa pertolongan itu diperoleh seseorang sesuai dengan sejauh mana dia menjalankan hal-hal yang disyariatkan.

Barang siapa amalannya sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya dia akan ditolong dengan sesuatu yang belum tentu diterima oleh orang lain. Sebab, firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang ucapan Nabi Musa ‘alaihis salam,

لَقَدۡ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

“Sungguh, kita telah merasa letih dengan perjalanan kita ini,” menunjukkan perjalanan yang telah melampaui pertemuan dua buah laut itu. Adapun perjalanan yang pertama mereka tempuh, beliau belum mengeluhkannya meskipun sudah demikian jauhnya.

  1. Hamba Allah yang ditemui oleh Nabi Musa ‘alaihis salam bukanlah seorang nabi.

Khidhir hanyalah seorang hamba yang saleh, yang mempunyai ilmu dan senantiasa mendapat ilham (dari Allah). Ini juga berdasarkan sebutan Allah dan pujian-Nya, yang menyebut Khidhir sebagai seorang hamba yang istimewa dan mempunyai ilmu, serta sifat-sifat yang baik lainnya. Allah tidak menyebutnya sebagai nabi atau rasul.

Adapun perkataan Khidhir yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di akhir kisah ini,

وَمَا فَعَلۡتُهُۥ عَنۡ أَمۡرِيۚ

“Dan tidaklah aku melakukannya menurut kehendakku sendiri.” (al-Kahfi: 82)

tidaklah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang nabi. Kalimat tersebut hanyalah menyatakan bahwa semua itu adalah ilham dan bimbingan dari Allah. Hal ini mungkin saja terjadi pada orang-orang yang kedudukannya bukan nabi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ

“Dan Rabbmu telah mewahyukan kepada lebah itu….” (an-Nahl: 68)

وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ

“Dan telah Kami wahyukan kepada ibu Musa….” (al-Qashash: 7)

  1. Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada dua jenis:
  2. Ilmu yang diusahakan, yang dapat dipahami oleh seseorang dengan mempelajarinya dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.
  3. Ilmu yang berupa ilham laduni, sebagai hadiah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan dalil:

وَعَلَّمۡنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمًا

“Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (al-Kahfi: 65)

Dan Khidhir mendapat bagian yang sangat banyak dari ilmu jenis yang kedua ini.

  1. Dalam kisah ini diterangkan kepada kita agar mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا

“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (al-Kahfi: 66)

Dalam ayat itu disebutkan cara Nabi Musa ‘alaihis salam mengeluarkan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau menyebutkan, “Apakah engkau bersedia memberi izin kepada saya ataukah tidak?”

Di sini beliau menampakkan betapa butuhnya beliau kepada (calon) gurunya tersebut. Beliau belajar dari Khidhir dan mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yang ada pada gurunya.

Hal ini berbeda dengan orang-orang yang sombong dan kasar, yang merasa tidak membutuhkan ilmu seorang guru atau pendidik. Sesungguhnya tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang murid atau pencari ilmu, selain menunjukkan sangat butuhnya kepada ilmu yang ada pada gurunya dan berterima kasih atas bimbingan serta didikannya.

  1. Dalam kisah ini, digambarkan sikap tawadhu(rendah hati).

Seorang yang kedudukannya sangat mulia mau belajar menimba ilmu dari seorang yang kedudukannya berada di bawahnya. Tidak kita sangsikan lagi bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam jauh lebih mulia daripada Khidhir.

Jadi, dari kisah ini (diambil pelajaran) bolehnya seorang yang berkedudukan tinggi menimba ilmu yang tidak dikuasainya kepada orang yang mahir dalam ilmu tersebut, meskipun orang yang mahir itu berada di bawahnya dalam hal ilmu.

Nabi Musa ‘alaihis salam adalah salah seorang Rasul Ulul ‘Azmi yang telah Allah berikan ujian dan ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada yang lain. Akan tetapi, dalam ilmu yang khusus ini, hanya Khidhir yang memilikinya. Oleh sebab itulah, betapa besarnya antusiasme beliau untuk mempelajarinya dari Khidhir.

Dengan demikian, sangat jelas wajibnya kita sandarkan bahwa ilmu atau berbagai karunia dan keutamaan lainnya ini, semua adalah karunia dan rahmat Allah. Bahkan, kita wajib mengakui dan bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan itu, sebagaimana diisyaratkan dalam perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Khidhir dalam ayat tersebut,

عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا

“Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.

  1. Dijelaskan dalam kisah ini, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing pemiliknya kepada kebaikan.

Demikian pula halnya ilmu-ilmu yang mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk atau yang mengarah kepadanya, semuanya adalah ilmu yang bermanfaat.

Adapun ilmu yang selain itu, boleh jadi hanya akan menimbulkan madarat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat di atas, “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.”

  1. Diajarkan pula kepada kita dari kisah ini, seseorang yang tidak sanggup bersabar menyertai guru atau pendidiknya, atau tidak memiliki kekuatan untuk tetap tsabat (teguh) menempuh jalan mencari ilmu, dia bukanlah termasuk orang yang dikatakan pantas untuk menerima ilmu.

Barang siapa tidak mempunyai kesabaran untuk menuntut ilmu, niscaya dia tidak akan mendapatkannya. Sebaliknya, siapa yang sanggup bersabar dan membiasakan diri menghadapi suatu permasalahan, niscaya dia akan memperoleh semua yang ingin dicapainya.

Khidhir telah memberikan penjelasan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam bahwa beliau tidak akan sanggup bersabar untuk mengetahui ilmu khusus yang ada padanya.

Adapun hal-hal yang dapat mendukung seseorang bersabar menghadapi sesuatu adalah pengetahuan terhadap masalah itu, manfaat, buah, atau hasilnya. Barang siapa tidak mengetahui beberapa hal ini, akan sulit baginya untuk bersabar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan perkataan Khidhir kepada Nabi Musa ‘alaihis salam,

وَكَيۡفَ تَصۡبِرُ عَلَىٰ مَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ خُبۡرًا

“Dan bagaimana kamu dapat bersabar terhadap sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” (al-Kahfi: 68)

  1. Dalam kisah ini, dianjurkan berhati-hati dan teliti serta tidak terburu-buru menghukumi suatu permasalahan sampai yang diinginkan atau yang dimaksud benar-benar jelas.
  2. Dalam kisah ini terdapat dalil disyariatkannya menyandarkan suatu keadaan yang akan terjadi kepada kehendak Allah (masyiatullah), seperti disebutkan dalam ayat,

سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرًا وَلَآ أَعۡصِي لَكَ أَمۡرًا

“Insya Allah engkau akan dapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.” (al-Kahfi: 69)

  1. Azam (keinginan yang kuat) untuk melaksanakan sesuatu tidaklah sama dengan pelaksanaannya. Nabi Musa ‘alaihis salam memang berazam untuk sabar, tetapi beliau tidak melaksanakannya.
  2. Pelajaran lain dari kisah ini, apabila seorang pendidik melihat adanya kemaslahatan dengan menerangkan kepada muridnya agar tidak bertanya tentang suatu permasalahan hingga dia (pendidik itu) sendiri yang menerangkan masalah itu kepadanya, hendaknya dia lakukan.

Sesungguhnya kemaslahatan itu senantiasa mengikuti. Sebagaimana halnya apabila seorang murid mempunyai pemahaman kurang sempurna, hendaknya guru melarang muridnya memberatkan diri untuk meneliti suatu masalah sedemikian rupa dan bertanya tentang persoalan yang tidak ada kaitannya dengan topik yang diajarkan.

  1. Bolehnya mengendarai sebuah kapal jika memang tidak membahayakan.
  2. Diterangkan pula dalam kisah ini bahwa seorang yang lupa tidak pantas dihukum, baik terlupa (melanggar) hak Allah atau hak hamba-hamba-Nya. Kecuali apabila pelanggaran itu menimbulkan kerusakan atau kerugian harta benda. Dalam masalah ini perlu adanya dhiman (ganti rugi), termasuk orang yang lupa.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Khidhir,

لَا تُؤَاخِذۡنِي بِمَا نَسِيتُ

“Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku.” (al-Kahfi: 73)

  1. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, sepantasnya seseorang melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan sikap toleran dan pemaafan mereka.

Janganlah membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu melakukannya, sangat memberatkan, atau bahkan menghancurkan mereka. Kalau ini terjadi, tentu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk menjauh. Bahkan, hendaknya dia mempunyai sikap memudahkan (urusan orang), agar semua urusannya juga mudah.

  1. Semua permasalahan itu terjadi berdasarkan kenyataan lahiriahnya.

Berangkat dari hal ini pula ditegakkan hukum-hukum duniawi dalam berbagai persoalan. Dikatakan demikian, karena kita lihat sikap Nabi Musa ‘alaihis salam mengingkari tindakan Khidhir merusak kapal yang mereka tumpangi dan membunuh seorang remaja, berdasarkan ketentuan umum yang berlaku. Beliau tidak melihat kepada perjanjian yang disepakatinya bersama Khidhir untuk tidak bertanya dan membantah semua tindakannya sampai Khidhir sendiri yang memulai memberikan penjelasan.

  1. Dalam kisah ini kita dapatkan juga keterangan yang jelas tentang kaidah penting dalam syariat Islam ini, yaitu bolehnya mencegah terjadinya kejahatan yang besar dengan melakukan kejahatan yang lebih ringan, dan keharusan menjaga kemaslahatan yang lebih besar meskipun berakibat hilangnya kemaslahatan yang lebih kecil.

Jadi, pembunuhan yang dilakukan Khidhir jelas merupakan kejahatan. Akan tetapi, apabila anak itu tetap hidup sampai dewasa dan menyesatkan kedua ibu bapaknya, ini adalah kejahatan yang jauh lebih besar. Apabila anak itu dibiarkan tetap hidup meskipun kelihatan baik secara lahiriah, tetapi keberadaan ibu bapaknya dalam agama mereka jauh lebih baik lagi.

Oleh karena itulah, Khidhir membunuhnya sesudah Allah mengilhamkan kepadanya hakikat keadaan anak tersebut. Dengan demikian, ilham batin yang diterima oleh Khidhir mempunyai kedudukan yang sama seperti keterangan yang nyata bagi orang lain.

Kaidah lainnya adalah tentang tindakan manusia terhadap harta orang lain. Apabila dilakukan dengan cara yang mengandung maslahat dan jauh dari kerusakan, hal ini dibolehkan meskipun tanpa izin meskipun perbuatannya itu merugikan. Contohnya, perbuatan Khidhir yang merusak kapal yang ditumpanginya untuk menyelamatkan kapal itu dari rampasan seorang raja zalim ketika itu.

Masih banyak faedah lain yang berada di bawah kaidah-kaidah ini.

  1. Bolehnya bekerja di lautan sebagaimana juga bolehnya bekerja di daratan.

Dalilnya adalah ayat,

يَعۡمَلُونَ فِي ٱلۡبَحۡرِ

“Mereka bekerja di laut….” (al-Kahfi: 79)

  1. Faedah lainnya, membunuh termasuk dosa-dosa besar.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

 

[i] Disebutkan dalam al-Mughni fi Dhabthi Asma`ir Rijal karya Muhammad bin Thahir al-Hindi (hlm. 93),

Khidhir bisa diucapkan dengan mem-fathah huruf kha atau meng-kasrah-nya dan men-sukun huruf dhadh (yakni Khadhr atau Khidhr, -ed.), atau mem-fathah-nya (yakni Khadhar atau Khidhar, -ed.) atau meng-kasrah-nya (Khadhir atau Khidhir, -ed.).”