Sikap kritis tampaknya memang tidak mudah dibudayakan di tengah masyarakat yang tenggelam dalam kultus individu dan fanatisme golongan. Yang muncul justru sikap kritis yang kebablasan: kebenaran yang telah pasti justru diotak-atik, sementara yang nyata-nyata menyimpang justru dibiarkan tanpa dikritisi dengan dalih ukhuwah Islam ataupun demi persatuan umat.
Konsep persatuan dan rapatkan barisan, tampaknya menjadi konsep yang laker (laku keras) saat ini. Dengan ciri khas mengedepankan persatuan, tanpa mempermasalahkan latar belakang pemahaman agama masing-masing unsurnya, konsep ini terus bergulir. Slogan “Islam warna-warni” terus didengungkan, seiring dengan semakin merasuknya konsep batil ini di tengah umat Islam.
Motto kelompok sesat Ikhwanul Muslimin “saling membantu dalam hal-hal yang disepakati bersama dan saling menghargai (tidak mempermasalahkan) perbedaan-perbedaan yang ada” pun turut meramaikan suasana. Tak peduli apakah perbedaan tersebut berkaitan dengan masalah prinsip ataukah tidak.
Sampailah pada klimaksnya di mana tidak boleh saling mengkritik kesalahan dan pelakunya meskipun kesalahan tersebut hakikatnya termasuk masalah prinsip dalam agama ini. Subhanallah, sedemikian sucikah kebatilan dan para pelakunya itu…?!
Kebatilan dan Pelakunya Pada Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan bahwa setiap nabi mempunyai musuh dari jenis jin dan manusia yang selalu menentang mereka dan mengajak umat manusia kepada kebatilan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)
Meski demikian Allah ‘azza wa jalla tetap memerintahkan Rasul-Nya untuk terus mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kebatilan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٤ إِنَّا كَفَيۡنَٰكَ ٱلۡمُسۡتَهۡزِءِينَ ٩٥
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (Al-Hijr: 94—95)
Hal ini menunjukkan bahwa kebatilan dan pelakunya, benar-benar ada pada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang diriwayatkan sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Orang-orang (para sahabat) selalu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku selalu bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena aku khawatir kejelekan itu akan menimpaku.
Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu tenggelam dalam kehidupan jahiliah dan kejelekan, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kepada kami kebaikan (al-Islam) ini. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?”
Beliau bersabda, “Ya.”
Aku berkata, “Dan apakah setelah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?”
Beliau bersabda, “Ya, namun ada kelemahan (pergeseran dalam agama) padanya.”
Aku berkata, “Apa kelemahan itu?”
Beliau bersabda, “Adanya suatu kaum yang berpegang dengan selain Sunnahku dan membimbing manusia dengan selain petunjukku, engkau mengetahui apa yang datang dari mereka dan bisa mengingkari.”
Aku pun berkata, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?”
Beliau bersabda, “Ya, adanya para da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam. Barang siapa menyambut ajakan mereka, niscaya akan dilemparkan ke dalamnya (jahannam).”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa nasihatmu jika aku mendapatinya?”
Beliau bersabda, “Berpegang teguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka.”
Aku berkata, “Bagaimana jika mereka (kaum muslimin) tidak mempunyai
jamaah dan imam?”
Beliau bersabda, “Hendaknya engkau tinggalkan semua kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) itu, meskipun engkau harus berpegang (menggigit) akar pohon sampai kematian mendatangimu dan engkau dalam keadaan seperti itu.” (HR. al-Bukhari, no. 7084 dan Muslim, no. 1847, dengan lafadz Muslim)
Disebutkan pula dalam hadits al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu dia berkata,
وَعَظَنَا رَسُولُ الله مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا. قَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌ، وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَ ىَريَ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasihati kami dengan suatu nasihat yang sangat mengena, membuat hati trenyuh, dan air mata berlinang.
Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini nasihat seseorang yang akan meninggalkan (kami), maka berilah kami wasiat.’
Beliau pun akhirnya bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mendengar lagi taat (pada pemerintah) walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup (sepeninggalku nanti) maka ia akan melihat perselisihan yang cukup banyak. Maka wajib bagi kalian (berpegang teguh) dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin setelahku yang terbimbing. Berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian, serta hati-hatilah dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al- Albani rahimahullah dalam al-Irwa’, no. 2455)
Sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Kebatilan dan Pelakunya
Demikianlah wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya, agar mereka tidak larut dalam kesesatan dan diempaskan oleh hawa nafsu. Perhatikanlah, beliau tidak hanya menunjukkan jalan kebenaran yang harus ditempuh, yaitu berpegang teguh dengan manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Akan tetapi beliau iringkan pula prinsip lainnya, yaitu memperingatkan umat dari kebatilan dan segala apa yang diada-adakan dalam agama ini (bid’ah). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُور
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama).”
Dari sini tampak jelas bahwa perkataan sebagian orang, “Ajarkanlah kepada umat suatu kebenaran, niscaya mereka dapat mengetahui kebatilan dengan sendirinya,” adalah perkataan yang batil. Sudah seyogianya bagi kita menanamkan manhaj salaf (kebenaran) di hati sanubari umat dan memperingatkan mereka dari apa yang menyelisihinya (kebatilan), seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits al-Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu di atas.
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencukupkan peringatan/kritik terhadap kebatilan semata, akan tetapi beliau juga memperingatkan umat dari para penyeru kebatilan yang menyebarkan kebatilan tersebut di tengah-tengah umat, menghalangi mereka dari jalan istiqamah, serta menipu umat dengan ucapan-ucapan “indah” agar mereka terkelabui dengannya. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tak segan-segan menyebutkan nama-nama mereka, tanpa mencukupkan penyebutan sifat dan kebatilan mereka semata. Tidak ada yang mendorong beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan peringatan tersebut kecuali kekhawatiran beliau terhadap umatnya dari penyimpangan dan dari syi’ar-syi’ar kebatilan yang menipu.
Ketahuilah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan (umat) dari orang-orang Khawarij sebagaimana yang terdapat di dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu tentang Dzul Khuwaishirah yang pernah mengatakan (dengan lancang),
اِعْدِلْ يَا مُحَمَّدُ
“Berbuat adillah, wahai Muhammad!”
Ketika Umar radhiallahu ‘anhu bermaksud membunuh orang yang tidak tahu diri ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencegahnya. Dan ketika Dzul Khuwaishirah beranjak pergi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan (para sahabat) darinya dan dari para pengikutnya, seraya bersabda,
إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Sesungguhnya ia mempunyai para pengikut yang salah seorang dari kalian merasa shalatnya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, shaumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan shaum mereka. Mereka (selalu) membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan (tidak dihayati dan dipahami maknanya -pen.). Mereka keluar dari (prinsip) agama sebagaimana keluarnya (menembusnya) anak panah dari tubuh hewan buruan.” (HR. al-Bukhari no. 3610 dan Muslim no. 1064)
Juga sabda beliau dalam hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيْقَةِ
“Mereka adalah sejahat-jahat makhluk.” (HR. Muslim no. 1067)
Sebagaimana pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Qadariyyah (para pengingkar takdir),
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ، إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ، وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka sakit, jangan dijenguk. Dan jika meninggal dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 338 dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah)
Sikap Para Sahabat Terhadap Pelaku Kebatilan
Para sahabat pun berpegang teguh dengan prinsip dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam menyikapi pelaku kebatilan dan memperingatkan umat dari mereka.
‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika sampai kepadanya perihal Shabigh bin ‘Isl al-Iraqi yang selalu bertanya tentang ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an sehingga membingungkan sebagian umat, maka Umar mengirim utusan untuk memanggil Shabigh. Ketika ia datang, Umar pun langsung memukulnya dengan pelepah kurma hingga benarbenar kesakitan, kemudian menulis mandat kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu agar tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang duduk-duduk bersamanya. (Lihat al-Bida’ Wannahyu ‘Anha, karya Ibnu Wadhdhah, hlm. 56, dan al-Ishabah, 5/168—169).
Demikian pula sikap Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma terhadap ahlul qadar (pengingkar takdir), (yaitu) ketika sampai kepadanya syubhat yang diembuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan para pengikutnya “Bahwasanya takdir itu tidak ada, dan urusan ini baru (yakni amalan manusia bersumber dari diri mereka sendiri dan tidak ada kaitannya dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala).”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma maka berkata, “Sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya (Allah subhanahu wa ta’ala), jika salah seorang dari mereka mempunyai emas sebesar Gunung Uhud kemudian menginfakkannya, tidak akan diterima (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) sampai mereka beriman dengan takdir.” (HR. Muslim no. 1)
Sikap Para Tabi’in dan Ulama Terhadap Pelaku Kebatilan
Para tabi’in juga berpegang teguh dengan prinsip ini. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah, ia berkata, “Sa’id bin Jubair telah berkata kepadaku, ‘Aku melihatmu bersama Thalq.’
Aku (Ayyub) berkata, ‘Ya, ada apa dengannya?’
Sa’id bin Jubair berkata, ‘Jangan duduk-duduk bersamanya karena ia seorang Murji’ (yang berpemikiran irja’).’
Kemudian Ayyub mengomentari nasihat Sa’id bin Jubair, ‘Aku tidak meminta pendapatnya dalam perkara ini, namun sudah semestinya bagi seorang muslim bila melihat sesuatu yang buruk pada saudaranya agar mengingatkannya’.” (asy-Syari’ah, karya al-Ajurri rahimahullah hal.144)
Thawus bin Kaisan rahimahullah memperingatkan umat dari Ma’bad al-Juhani ‘si pengingkar takdir’ dengan menyebut namanya, beliau berkata, “Hati-hatilah dari Ma’bad al-Juhani karena sungguh ia seorang pengingkar takdir.” (al-Ibanah, karya Ibnu Baththah rahimahullah juz 2 hlm. 453)
Ketika al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah datang ke kota Bashrah, beliau memerhatikan keadaan ar-Rabi’ bin Shubaih dan kedudukannya di kalangan umat, kemudian beliau bertanya, “Apa mazhabnya?”
Mereka menjawab, “Mazhabnya tidak lain adalah as-Sunnah.”
Sufyan berkata, “Siapa kawan-kawan dekatnya?”
Mereka menjawab, “Ahlul qadar (para pengingkar takdir).”
Maka Sufyan berkata, “(Kalau begitu) dia adalah seorang Qadari (pengingkar takdir).” (al-Ibanah, karya Ibnu Baththah juz 2 hlm. 453)
Al-Imam al-Ajurri rahimahullah berkata setelah menyebutkan para imam di atas, “Barang siapa meneladani para imam tersebut, maka akan selamat agamanya, insya Allah.”
Demikianlah teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabi’in, dan para ulama setelah mereka, dalam menyikapi pelaku kebatilan dari kalangan Ahlul Bid’ah. Ternyata yang demikian itu tidak termasuk dari ghibah, bahkan tergolong sebagai nasihat untuk umat. Para imam Islam pun sepanjang masa senantiasa berpegang teguh dengan prinsip ini. Bila Anda perhatikan apa yang mereka tulis dalam karya-karya tulis mereka niscaya Anda akan melihatnya dengan jelas dan gamblang.
Lihatlah apa yang ditulis oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam kitabnya ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyati waz Zanaadiqah, bantahan al-Imam ad-Darimi rahimahullah terhadap Bisyr al-Marisi, dan juga bantahan Ibnu Abdil Hadi rahimahullah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah terhadap as-Subki.
Adapun bantahan-bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap ahlul ahwa’ tidak terhitung lagi banyaknya. Beliau benar-benar bagaikan pedang terhunus bagi mereka. Lihatlah kitabnya ar-Raddu ‘alal Akhnaa’i dan kitab ar- Raddu ‘alal Bakri, bantahannya terhadap Imamul Haramain di dalam kitab Dar’q Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, bantahan terhadap ar-Razi dalam kitab Talbisul Jahmiyyah, dan bantahannya terhadap al-Ghazali dalam kitab Minhajus Sunnah.
Bagaimana tidak… beliaulah yang mengatakan, “Seorang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai-sampai Yahya bin Yahya rahimahullah menyatakan pembelaan terhadap as-Sunnah lebih utama dari jihad.” (Naqdhul Manthiq hlm. 12)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya menjelaskan dan memperingatkan umat dari keadaan para penyeru bid’ah, yang perkataan atau ibadahnya bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, merupakan suatu kewajiban yang disepakati oleh kaum muslimin.”
Telah dikatakan kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Siapakah yang lebih engkau sukai, seorang yang selalu shaum (berpuasa), shalat, dan i’tikaf ataukah seseorang yang membicarakan ahlul bid’ah?”
Maka beliau menjawab, “Jika seseorang shaum (berpuasa), shalat, dan i’tikaf, maka itu untuk dirinya sendiri. Namun jika berbicara tentang ahlul bid’ah, maka sungguh ia untuk kaum muslimin, dan itulah yang lebih utama.”
Beliau juga berkata, “Sebagian mereka ada yang mengatakan kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya berat bagiku untuk berkata ‘fulan demikian dan fulan demikian’, maka beliau berkata, ‘Jika engkau diam dan aku pun diam, maka kapan lagi seorang jahil bisa membedakan antara yang benar dan yang salah?’.”
Demikianlah, secara berkesinambungan hingga zaman kita ini, para ulama Sunnah selalu mengangkat tinggi bendera as-Sunnah dan membelanya, serta memerangi bid’ah dan memperingatkan (umat) dari ahlul bid’ah. Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menjadikan di zaman kita ini orang-orang yang menjaga kemurnian agama dan membela akidah salaf sehingga tidak tercemari oleh berbagai macam kotoran.
Perhatikanlah kitab-kitab asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, semuanya penuh dengan bantahan-bantahan terhadap ahlul ahwa’. Perhatikanlah bantahan beliau terhadap al-Kautsari dan muridnya Abdul Fattah Abu Ghuddah serta ash-Shabuni dalam hal sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Anda akan mendapatinya dengan jelas di dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah. Benar-benar beliau telah membantah sejumlah ahlul bid’ah para pemilik nama-nama yang indah.
Al-Mu’allimi rahimahullah juga membantah al-Kautsari dalam kitab at-Tankil, dan perhatikan bantahan-bantahan asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah terhadap ahlul bid’ah seperti bantahannya terhadap Abu Ghuddah di dalam muqaddimah kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah dan dalam kitab beliau Kasyfun Niqab, dan juga bantahan beliau terhadap Muhammad al-Buuthi. Kaset-kaset beliau pun penuh dengan diskusi tentang ahlul bid’ah serta membongkar tipuan dan kerancuan-kerancuan mereka.
Demikian pula bantahan-bantahan asy-Syaikh Saleh al-Fauzan hafizhahullah terhadap ahlul ahwa’, seperti bantahan beliau terhadap al-Buuthi di dalam kitab as-Salafiyah dan bantahan beliau terhadap ash-Shabuni. Bantahan-bantahan asy-Syaikh al-’Allamah Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah terhadap ahlul bid’ah pun sangat banyak, di antaranya kitab ar-Raddul Qawi ‘Alal Mujrimil Atsim, al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh, dan al-Ihtijaj bil Atsar ‘Ala man Ankaral Mahdi al-Muntazhar.
Lihatlah apa yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah dalam menyingkap akidah Sayyid Quthub dan bantahan terhadap orang-orang yang berlebihan terhadapnya dalam empat kitab yang sangat berharga, Adhwa’ Islamiyah ‘ala ‘Aqidati Sayyid Quthub wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthub fi Ashhabi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-’Awashim Mimma fi Kutubi Sayyid Quthub minal Qawaashim, dan al-Haddul Fashil Bainal-haqqi wal Bathil, serta banyak lagi dari para ulama selain mereka yang membela as-Sunnah dan manhaj salaf siang dan malam, secara sembunyi dan terang-terangan, dengan mengharap pahala dari Allah ‘azza wa jalla. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.
Penutup
Dari bahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
- Kebatilan dan para pelakunya benar-benar ada pada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menunjukkan jalan kebenaran yang harus ditempuh oleh umatnya, tetapi beliau juga memperingatkan mereka dari kebatilan dan segala apa yang diada-adakan dalam agama ini (bid’ah). Sehingga betapa batilnya perkataan sebagian orang, “Ajarkanlah kepada umat suatu kebenaran, niscaya mereka dapat mengetahui kebatilan dengan sendirinya.”
- Di antara prinsip Islam adalah memperingatkan umat dari kebatilan dan pelakunya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama Islam. Dari sini tampak kesesatan dan kebatilan perkataan sebagian orang, “Peringatkan umat dari kebatilan, namun jangan sekali-kali berbicara tentang pelakunya,” atau yang lebih ‘keren’ lagi “Kita memperbaiki dan tidak menghancurkan.”
- Persatuan sejati adalah yang dibangun di atas al-Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Saleh dengan saling membantu dalam kebaikan dan saling menasihati bila ada yang terjatuh dalam kemungkaran.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوْمًا. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْماً، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِماً؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
“Bantulah saudaramu (sesama muslim) baik dalam keadaan zalim atau dizalimi.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, membantunya dalam keadaan dizalimi bisa kami mengerti, lalu bagaimana membantunya dalam keadaan zalim?” Beliau menjawab, “Kalian mencegahnya dari perbuatan zalim tersebut.” (HR. al-Bukhari, Kitabul Mazhalim)
Maka dari itu konsep “persatuan dan rapatkan barisan” yang hanya mengedepankan ‘persatuan’ tanpa mempermasalahkan latar belakang pemahaman agama masing-masing unsurnya, bahkan tidak boleh saling mengkritik kesalahan dan pelakunya dalam masalah yang prinsip sekalipun, merupakan konsep yang batil.
Suatu konsep persatuan orang-orang Yahudi yang diingkari oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,
لَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرٗى مُّحَصَّنَةٍ أَوۡ مِن وَرَآءِ جُدُرِۢۚ بَأۡسُهُم بَيۡنَهُمۡ شَدِيدٞۚ تَحۡسَبُهُمۡ جَمِيعٗا وَقُلُوبُهُمۡ شَتَّىٰۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمٞ لَّا يَعۡقِلُونَ ١٤
“Mereka tidak akan memerangi kamu secara frontal, kecuali di kotakota yang berbenteng atau di belakang tembok. Permusuhan di antara mereka sendiri sangat tajam. Kamu mengira mereka itu bersatu, tapi hati mereka terpecah-pecah. Itulah karena mereka kaum yang tidak mau berpikir.” (Al-Hasyr: 14)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan dari kitab Tahafutus Syi’arat wa Suquthul Aqni’ah, karya asy-Syaikh Abdul Aziz bin Syabib ash-Shaqr hlm. 3—10, dengan beberapa perubahan dan tambahan oleh Ruwaifi’ bin Sulaimi al-Atsari)