Lelaki meniru atau menyerupakan diri dengan wanita dalam hal yang khusus atau sebaliknya wanita menyerupai lelaki dalam sesuatu yang menjadi kekhususan laki-laki adalah perilaku yang terlarang. Dalilnya telah kita baca pada edisi sebelum ini. Berikut ini kita akan melihat sisi-sisi penyerupaan yang dilarang tersebut.
Tasyabbuh (Penyerupaan) dalam Berbusana
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ رَسُوْلُ الله الرجُلَ يَلْبَسُ لبْسَةَ الْمَرْأَة وَ الْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لبْسَةَ الرجُل.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian wanita dan melaknat wanita yang mengenakan pakaian lelaki.” (HR. Abu Dawud no. 4098, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Larangan menyerupai pakaian lawan jenis ini mencakup macam atau jenis pakaiannya, tata cara, dan modelnya. Bahan sutra, misalnya, tidak boleh dipakai lelaki karena sutra adalah jenis pakaian khusus wanita. Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَريْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإنَاثِهِمْ
“Diharamkan pakaian sutra dan emas bagi lelaki dari kalangan umatku dan dihalalkan untuk kaum wanita mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 1720, an-Nasa’i no. 5148, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Jenis pakaian yang dicelup dengan ushfur (mu’ashfar) tidak boleh dipakai oleh lelaki karena merupakan pakaian khas wanita. Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma berkata,
رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَينِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ :أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا؟ قَالَ: بَلْ أَحْرِقْهُمَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku mengenakan dua pakaian mu’ashfar[1]. Beliau pun bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?”
Aku menjawab, “Apakah saya cuci saja dua pakaian ini[2]?”
Beliau bersabda, “Bahkan bakarlah dua pakaian tersebut!”[3] (HR. Muslim no. 5401)
Dalam satu riwayat Abu Dawud disebutkan oleh Abdullah radhiallahu ‘anhuma,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله مِنْ ثَنِيَّةٍ فَالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَلَيَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُورِ، فَقَالَ: مَا هَذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ فَأَتَيْتُ أَهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُونَ تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ فَقاَلَ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا فَعَلَتِ الرَّيْطَةُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَال: أَلاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أَهْلِكَ، فَإنَّهُ لاَ بَأْسَ بِهِ لِلنِّسَاءِ
Kami turun bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Tsaniyah (dataran tinggi), beliau lalu menoleh kepadaku sementara aku mengenakan pakaian yang dicelup dengan ushfur. Beliau pun bersabda, “Pakaian apa yang kamu kenakan ini?”
Aku melihat ketidaksukaan beliau, aku pun mendatangi keluargaku yang saat itu tengah menyalakan tungku api mereka. Pakaian yang dicelup ushfur itu pun (setelah kutanggalkan) aku lemparkan ke dalam tungku api. Keesokan harinya aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda, “Wahai Abdullah, apa yang diperbuat pakaianmu (yang kemarin)[4]?”
Aku pun memberitahukan kepada beliau apa yang telah kuperbuat terhadap pakaian tersebut.
Setelah mendengar penuturanku beliau bersabda, “Mengapa tidak kau pakaikan saja kepada istrimu, karena pakaian demikian tidak apa-apa dipakai oleh kaum wanita.” (HR. Abu Dawud no. 4066, dinyatakan hasan dalam Shahih Abi Dawud)
Kaum wanita ketika keluar rumah atau di hadapan lelaki ajnabi dilarang memakai pakaian yang menampakkan wajah[5], kepala, atau lehernya, atau menampakkan bagian tubuhnya yang diperintahkan untuk ditutup di hadapan nonmahram. Selain karena semua itu merupakan aurat bagi kaum wanita, juga agar mereka berbeda dengan lelaki.
Kalaupun ada model pakaian yang menutup tubuh tetapi model yang khusus bagi lelaki, si wanita tetap tidak boleh memakainya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata menukilkan ucapan al-Imam ath-Thabari rahimahullah, “Maknanya, tidak boleh kaum lelaki bertasyabbuh dengan kaum wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang merupakan kekhususan wanita. Demikian pula sebaliknya.”
Al-Hafizh rahimahullah menambahkan, “Demikian pula dalam cara berbicara dan cara berjalan. Adapun model pakaian maka berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan setiap negeri. Bisa jadi, ada kaum (di satu negeri) tidak membedakan pakaian khas wanita dari pakaian khas lelaki. Akan tetapi, untuk wanita ditambah dengan hijab dan menutup tubuh.” (Fathul Bari, 10/409)
Tasyabbuh dalam Cara Berjalan
Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma pernah melihat Ummu Said putri Abu Jahl berselempang busur dan berjalan seperti cara berjalan kaum lelaki. Berkatalah Abdullah, “Siapa perempuan ini?”
Dijawab, “Ini Ummu Said bintu Abi Jahl.”
Abdullah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَلاَ مَنْ تَشَبَّهَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ
‘Bukan termasuk golongan kami wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang menyerupai wanita’.” (HR. Ahmad 2/199—200, lihat penjelasan panjang lebar tentang hadits ini dalam catatan kaki kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, karya al-Imam al-Albani, hlm. 142—144)
Ini adalah peringatan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa pelaku tasyabbuh dengan lawan jenis tersebut ‘bukan termasuk golongan kami’, yakni bukan orang yang mengikuti sunnah kami atau bukan orang yang berjalan di atas jalan kami, jalan Islam.
Tasyabbuh dalam Suara
Di antara wanita ada yang memberat-beratkan suaranya meniru suara lelaki sebagaimana ada lelaki yang melembut-lembutkan suaranya, dibuat mendayu-dayu meniru suara wanita. Keinginan agar seperti lawan jenis ini menunjukkan terbaliknya fitrah mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah melaknat lelaki yang menyerupai wanita ataupun sebaliknya.
Bagaimana bila ada wanita yang memang dari asalnya bersuara berat, bukan karena dibuat-buat, apalagi bermaksud meniru lelaki?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memberikan pencerahan terhadap pertanyaan semisal ini. Kata al-Hafizh, “Celaan tasyabbuh (dengan lawan jenis) dalam hal ucapan dan cara jalan dikhususkan bagi orang yang bersengaja melakukannya. Adapun seseorang yang asal tabiatnya memang demikian, maka dia diperintah untuk memaksakan dirinya meninggalkan kelainan perilaku tersebut dan terus berupaya meninggalkannya walau secara bertahap. Apabila tidak melakukannya dan terus ‘memelihara kelainan’ tersebut, dia pun masuk dalam celaan. Lebih-lebih lagi apabila tampak darinya hal-hal yang menunjukkan dia senang dengan kelainan yang ada padanya.” (Fathul Bari, 10/409)
Tasyabbuh dalam Berhias
Contohnya memakai hena/pacar di tangan dan kaki, yang merupakan cara berhias kaum wanita. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu memberitakan, pernah didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang banci yang mewarnai kedua tangan dan kedua kakinya dengan hena/daun pacar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
مَا بَالُ هَذَا؟ قَالُوا: يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ. فَأُمِرَ بِهِ فَنُقِّيَ إِلَى النَّقِيعِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَ نَقْتُلُهُ؟ فَقَالَ: إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّيْنَ
“Ada apa dengan orang ini?”
Dijawab, “Wahai Rasulullah, orang ini menyerupai wanita.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan orang tersebut diasingkan ke an-Naqi’.
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita membunuhnya saja?”
“Aku dilarang membunuh orang__ orang yang shalat,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Abu Dawud no. kitab al-Adab, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani dalam al-Misykat no. 4481)
Dari hadits di atas dipahami bahwa mewarnai tangan dan kaki merupakan kekhususan kaum wanita, tidak boleh dilakukan kaum lelaki. Buktinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukum lelaki banci yang melakukannya.
Adapun mewarnai rambut dengan hena untuk mengubah uban boleh dilakukan, bahkan disyariatkan bagi wanita dan lelaki, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh as-Sunnah.
Diperkenankan pula menggunakan hena untuk pengobatan. Abu ‘Amr ibnu Shalah rahimahullah mengatakan, “Memacari jenggot guna mengubah uban dibolehkan dan merupakan ajaran sunnah. Adapun menggunakan hena bagi lelaki untuk selain mengubah uban rambut/jenggot, maka dilihat. Kalau si lelaki memakainya untuk pengobatan, hukumnya boleh. Jika maksudnya untuk berhias dan semisal dengan maksud wanita memakainya, hukumnya tidak boleh.” (Adab al-Mufti wa al-Mustafti, 2/502)
Penyembuhan dan Hukuman bagi Pelaku
Telah dijelaskan di atas bahwa seseorang yang terkena penyakit penyimpangan perilaku dengan menyerupai lawan jenis, dia harus berusaha “sembuh” dari kelainan tersebut, bila tidak maka dia akan jatuh ke dalam laknat. Lalu bagaimana bila kelainan tersebut bawaan sejak lahir?
Menurut an-Naawi rahimahullah, mukhannats khalqi (seseorang yang terlahir banci) tidaklah ditujukan kepadanya celaan (karena di luar kuasanya, alias bukan kesengajaan)[6].
Akan tetapi, kata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, apa yang dinyatakan oleh an-Nawawi dan yang sependapat dengannya di atas berlaku ketika seorang banci tersebut sama sekali tidak mampu lagi meninggalkan sifat keperempuan-perempuanannya, sulit meninggalkan gemulainya saat berjalan dan berbicara, setelah dia melakukan upaya penyembuhan untuk bisa meninggalkan kelainan tersebut. Sebab, hal itu masih mungkin dihilangkan walaupun dengan bertahap, dia harus mengupayakannya. Jika dia tidak berupaya menghilangkannya tanpa ada uzur padahal dia bisa sembuh, dia pun terkena celaan. (Fathul Bari, 10/409)
Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kabair, menyebutkan dosa tasyabbuh dengan lawan jenis ini sebagai salah satu dari dosa besar. Beliau menyatakan bahwa apabila wanita memakai pakaian khusus lelaki, berarti si wanita telah menyerupai lelaki dalam hal pakaian, sehingga dia masuk dalam laknat Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya.
Suami si wanita menanggung pula dosanya apabila si suami memberi kelapangan bagi istrinya untuk melakukannya atau dia menyenanginya dan tidak melarangnya. Suami turut menanggung dosanya karena dia diperintah untuk meluruskan istrinya di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan melarangnya berbuat maksiat. Hal ini berdasar firman Allah ‘azza wa jalla,
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
“Jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim: 6)
Dan berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقيَامَةِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang rakyatnya (yang dipimpinnya). Seorang lelaki adalah pemimpin di keluarganya dan dia akan ditanya/dimintai pertanggungjawaban tentang mereka pada hari kiamat.” (Muttafaqun ‘alaihi) (al-Kabair, hlm. 129)
Al-Imam al-Haitsami rahimahullah dalam az-Zawajir (1/126) berkata, “Perbuatan tasyabbuh dengan lawan jenis terhitung dalam dosa besar adalah merupakan hal yang jelas berdasarkan hadits-hadits yang Anda ketahui dan ancaman keras yang di dalamnya.
Yang aku lihat dalam tasyabbuh ini, para imam (ulama) kita memiliki dua pendapat: satu pendapat mengatakan haram. Pendapat ini yang dinyatakan sahih oleh an-Nawawi, bahkan beliau benarkan. Pendapat kedua mengatakan makruh dan ini dinyatakan sahih oleh ar-Rafi’i dalam satu tempat.
Namun, yang sahih, bahkan yang benar, adalah pendapat yang dinyatakan oleh an-Nawawi bahwa hal tersebut haram, bahkan termasuk dosa besar—sebagaimana telah aku kemukakan.
Aku juga melihat sebagian orang yang membahas tentang dosa-dosa besar menggolongkan tasyabbuh dengan lawan jenis sebagai dosa besar, dan inilah pendapat yang zahir.” (Sebagaimana dinukil dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 148—149)
Ibnu at-Tin rahimahullah berkata, “Pihak yang mendapat laknat dalam hadits ini adalah para lelaki yang bertasyabbuh dengan para wanita atau para wanita bertasyabbuh dengan para lelaki dalam hal pakaian khusus (masing-masing).
Adapun para lelaki yang perbuatan tasyabbuhnya dengan para wanita (si lelaki telah menjelmakan dirinya atau memosisikan dirinya sebagai wanita) sampai pada taraf berhubungan badan dengan sesama lelaki pada duburnya (melakukan liwath/sodomi sebagaimana perbuatan kaum Luth ‘alaihissalam), atau tasyabbuh para wanita dengan lelaki (si wanita telah menjelma menjadi lelaki) sampai pada taraf dia “mendatangi” sesama wanita dengan melakukan sahq (dimaklumi dari perbuatan para lesbian), na’udzubillah, kedua macam penyimpangan moral ini sangat pantas beroleh celaan dan hukuman lebih keras[7] daripada pelaku yang belum sampai pada taraf demikian.” (Fathul Bari, 10/409)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan (dalam urusan orang banci dan lesbian),
أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ
“Keluarkan (usirlah) mereka dari rumah-rumah kalian.” (HR. al-Bukhari no. 5886)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Fulan (seorang banci) dan Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu mengusir Fulanah (seorang wanita yang menyerupai lelaki).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengusir mukhannats (banci) dan mutarajjilah (lesbian) dengan maksud agar tasyabbuh yang mereka lakukan dengan lawan jenis tidak sampai pada taraf melakukan perbuatan mungkar di atas (melakuan liwath dan sahq). (Fathul Bari, 10/409)
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja mengusir mereka dan memerintahkan mengusir mereka, mengapa ada orang-orang yang sok berteriak-teriak agar para banci dan para lesbian ini diberi tempat dan diakui keberadaannya, lalu menganggap sah-sah saja adanya transgender? Wallahul musta’an.
Sebagai penutup, kita bawakan sebuah hadits yang apabila dibaca oleh orang-orang yang berperilaku menyimpang tersebut, semoga mereka mau segera bertobat dan memaksimalkan pengobatan penyakit ‘kelainan’nya. Mereka yang belum terkena, jangan coba-coba mendekati penyakit tersebut.
Abdullah ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ إلَيْهِمْ يَوْمَ الْقْيَامَةِ: الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ، وَالدَّيُّوثُ
“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah ‘azza wa jalla tidak akan melihat mereka pada hari kiamat kelak,
- anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya,
- wanita mutarajjilah (kelelaki-lelakian) yang menyerupai kaum lelaki, dan
- dayyuts.”[8]
(HR. an-Nasa’i, kata al-Imam al-Hakim rahimahullah, “Shahihul isnad,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullah. Kata al-Imam al-Albani rahimahullah, “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan keduanya, insya Allah.” Catatan kaki Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 145)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur, sejenis tumbuhan yang tumbuh di Jazirah Arab, sehingga warna pakaian yang dicelup tersebut berubah menjadi kuning atau merah yang khas.
[2] Sehingga warna celupannya luntur.
[3] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan demikian sebagai peringatan keras bagi lelaki yang memakai pakaian mu’ashfar.
[4] Yakni bagaimana kabarnya.
[5] Menurut pendapat yang mewajibkan menutup wajah bagi wanita. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
[6] Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berdalil untuk pendapat ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak melarang seorang banci masuk ke tempat para wanita sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar si banci tersebut menyebutkan secara rinci sifat seorang wanita. Ketika itu barulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang si banci masuk ke tempat para wanita. Dikabarkan oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sisinya saat di rumahnya ada seorang banci. Si banci berkata kepada Abdullah saudara lelaki Ummu Salamah, “Wahai Abdullah, apabila besok Allah ‘azza wa jalla memberikan kemenangan kepada kalian atas negeri Thaif, aku akan menunjukkan kepadamu putri Ghailan, karena dia menghadap dengan empat dan membelakang dengan delapan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali mereka ini masuk ke tempat kalian.”
Hal ini menunjukkan tidak ada celaan bagi seorang banci yang memang asal penciptaannya demikian. (Fathul Bari, 10/409)
[7] Ada sebuah hadits yang menyebutkan tentang hukuman bagi pelaku liwath/sodomi, disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ
“Siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah (pelaku) dan yang menjadi obyek).”
(HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dll. Al-Imam Ahmad berargumen dengan hadits ini. Sanad haditsnya menurut syarat al-Bukhari, kata al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ad-Da’u wa ad-Dawa’ [hlm. 262—263]. Beliau juga menyatakannya sahih dalam Zadul Ma’ad.)
[8] Suami/kepala keluarga yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarganya dengan membiarkan kemungkaran di tengah-tengah mereka.