(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
Berbagai bencana yang terjadi, baik di masa silam maupun sekarang, menjadi salah satu tanda terbesar atas keagungan Allah l. Dalam waktu yang singkat, bencana yang menimpa, seperti gempa, tsunami, banjir, badai (angin topan), gunung meletus, dan yang lain, telah menghancurkan berbagai tempat di belahan muka bumi ini. Sekian ratus ribu jiwa melayang, baik manusia maupun hewan yang berada di daratan dan lautan.
Hanya beberapa detik saja bencana tersebut terjadi, sekian ribu mil daerah yang berada dari pusat bencana terkena imbasnya. Ini baru beberapa detik, bagaimana halnya jika lebih lama waktunya? Bencana ini terjadi di sebagian tempat, bagaimana jika terjadi di berbagai tempat bencana yang serupa?! Ini baru bencana bumi yang terjadi di dunia sekarang, bagaimana halnya dengan bencana yang akan terjadi pada hari kiamat yang akan datang?!
Allah l berfirman:
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.” (Ibrahim: 48)
“Apabila matahari digulung, apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan.” (at-Takwir: 1—3)
“Apabila langit terbelah, apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap.” (al-Infithar: 1—3)
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya.” (az-Zalzalah: 1—2)
Jika berbagai bencana dan musibah terjadi, tidak bisa dimungkiri, sebuah kepastian di hari kemudian—hari yang semua manusia tidak akan bisa menghindar dari ketetapan yang telah ditentukan—akan terjadi berbagai peristiwa yang tak terbayangkan.
Semoga semua yang berlalu menjadi pelajaran, bukan hanya catatan atau dongeng. Hendaknya semua yang telah berlalu itu mewariskan sikap dalam diri seorang muslim yang beriman untuk kelangsungan hidup dirinya dan semua insan; sesuatu yang bermanfaat untuk pribadi, agama, dan umat secara keseluruhan.
Beberapa sikap yang hendaknya dimiliki oleh seorang muslim dalam menghadapi musibah adalah sebagai berikut.
1. Menganggapnya sebagai pelajaran, peringatan, bukan sekadar fenomena alam biasa
Berbagai bencana, perubahan alam, dan azab yang terjadi zaman sekarang, seperti gempa, badai, banjir, kekeringan, kemarau, paceklik, kelaparan, dan kejadian (bencana) yang baru, hari demi hari semakin bertambah. Sudah sepantasnya setiap muslim mengambil pelajaran darinya.
Nasihat dan peringatan dari Al-Qur’an akan lebih mudah menggerakkan hati yang hidup dan membekas padanya. Pemiliknya akan menetapkan segala kenikmatan yang telah dikaruniakan oleh Allah l dan mengakui kekurangan dalam memenuhi hak-Nya.
Allah l berfirman:
“Dan tiadalah mendapat pelajaran selain orang-orang yang kembali (kepada Allah).” (al-Mu’min: 13)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Qaf: 37)
Adapun seseorang yang mati hatinya karena tertutupi oleh syubhat, berkarat karena syahwat, ia tidak akan tergerak dan terpengaruh oleh nasihat atau peringatan. Tidak pula ia merasa takut terhadap suatu ancaman, hingga azab tiba-tiba menimpanya dalam keadaan tidak sadar. Bahkan, karena seringnya terjadi bencana dan susul-menyusul, hati manusia banyak yang mati meskipun jasadnya hidup. Ketahuilah, berbagai bencana yang terjadi, petaka dan azab yang menimpa, ditampakkan oleh Allah l untuk menakut-nakuti hamba-Nya.
Allah l berfirman:
“(Dan) tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (al-Isra’: 59)
Bencana banjir, banyak orang berkomentar, “Sekarang memang lagi musimnya (hujan)!” Bencana gempa, orang mengatakan, “Ini proses alam semata.” Akhirnya, banyak bencana yang melanda, namun sedikit manusia yang mau memerhatikan dan mengambil pelajaran. Andaikata mereka mau memerhatikan dengan saksama kerugian yang diakibatkan sebuah bencana, terhadap keluarga, rumah, dan harta, niscaya mereka akan mengetahui kadar musibah yang telah menimpa.
Apabila di antara kita ada yang tertimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang dari keluarganya atau orang yang disayangi, ia akan sangat sedih. Hatinya akan selalu teringat, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah l. Andai sempat terlupa, tentu teringat kembali pada waktu yang lain. Bahkan, bisa jadi sampai terbawa dalam mimpi. Mungkin tidurnya sering bermimpi melihat atau berjumpa dengannya. Ini baru kehilangan satu nyawa, bagaimana kalau semua keluarganya binasa karena suatu bencana yang menimpa, tinggal ia hidup sebatang kara, tanpa famili dan saudara?
Kalau saja seorang di antara kita ditimpa kerugian separuh hartanya, ia akan merasakan kesusahan untuk mencukupi kehidupannya. Dadanya pun terasa sesak dan sempit. Kelezatan dan kenyamanan tidur, makan, dan minum, tidak ia dapatkan. Bagaimana dengan orang yang kehilangan seluruh rumah dan hartanya? Di tengah hamparan yang luas, sendiri ia berada, dalam keadaan linglung, miskin, dan tidak punya apa-apa. Padahal sebelumnya ia seorang yang punya harta, rumah, dan keluarga?!
Sebab itu, apabila seseorang tidak mengambil pelajaran dengan apa yang dia lihat, dia dengar, dari bencana yang terjadi, kapan dia akan mengambil pelajaran dan menjadikannya sebagai peringatan?
2. Tidak merasa aman
Seringkali seseorang merasa aman dari suatu musibah atau bencana karena merasa bahwa dirinya berada di radius aman.
Hal ini mengingatkan kita akan kisah yang terjadi pada masa silam. Kisah tentang putra Nabi Nuh q yang kafir—sebagian menyebutkan namanya Kan’an, sedangkan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyebutkan namanya adalah Yam—ketika terjadi luapan air yang terpancar dari permukaan bumi dan munculnya topan hingga terjadi gelombang yang sangat tinggi laksana gunung. Nabi Nuh q memerintahkan mereka semua naik ke dalam bahtera yang telah dibuatnya. Hanya saja, salah satu anak Nabi Nuh yang kafir berkata, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku (baca: di radius aman).” Aman sebatas pegetahuan dan perkiraan seseorang tidak menjamin aman dari ancaman dan musibah.
Allah l berfirman:
(Dan) Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berla-buhnya. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Dan) bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah berada bersama orang-orang kafir!” Anaknya menjawab, ”Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Dia saja Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)
Beragam bencana belum lama melanda di negeri kita: gempa di Papua, tsunami di Mentawai-Sumatra, dan letusan Gunung Merapi di Pulau Jawa. Banyak korban terjadi meskipun mereka menyangka telah berada pada radius aman. Mereka mengira bencana telah berlalu, tidak mungkin terulang, atau terjadi musibah susulan yang baru. Atau sesumbar mereka, musibah tidak mungkin mengarah kepada dirinya.
Ketahuilah, musibah seringkali datang dalam keadaan tiba-tiba. Ia datang dari tempat yang tidak diduga, dalam keadaan tidak disangka-sangka.
Allah l berfirman:
“Kemudian datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.” (an-Nahl: 26)
“Maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (al-A’raf: 95)
Bencana bisa terjadi kapan pun. Bahkan, seringnya terjadi malam hari ketika manusia sedang terlelap tidur. Atau, di pagi hari ketika manusia sedang bermain. Mengapa seseorang tidak takut, cemas, dan khawatir akan datangnya suatu bencana yang menimpa, sebagaimana telah menimpa orang lain, yang mengakibatkan hilangnya segala sesuatu darinya dalam waktu sekejap?
Allah l berfirman:
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain. Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah orang-orang yang merasa aman dari azab Allah melainkan orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 97—99)
3. Bencana adalah suatu ketetapan
Yang harus diyakini oleh setiap muslim dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun dalam hal ini, yaitu prinsip bahwa segala bencana yang menimpa sesungguhnya telah ditentukan oleh Allah l sebelum alam dan seisinya tercipta. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah l tentang keumuman qadha dan qadar-Nya dalam ayat berikut.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)
Ayat ini mencakup seluruh musibah (bencana) yang menimpa manusia, baik berupa kebaikan maupun keburukan, yang kecil maupun yang besar. Semuanya telah tertulis di Lauhul Mahfuzh. Hal ini merupakan perkara yang agung, akal tidak mampu mengetahui keseluruhannya. Bahkan, hati seorang yang berakal pun akan bingung memikirkannya. Meskipun demikian, semua itu adalah mudah bagi Allah l.
Allah l memberitakan hal ini kepada para hamba-Nya supaya mereka menetapkan suatu prinsip (bahwa segala bencana yang menimpa, semuanya telah ditentukan, tertulis di Lauhul Mahfuzh),dan menjadikannya sebagai pijakan (dalam menyikapi segala musibah yang menimpa, baik kebaikan maupun keburukan).
Semua itu telah dijelaskan oleh Allah l sehingga manusia tidak berdukacita terhadap apa telah mereka lihat namun luput dari mereka karena segalanya telah ditetapkan. Juga agar mereka tidak terlalu gembira dengan apa yang telah diberikan oleh Allah l dengan kegembiraan yang berlebihan, yang menyebabkan kesombongan dan kejelekan sehingga lupa kepada Allah l. Semua itu semata-mata hanya karunia Allah l, bukan atas daya dan upayanya. Jadi, sudah sepantasnya manusia bersyukur kepada Allah l atas segala karunia-Nya.
Pada ayat lain, Allah l memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa, baik pada badan, harta, anak, maupun segala yang dicintai, adalah disebabkan oleh kesalahan manusia sendiri. Allah l berfirman:
“(Dan) apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Jika berbagai bencana yang menimpa, musibah yang melanda, sebabnya adalah kesalahan manusia, itu salah dan dosa siapa?!
Muslim yang beriman tidak akan menyatakan bahwa ini semua karena kesalahan si fulan dan fulan, atau si A dan si B. Jika masing-masing introspeksi diri, melihat kesalahan pribadi, mereka akan mengetahui bahwa tidaklah musibah menimpa suatu negeri melainkan disebabkan oleh kesalahan dan dosa penduduknya.
4. Sikap lapang dada
Telah disebutkan di atas bahwa seluruh musibah dan bencana telah ditetapkan oleh Allah l sebelum segalanya diciptakan dan segala sesuatu yang telah Dia l tetapkan, pasti akan terjadi dengan izin-Nya. Oleh karena itu, seorang muslim harus ridha atas ketetapan-Nya dan tidak boleh marah serta mencela. Semua harus dihadapi dengan kerelaan, kesabaran, kelapangan dada, tidak berkeluh-kesah atau larut dalam kegelisahan.
Allah l berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (Dan) Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghabun: 11)
Ibnu Abbas c berkata, “Maksud ayat di atas ‘dengan izin Allah’ adalah dengan perintah Allah l, yakni takdir (ketentuan) dan kehendak-Nya. Artinya, barang siapa yang tertimpa musibah, hendaknya ia menyadari bahwa semua itu terjadi karena keputusan dan ketentuan Allah l (qadha dan qadar), kemudian dia bersabar sekaligus mengharap pahala semata-mata dari-Nya, tunduk kepada keputusan-Nya l, niscaya Allah l memberi petunjuk kepada hatinya. Allah l akan mengganti hal-hal duniawi yang telah luput darinya dengan memberi petunjuk kepada hatinya, keyakinan yang benar. Terkadang, Allah akan mengganti sesuatu yang hilang darinya dengan yang semisal atau yang lebih baik darinya.”
5. Tidak berburuk sangka
Hendaknya seseorang berbaik sangka kepada Allah l atas musibah yang menimpa dan menghilangkan buruk sangka kepada-Nya.
Allah l berfirman:
”Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah.” (Ali ‘Imran: 154)
Allah l berfirman:
“Supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (al-Fath: 6)
Dari Jabir bin Abdillah z, beliau mendengar Nabi n bersabda:
لَا يَمُوتُ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ
“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah l.” (HR. Muslim)
Al-Qurthubi t berkata, “Kematian mengandung peringatan dan persiapan. Sudah sepantasnya seseorang menjadikan dirinya senantiasa takut (kepada Allah l) atas dosa yang telah dia perbuat dan sangat berharap ampunan Rabbnya. Rasa takut di waktu sehatnya hendaknya lebih diperkuat, karena ia tidak tahu dengan apa hidupnya akan berakhir (kebaikan atau keburukan, pen.). Hendaknya pula rasa harap lebih diperkuat pada dirinya saat kematian akan datang, supaya dapat berprasangka baik kepada Allah l, sebagaimana sabda Rasulullah n, ‘Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah l’, yaitu bahwa Dia akan merahmati dan mengampuni dosanya.”
6. Istirja’
Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan berkata, “Makna ayat ‘barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya’ yakni, memohon perlindungan Allah l dengan mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.”
Firman Allah l:
“(Dan) berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (al-Baqarah: 155—156)
Sebuah kisah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Auf bin Abdillah. Ia berkata bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dikatakan, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan (kalimat itu)?” Beliau menjawab, “Ini musibah.”
6. Sedih dan menangis yang sewajarnya
Al-Imam al-Bukhari t menyebutkan dalam ”Kitabul Janaiz”, sebuah judul: Bab ucapan Nabi n, “Sesungguhnya kami sedih berpisah denganmu.” Kemudian beliau menyebutkan hadits dari Anas bin Malik:
Kami pergi bersama Rasulullah n menemui Abu Saif, suami inang (ibu susuan, red.) Ibrahim (putra Nabi). Rasulullah n meraih Ibrahim, menciumnya. Kemudian kami masuk ke rumah Abu Saif. Saat itulah Ibrahim mengembuskan napasnya yang terakhir. Rasulullah n berlinangan air mata. Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Ya Rasulullah, ternyata Anda pun menangis.” Nabi bersabda, ”Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah rahmat.” Nabi tetap menangis dan berkata, “Sesungguhnya mata menangis, hati bersedih, namun kami tidak akan mengatakan apa pun selain yang diridhai oleh Rabb kami, wahai Ibrahim! Sesungguhnya kami sedih berpisah denganmu.”
Menurut Ibnu Baththal t dan yang lainnya, hadits ini menjelaskan tentang tangisan dan kesedihan yang diperbolehkan, yaitu menangis dengan berlinang air mata dan kelembutan hati (sedih) tanpa kemurkaan terhadap ketetapan Allah l.
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Hadits ini mengandung faidah bolehnya memberitakan kesedihan, namun lebih utama jika menyembunyikannya.”
Pada bab yang lain, al-Imam al-Bukhari t berkata, “Bab ‘Siapa yang Tidak Memperlihatkan Tanda Dukacita atau Kesedihan Ketika Ditimpa oleh Musibah’, kemudian beliau menyebutkan hadits Anas bin Malik z: Salah seorang anak Abu Thalhah sakit dan meninggal dunia. Pada saat itu, Abu Thalhah sedang tidak berada di rumah. Ketika istrinya melihat anaknya telah meninggal, ia segera mengurusnya (memandikan dan mengafaninya) serta membaringkannya di sebuah tempat di rumahnya. Ketika Abu Thalhah tiba, ia bertanya, ‘Bagaimana keadaan ananda?’ Istrinya menjawab, ‘Ia telah tenang. Aku berharap ia menemukan kedamaian.’ (Abu Thalhah) melewatkan malam itu dan pagi harinya mandi (junub). Ketika ia bersiap untuk pergi, istrinya memberitahunya bahwa anaknya telah meninggal. Abu Thalhah shalat subuh bersama Nabi n dan memberitahu Nabi n tentang yang terjadi pada mereka berdua. Rasulullah n bersabda, ‘Semoga Allah l memberi berkah pada malam kalian berdua.’ (Sufyan mengatakan) bahwa seorang lelaki dari suku Anshar berkata, ‘Mereka (Abu Thalhah dan istrinya) dikaruniai sembilan anak laki-laki yang semuanya hafal Al-Qur’an’.”
7. Sabar
”Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar: 10)
Al-Imam al-Bukhari t dalam kitabnya berkata, “Bab ‘Sabar di Saat Awal Kali Musibah Menimpa’.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Yaitu waktu pertama kali musibah menimpa seseorang. Hal itu diserupakan dengan benturan, tabrakan, karena musibah menimpa (menabrak) manusia, seolah-olah ada sesuatu yang telah menabraknya. Barang siapa yang tertimpa musibah dan mampu bersabar di awal kejadian, ini adalah kesabaran sempurna yang hakiki.
Adapun yang tidak mampu bersabar di awal musibah menimpa, kemudian setelah itu ia tersadar, mampu menahan diri dari kegelisahan, keputusasaan, yang seperti ini juga dikatakan sabar, tetapi bukan sabar yang sempurna yang pantas dipuji dengan pujian yang sempurna.”
Dari Abu Umamah z, dari Nabi n, beliau bersabda bahwa Allah l berfirman:
ابْنَ آدَمَ، إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ
”Wahai Bani Adam, jika kamu sabar dan mengharapkan pahala semata saat pertama kali musibah terjadi, tidak ada balasan yang Aku ridhai untukmu selain surga.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)
8. Sikap peduli
Allah l berfirman:
”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al-Hujurat: 10)
Demikian pula firman Allah l:
”(Dan) tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah n bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang meringankan kesulitan saudaranya mukmin dari kesulitan dunia, Allah l akan meringankan kesulitannya di hari kiamat.” (Muttafaqun alaihi, dari Abu Hurairah z)
Satu perkara yang tidak boleh terhadap saudara Anda yang muslim yang tertimpa musibah adalah kepedulian terhadap mereka. Kepedulian bukan hanya diukur dengan materi saja. Namun, doa dan dorongan motivasi untuk tetap sabar serta ridha akan takdirnya juga tidak kalah nilainya dengan bantuan materi.
Rasulullah n bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidaklah seorang hamba muslim yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya melainkan malaikat akan berdoa untuknya, ‘Untukmu seperti (apa yang kamu mintakan untuk saudaramu)’.” (HR. Muslim)