(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Al-ghayah tubarriru al-wasilah. Maknanya, tujuan menghalalkan segala cara. Apapun jalannya, baik atau buruk, zalim atau tidak, halal atau haram, yang penting tujuan tercapai. Demikianlah salah satu prinsip pengekor hawa nafsu, kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Kaidah setan ini menjadi keledai tunggangan Rafidhah dan musuh-musuh Islam lainnya dalam upayanya mencela Mu’awiyah z. Untuk lebih menjatuhkan sahabat Mu’awiyah, mereka mencela pula ayahandanya, Abu Sufyan z. Namanya adalah Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf al-Umawi z. Sekian banyak celaan tertuju pada pribadi Abu Sufyan z sampai taraf pengafiran.
Untuk menepis syubhat ini, cukuplah kita sebutkan sebagian manaqib (keutamaan) Abu Sufyan z. Insya Allah apa yang sedikit ini bisa menjadi peringatan bagi orang yang masih memiliki kalbu dan mau memerhatikannya dengan mengharap ridha Allah l.
Ahlus Sunnah bersepakat bahwa Abu Sufyan z termasuk sahabat Rasulullah n. Beliau masuk Islam pada tahun Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang sahih.
Beliau adalah mertua Rasulullah n. Putrinya, Ummu Habibah, Ramlah bintu Abi Sufyan, menjadi Ummul Mukminin jauh sebelum masuk Islamnya Abu Sufyan.
Di antara manaqib Abu Sufyan z, ketika Fathu Makkah Rasulullah n bersabda,
مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَن دَخَلَ الْحَرَمَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ
“Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram, dia aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3023)
Tidak diragukan lagi keutamaan Abu Sufyan z dalam hadits ini. Rasulullah n memberikan penghormatan kepada Abu Sufyan z dan memuliakannya dengan memberikan keamanan kepada siapa saja yang masuk ke dalam rumahnya.
Di antara keutamaan Abu Sufyan z, Rasulullah n menjadikan putranya, Mu’awiyah z, sebagai sekretaris beliau dan pencatat wahyu. Sebuah tugas yang sangat penting dan strategis dalam perjalanan dakwah Rasulullah n.
Adapun permusuhan Abu Sufyan z terhadap Rasulullah n dan kaum muslimin, semua itu terjadi sebelum keislamannya. Peperangan-peperangan besar dan penting, seperti Perang Uhud dan Khandaq dipimpin oleh Abu Sufyan untuk memerangi Rasulullah n. Adapun setelah hidayah Islam memenuhi kalbunya, sungguh beliau termasuk sahabat terdepan dalam jihad fi sabilillah bersama Rasulullah n.
Orang yang mengungkit-ungkit permusuhan Abu Sufyan dengan Rasulullah n dan kaum muslimin sebelum keislamannya menunjukkan kebodohan dan kejahilannya terhadap rahmat Allah Yang Mahaluas. Tidakkah ia tahu, Islam menghapus dosa-dosa yang telah lalu seberapa pun besarnya? Rasulullah n bersabda,
الْإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ مِنَ الذُّنُوبِ
“Islam menghapuskan segala dosa sebelumnya.”1
Permusuhan Abu Sufyan terjadi sebelum keislamannya. Adapun setelah masuk Islam, beliau menjadi pembela Islam yang sangat gigih dalam perjuangan dan berlomba meraih keutamaan bersama para sahabat lain yang telah mendahuluinya di atas keislaman.
Marilah kita lihat sebagian perjuangan Abu Sufyan z.
Rasulullah n mengutus Abu Sufyan bersama Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala al-Latta.2
Bersama dengan Rasulullah n, Abu Sufyan mengikuti Perang Hunain dan Perang Thaif.
Ibnu Hajar t mengisahkan bahwa az-Zubair meriwayatkan dari jalan Sa’id bin Ubaid ats-Tsaqafi berkata, “Saat perang Thaif berkecamuk, mata Abu Sufyan z terkena anak panah. Datanglah ia kepada Nabi n lalu berkata, ‘Mataku terluka di jalan Allah l.’ Rasulullah n bersabda,
إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ فَرُدَّتْ عَلَيْكَ، وَإِنْ شِئْتَ فَالْجَنَّةُ. قَالَ: الْجَنَّةُ
“Jika engkau suka aku akan mendoakanmu dan Allah l akan mengembalikan matamu. Namun, jika engkau suka (bersabarlah dan engkau akan mendapatkan) surga Allah l.”
Abu Sufyan berkata, “Aku memilih surga.” (al-Ishabah 3/413)
Jihad menegakkan kalimat Allah l dilanjutkan setelah wafatnya Rasulullah n. Ibnu Sa’d meriwayatkan dalam ath-Thabaqat al-Kubra dengan sanad yang sahih dari Sa’id bin al-Musayyib, dari bapaknya, yakni Musayyib3, ia berkata, “Aku kehilangan semua suara saat Perang Yarmuk kecuali suara seorang lelaki yang berseru,
يَا نَصْرَ اللهِ اقْتَرِبْ، الثَّبَاتُ، الثَّباَتُ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ
“Pertolongan Allah telah dekat! Tetap teguhlah kalian. Tetap teguhlah kalian, wahai kaum muslimin!”
Musayyib berkata, “Aku pun melihat lelaki itu. Ternyata dia adalah Abu Sufyan yang berada di bawah bendera putranya, Yazid.”4
Di antara keutamaan Abu Sufyan sekaligus bantahan terhadap pernyataan Rafidhah bahwa Abu Sufyan seorang yang kafir adalah kesepakatan umat menerima hadits Abu Sufyan z. Al-Bukhari t meriwayatkan hadits Abu Sufyan yang panjang, yang menceritakan kisahnya dengan Heraklius. Hadits Abu Sufyan tentang dialognya bersama Heraklius diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi.
Sebagai penutup kita katakan, “Tidak ada seorang ulama sunnah pun yang menyatakan kekafiran Abu Sufyan. Sebaliknya, semua justru mengakui beliau sebagai sahabat. Bahkan, kaum muslimin bersepakat menerima riwayat Abu Sufyan dengan kesepakatan mereka menerima riwayat ash-Shahihain.”
Beliau meninggal pada tahun 33 H atau 34 H, tahun yang sama dengan meninggalnya al-Miqdad bin al-Aswad. Beliau meninggal pada usia 88 tahun atau 90 tahun dan dishalati oleh Utsman bin Affan z. (Lihat al-Wafayat 1/53, Syadzarat adz-Dzahab 1/31, dan Tahdzibul Kamal 13/121)
Catatan Kaki:
1 Hadits Amr bin al-Ash z yang panjang, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/205),
لَمَّا أَلْقَى اللهُ عَزَّوَجَلَّ فِي قَلْبِي الْإِسْلَامَ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ n لِيُبَايِِعَنِي فَبَسَطَ يَدَهُ إِلَيَّ فَقُلْتُ: لاَ أُبَايِعُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ، حَتَّى تَغْفِرَ لِي مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِي. قَالَ: فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ n: يَا عَمْرُو، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْهِجْرَةَ تَجُبُّ مَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ؟ يَا عَمْرُو، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ مِنَ الذُّنُوبِ؟
Ketika Allahlmemasukkan Islam dalam hatiku, aku menemui Rasulullah n agar beliau membai’atku. Ketika beliau ulurkan tangannya, aku berkata, “Aku tidak akan berbai’at kepadamu, wahai Rasulullah, sampai diampuni apa yang telah lalu dari dosa-dosaku.” Rasulullah n bersabda, “Wahai Amr, tidakkah engkau tahu bahwa hijrah menghapuskan dosa yang telah lalu? Wahai Amr, tidakkah engkau tahu bahwa Islam menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?”
2 Ibnu Hisyam (4/249).
3 Al-Musayyib termasuk sahabat yang berbai’at kepada Rasulullah n dalam Ba’iat Ridhwan.
4 Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir t dalam Tarikh Dimasyq (2/157), serta dinukilkan oleh Ibnu Hajar t dalam Tahdzibut Tahdzib (4/321) dan al-Ishabah (3/413).