Membantu Kebutuhan Seorang Muslim

Adalah sikap tercela manakala seseorang hanya memikirkan maslahat dirinya sendiri tanpa peduli dengan nasib saudaranya. Bahkan, seseorang tidak akan dikatakan sebagai mukmin yang sempurna imannya apabila tidak menyukai kebaikan bagi saudaranya seperti apa yang ia suka untuk dirinya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak beriman salah seorang kalian sampai ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)

Sebab, masyarakat muslimin seperti satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, anggota tubuh yang lainnya akan ikut merasakannya. Seorang muslim yang baik niscaya akan berbahagia ketika muslim yang lainnya berada dalam keadaan yang baik. Sebaliknya, apabila mengetahui saudaranya berada dalam kondisi kesulitan, dia bersedih dan ikut memikirkan upaya melepaskan penderitaan saudaranya.

Sungguh, apabila seseorang bisa menyuguhkan kebaikan bagi saudaranya seiman, berarti dia telah mengukir kemuliaan dalam hidupnya yang kelak akan senantiasa terkenang. Dia juga akan meraih predikat sebaik-baik orang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik orang adalah yang paling berguna bagi orang lain.” (HR. al-Qudha’i dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 426)

Baca juga:

Berbuat Baik kepada Sesama

Usaha orang seperti ini tidak akan sia-sia, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيۡرًا وَأَعۡظَمَ أَجۡرًا

“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (al-Muzzammil: 20)

Bantuan dari Allah subhanahu wa ta’ala akan terus mengalir kepadanya selama dia mau membantu saudaranya karena balasan itu sesuai dengan perbuatan.

Memberi Syafaat

Di antara kebaikan yang dianjurkan dan besar keutamaannya tersebut adalah memberi syafaat untuk seseorang di hadapan orang lain.

Yang dimaksud dengan syafaat di sini adalah permohonan kebaikan untuk orang lain. Artinya, seseorang menjadikan dirinya sebagai perantara untuk mengemukakan hajat/kebutuhan saudaranya di hadapan orang lain untuk mewujudkan tujuan saudaranya. Syafi’ (pemberi syafaat/perantara) ini biasanya orang yang terpandang di tengah-tengah masyarakat sehingga kemungkinan besar permintaannya untuk saudaranya akan dikabulkan oleh penguasa dan semisalnya.

Kedudukan yang dimiliki seseorang hendaklah bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan nasib saudaranya-saudaranya seiman. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اشْفَعُوا فَلْتُؤْجَرُوا

“Berilah syafaat, niscaya kalian akan diberi pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu)

Baca juga:

Syafaat Rasulullah yang Agung

Hadits ini mengandung faedah yang besar, yaitu seorang hamba seyogianya berusaha dalam perkara-perkara kebaikan. Sama saja, apakah usaha ini akan membuahkan hasil yang maksimal atau sesuai yang diharapkan, atau sebagiannya, atau bahkan hasilnya nihil. Di antara usaha tersebut adalah memberi syafaat bagi orang lain di hadapan penguasa, pembesar, dan orang-orang yang memiliki kebutuhan terkait dengan mereka.

Umumnya, orang malas untuk memberi syafaat/menjadi perantara bagi orang lain apabila dia belum yakin akan diterima syafaatnya. Sikap ini menyebabkan seseorang melewatkan kebaikan yang besar, yaitu pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, ia juga melewatkan kesempatan untuk berbuat baik kepada saudaranya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintah para sahabat untuk membantu tercapainya kebutuhan saudaranya agar mereka bersegera meraih pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga:

Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Syafaat yang baik itu dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya,

مَّن يَشۡفَعۡ شَفَٰعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُۥ نَصِيبٌ مِّنۡهَاۖ

“Barang siapa memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya.” (an-Nisa: 85)

Dengan syafaat ini, seseorang telah bersegera meraup pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala dan bersegera menyuguhkan kebaikan bagi saudaranya. Bisa jadi, syafaatnya menjadi sebab tercapainya seluruh kebutuhan saudaranya atau sebagiannya, dan seperti itu memang kenyataannya. Dengan syafaat ini pula, seseorang telah menutup pintu yang mengarah kepada sikap pesimis. Sebab, mencari dan berusaha adalah pertanda adanya harapan tercapainya tujuan. (Lihat Bahjatul Qulub karya Syaikh as-Sa’di syarah hadits ke-14)

Tidak Memberi Syafaat pada Urusan yang Haram

Anjuran untuk menjadi perantara agar tercapainya kebutuhan seorang sebagaimana disebutkan di atas, hanyalah pada urusan kebaikan dan yang tidak mengandung pelanggaran syariat.

Oleh karena itu, apabila seseorang memberi syafaat untuk orang lain di hadapan penguasa—misalnya—agar orang tersebut diberi izin membangun tempat-tempat maksiat, syafaat ini haram hukumnya dan dia ikut menanggung dosanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يَشۡفَعۡ شَفَٰعَةً سَيِّئَةُ يَكُن لَّهُۥ كِفۡلٌ مِّنۡهَاۗ

“Dan barang siapa memberikan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya.” (an-Nisa: 85)

Termasuk syafaat yang haram adalah yang mengandung bentuk pemudaratan. Misalnya, kita merekomendasikan seseorang kepada pemegang kebijakan agar orang tersebut menduduki jabatan tertentu yang telah dipegang oleh orang yang mumpuni. Apabila kita melakukan hal ini, berarti kita telah ikut menzalimi hak saudara kita dan ikut andil meretakkan sendi-sendi ukhuwah (persaudaraan) di tengah-tengah umat.

Di antara syafaat lain yang haram adalah syafaat yang mengandung satu bentuk perlindungan kepada pelaku kriminal yang layak dihukum agar dia tidak dihukum. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُوْنَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ فَقَدْ ضَادَ اللهُ

“Barang siapa yang syafaatnya menghalang-halangi suatu had (hukuman yang ada ketentuannya dalam syariat) Allah, dia telah menentang Allah.” (HR. Abu Dawud, dll. Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 6196)

Baca juga:

Berkah Allah dalam Hukum Had

Dahulu ada seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri. Hukuman potong tangan akan diberlakukan terhadapnya. Keluarga wanita itu lalu menemui sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Usamah bin Zaid radhiallahu anhuma, orang yang dicintai oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka meminta Usamah untuk menyampaikan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar beliau menggugurkan hukuman tersebut.

Usamah pun menyampaikannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu menegurnya dengan mengatakan, “Apakah kamu akan memberi syafaat pada salah satu hukum had Allah?!”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian berdiri dan menyampaikan ceramahnya,

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Wahai manusia, hanyalah yang menjadikan orang sebelum kalian tersesat adalah karena apabila ada orang yang berkedudukan mencuri, mereka membiarkannya. Adapun apabila yang mencuri adalah orang biasa, mereka menegakkan (hukuman) atasnya. Demi Allah, andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (Lihat Shahih al-Bukhari no. 6788)

Ulama mengatakan bahwa larangan memberi syafaat dalam perkara seperti ini berlaku apabila pelaku kejahatan tersebut telah dihadirkan di hadapan penguasa. Adapun apabila belum sampai dihadirkan dan diupayakan adanya mediasi untuk tidak dipotong atau korban pencurian memaafkan, hukuman bisa gugur dari pencuri tersebut. Lebih-lebih apabila si pencuri itu menyesal dan bukan orang yang terkenal jahat. (Lihat Fathul Bari 12/87—96 cetakan pertama, terbitan as-Salafiyah)

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Orang yang terus-menerus melakukan kejahatan dan terkenal kebatilannya (baca: residivis, -red.) tidak boleh diberi syafaat (pembelaan agar tidak dihukum). Hal ini untuk memunculkan efek jera.” (Fathul Bari 10/451)

Apabila Syafaat Ditolak

Orang yang memberi syafaat saudaranya akan meraih pahala meski syafaatnya tidak diterima. Dengan syafaat ini dia telah membuktikan kecintaan dan kepeduliannya terhadap problem saudaranya. Adapun urusan keberhasilan usahanya tidak menjadi tanggung jawabnya. Orang yang ditolak syafaatnya tidak perlu kecewa, apalagi memendam kebencian kepada pihak yang menolaknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun, pemimpin seluruh manusia, pernah tidak diterima syafaatnya.

Dahulu Barirah dan suaminya, Mughits, menyandang status sebagai budak. Lalu Barirah dimerdekakan oleh tuannya. Ketentuannya, apabila seorang istri telah merdeka dan suaminya masih berstatus budak, wanita itu punya pilihan. Dia diberi kebebasan untuk memilih, melanjutkan hubungan rumah tangga atau bercerai/berpisah dengan suaminya.

Barirah memilih berpisah dengan Mughits. Mengetahui hal ini, Mughits tidak kuasa menahan air mata. Dia begitu berat berpisah dengan Barirah karena sangat mencintainya. Mughits, sambil menangis, mondar-mandir di belakang Barirah.

Melihat hal itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam iba kepada Mughits. Beliau pun memanggil Barirah seraya memberi tawaran kepadanya untuk kembali kepada Mughits.

Barirah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini perintah dari Anda kepadaku?”

Beliau menjawab, “Saya hanya memberi syafaat.”

Barirah mengatakan, “Aku tidak ingin kembali kepadanya.” (Lihat Shahih al-Bukhari no. 5283)

Baca juga:

Barirah, Maulah Aisyah Ummul Mukminin

Di antara faedah kisah tersebut adalah:

  1. Bolehnya seseorang tidak mengikuti saran orang lain, dalam urusan yang bukan wajib.
  2. Disunnahkan memasukkan perasaan bahagia pada diri seorang muslim.
  3. Orang yang memberi syafaat mendapat pahala meskipun permintaannya tidak dikabulkan. (Fathul Bari 9/414)

Disebutkan dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Qudamah rahimahullah bahwa ia banyak menuliskan syafaat bagi orang-orang yang datang (meminta) kepadanya untuk disampaikan kepada penguasa.

Pada suatu hari, petugas yang mengurusi (permohonan-permohonan) mengatakan kepada Ibnu Qudamah, “Sesungguhnya Anda menulis kepada kami (permohonan) orang-orang yang kami tidak ingin menerima syafaat bagi mereka. Namun, kami (juga) tidak kuasa menolak tulisanmu.”

Ibnu Qudamah berkata, “Saya telah membantu keinginan orang yang datang meminta bantuan kepada saya, tetapi itu terserah Anda. Jika Anda ingin mengabulkan permohonan saya, (terimalah). Jika tidak, juga tidak mengapa.”

Petugas tersebut mengatakan, “Kami tidak akan menolaknya selama-lamanya.” (Dinukil dalam kitab Ma’alim fi Thariqi Thalabil Ilmi hlm. 161 dari kitab Dzail Thabaqat al-Hanabilah)

Berzakat dengan Kedudukan

Membantu orang lain tak selamanya harus dengan harta atau tenaga. Kedudukan yang kita miliki bisa kita manfaatkan untuk memperjuangkan nasib saudara kita.

Dahulu ada seorang alim bernama al-Hasan bin Sahl rahimahullah. Seseorang menemuinya untuk meminta syafaat darinya dalam satu keperluan. Al-Hasan mengabulkan keinginannya. Lalu orang tersebut datang mengucapkan terima kasih kepadanya. Al-Hasan bin Sahl lalu mengatakan, “Mengapa engkau berterima kasih kepada kami, padahal kami memandang bahwa kedudukan (juga) ada zakatnya seperti harta!”

Al-Hasan lalu menyebutkan syairnya yang artinya kurang lebih sebagai berikut,

Diwajibkan atasku memberi zakat yang dimiliki tanganku,

         sedangkan zakat kedudukan adalah dengan membantu dan memberi syafaat.

Apabila engkau punya (harta), berdermalah; dan jika belum mampu,

        curahkan segala daya dan upayamu untuk memberi manfaat.

(al-Adab asy-Syar’iyah)

Disebutkan dalam biografi Abdullah bin Utsman (Abdan) rahimahullah, syaikh (guru) Imam al-Bukhari rahimahullah bahwa ia mengatakan, “Tidaklah seorang meminta suatu kebutuhan kepadaku melainkan aku membantunya dari diriku sendiri. Apabila tidak terpenuhi, aku bantu dengan hartaku. Ketika belum terpenuhi juga, aku meminta bantuan teman-temanku. Apabila belum terpenuhi pula, aku meminta bantuan kepada penguasa.”

Baca juga:

Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

Imam Ibnu Muflih rahimahullah menyebutkan bahwa Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,

“Harun ar-Raqqi telah berjanji kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk tidak menolak seorang pun yang meminta syafaat kepadanya. Ia pasti akan menuliskannya. Seorang lelaki pernah menemuinya dan mengatakan bahwa anaknya tertawan di Romawi. Dia meminta Harun untuk menulis kepada Raja Romawi agar melepaskan anaknya.

Ar-Raqqi mengatakan, ‘Aduh kamu, dari mana Raja Romawi mengenalku? Jika ia bertanya tentang aku, dan dijawab bahwa aku seorang muslim, bagaimana dia akan mengabulkan hakku?!’

Orang tersebut mengatakan, ‘Ingatlah janjimu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.’

Akhirnya, ar-Raqqi menuliskan syafaat untuknya kepada Raja Romawi.

Tatkala Sang Raja membaca tulisannya, ia bertanya, ‘Siapa orang ini?’

Dijawab bahwa ia adalah orang yang telah berjanji kepada Allah subhanahu wa ta’ala bahwa tidaklah dia diminta menuliskan syafaat kecuali dia akan menuliskannya, kepada siapa pun. Sang Raja berkata, ‘Orang ini berhak dikabulkan permintaannya. Lepaskanlah tawanannya….’.” (al-Adab asy-Syar’iyah 2/172)

 

Ditulis oleh Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

 

membantu orang lainmenolongmenolong sesamaperantara kebaikansyafa'at