Siapa tak kenal Imam Samudra? Ia begitu populer karena menjadi tersangka dalam kasus Bom Bali. Sebuah buku atas namanya meluncur. Repotnya, buku yang sarat syubhat itu justru menggunakan berbagai ‘dalil’ yang kemudian ditafsiri seenak perut. Tujuannya tentu, mencari pembenaran atas aksi yang mengatasnamakan Islam itu!
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa misi perbaikan alam dan menegakkan kemaslahatan hamba, seperti beliau nyatakan dalam sabdanya,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali menjadi hak atasnya untuk menunjukkan umatnya pada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan memperingatkan dari kejelekan yang diketahuinya untuk mereka.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Imarah no. 1844)
Tak diragukan bahwa para salaf, yakni para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in adalah orang-orang terdepan dalam meraih kemaslahatan dan menghindar dari segala kerusakan. Hal ini pulalah yang kemudian mereka serukan sebagai suatu manhaj yang dianut. manhaj Salaf adalah dakwah al-haq, dakwah Islam, di mana Islam meliputi seluruh aspek kehidupan.
Seruannya datang untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid, dari kerancuan dan bid’ah menuju kesatuan sunnah dan akidah. Sama sekali tidak berdiri di atas hawa nafsu dan ra’yu (logika), akan tetapi di atas apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan. (Usus Manhaj as-Salaf fi Da’wati Ilallah, oleh asy-Syaikh Fawwaz as-Suhaimi rahimahullah hlm. 98)
Manhaj Salafush Saleh, Manhaj Kebaikan dan Kebenaran
Mengikuti Manhaj Salafush Saleh dalam memahami agama adalah hal yang sangat terpuji dan sikap yang paling benar. Bagaimana tidak, sebab manhaj ini bertolak dari Salaful Ummah (umat terdahulu) dari kalangan sahabat dan tabi’in yang telah mendapatkan jaminan kebaikan dan kebenaran. Karena itu, siapa pun yang berjalan di atas manhaj ini dan mengikutinya dengan baik, tentu akan mendapatkan jaminan berharga.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang keridhaan-Nya terhadap orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Demikian pula, (Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan) keridhaan mereka terhadap (Allah subhanahu wa ta’ala) atas apa yang Allah subhanahu wa ta’ala janjikan untuk mereka berupa jannah yang dipenuhi kenikmatan-kenikmatan yang abadi.” (Tafsir al-Qur’anul Azhim, 2/404)
Ketika berbicara manhaj Salafus Shalih, sejatinya kita berbicara tentang gambaran Islam yang murni dan bersih, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di atasnya. Ketika menyerukan manhaj Salaf, berarti kita menyerukan untuk berpegang teguh dengan manhaj Islam yang lurus yang mereka (para pendahulu) telah menempuhnya, bukan ajakan untuk taklid terhadap pribadi tertentu sebab tidak ada yang patut diikuti (secara mutlak) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada cela bagi siapa yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib hal itu diterima secara sepakat karena sesungguhnya manhaj Salaf tidak ada di dalamnya kecuali kebenaran.” (Majmu’ul Fatawa, 4/149 diambil dari Irsyadul Bariyyah hlm. 20 dan 24)
Asy-Syaikh Saleh bin Sa’d as-Suhaimi rahimahullah mengatakan, “Dari sinilah, komitmen yang paling pantas dan abadi hanyalah kepada manhaj Islam dengan apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala syariatkan untuk kita… Komitmen bukanlah terhadap pribadi tertentu, lembaga, ataupun jamaah yang selalu (merupakan) tempatnya salah dan benar.” (Manhaj as-Salaf fil ‘Aqidah hlm. 45)
Oleh karena itu, manhaj Salafus saleh bukanlah manhaj yang beragam warna sehingga bisa berubah-ubah manakala salah satunya dibutuhkan. Misalnya dalam masalah fikih dan tauhid mengikuti para ulama yang menempuh manhaj Salaf, dalam hal politik mengikuti tokoh-tokoh politik dengan alasan mereka lebih paham perpolitikan, dalam bidang jihad bersama dengan tokohtokoh yang diistilahkan dengan “ulama mujahid,” meski tokoh-tokoh tersebut tidak menempuh manhaj Salafus Saleh.
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyatakan, “Seorang muslim yang bertumpu pada al-Kitab dan as-Sunnah tidak akan dapat berwarna-warni secara mutlak. Adapun muslim yang bertumpu pada jamaah atau kelompok hizbiyyah—meski (menamakan dirinya) Islam—akan memaksanya sehingga ia harus banyak warna dengan dalih bahwa itu adalah ijtihad dan perubahan.” (Fatawa fi al-Jama’at wal-Ahzab al-Islamiyyah hlm. 25)
Aliran-Aliran Sesat Mengklaim sebagai Ahlus Sunnah
Menjadi kebiasaan ahli bid’ah dan ahli batil, ketika mereka menebar racun kesesatannya akan menampakkan kedok kebaikan, menebeng di balik gambaran keislaman yang benar, mengaku sebagai pengikut Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sejarah membuktikan, mereka acap menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, pengikut manhaj Salafus Saleh, padahal sejatinya bukan.
Asy-Syaikh ‘Abbas bin Manshur as-Saksaki rahimahullah berkata, “Seluruh aliran sesat telah menamakan dirinya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah padahal tidak sesuai kenyataan. (Namun itu) hanya berupa kedengkian dan kedustaan atasnya, serta penisbatan kepada yang bukan akidahnya.” (al-Burhan fi Ma’rifati Aqa’idi Ahlil Adyan hlm. 61)
Bagaimanapun usaha penyesatan yang dilakukan ahlil bid’ah sejak dahulu meski bersembunyi di balik nama yang mulia, hakikat mereka tetap tampak. Sifat yang kentara dalam diri mereka adalah menolak untuk menempuh jalan kaum Salaf. Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para pengikut manhaj Salafus Saleh dalam hal akidah, ucapan, ataupun amalan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok as-Sunnah bagi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang ada di atas para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mencontoh mereka.” (Ushul as-Sunnah hlm. 35)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah. Beliau berkata, “Jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah adalah mengikuti atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir dan batin, mengikuti jalan orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta mengikuti wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah ia dan gigitlah dengan gigi geraham…’.” (al-’Aqidah al-Wasithiyyah dengan syarahnya hlm. 179—180, cetakan Darul Fikr)
Bantahan Terhadap Buku Aku Melawan Teroris
Nebeng-menebeng adalah gaya yang disukai banyak orang. Pasalnya, di samping mudah, juga praktis dan gratis. Namun hal itu sangat berbahaya manakala ahli bid’ah dan ahli batil yang memeragakannya. Tentu, mengakibatkan banyak umat akan tertipu.
Di kala manhaj Salafus Saleh mulai kembali dikenal umat dengan karunia Allah subhanahu wa ta’ala lalu dengan keutamaan para ulama Ahlus Sunnah yang senantiasa menyerukan untuk kembali kepada dakwah Islam yang haq, maka untuk menjauhkan umat dari as-Sunnah dan para ulamanya serta menyebarkan kerancuan di tengah-tengah mereka, tak sedikit dari para ahli bid’ah yang sembunyi di balik manhaj yang benar, manhaj Salafus Saleh.
Sebut saja Imam Samudra, salah seorang pelaku peledakan bom jahat Bali yang mengguncang Indonesia di antara rentetan peristiwa bom-bom lainnya di tanah air. Dengan ulahnya itu isu terorisme pun kian santer. Lewat buku yang ditulisnya yang berjudul Aku Melawan Teroris[1], dia mengaku berpola keislaman menurut manhaj Salafus Saleh, dan bahwa tindakannya pun atas dukungan para ulama yang bermanhaj Salafus Saleh.
Inilah terutama yang menjadi sorotan penulis terhadap isi buku tersebut, di samping tindakan-tindakannya yang dia nisbatkan pada para Salafus Saleh. Tentunya ini semua sebagai upaya nasihat bagi yang bersangkutan dan al-bayan (penjelasan) kepada umat bahwa cara yang ditempuhnya jauh dari manhaj Salafus Saleh dan tidak pula berjalan di atas fatwa para ulama yang menempuh manhaj Salaf. Wallahul musta’an.
- Imam Samudra menyebutkan sejumlah tokoh yang menurutnya menempuh manhaj Salaf seperti Salman bin Fahd al-’Audah, Dr. Safar al-Hawali, Dr. Aiman azh-Zhawahiri, Sulaiman Abu Ghaits, Dr. Abdullah Azzam, Usamah bin Ladin, serta Maulani Mullah Umar. Kemudian mereka dia istilahkan dengan ulama mujahid. (Aku Melawan Teroris, hlm. 64)
Bantahan
Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf. asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh al-’Utsaimin, dan asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah, serta asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali, serta para ulama yang berjalan di atas manhaj Salafus Saleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah—dan dia (Imam Samudra) sendiri juga menyatakan demikian—banyak menjelaskan tentang kesesatan tokoh-tokoh tersebut dan jauhnya dari manhaj Salaf. Lalu bagaimana dia gabungkan tokoh-tokoh itu dengan para ulama bermanhaj Salaf?
Tak ada hubungan antara tokoh-okoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyyah, Ikhwaniyyah, dan Kharijiyyah. Hal itu terbukti dengan sejumlah aksi dan tulisan tokoh-tokoh tersebut yang dipenuhi dengan penyimpangan dan pemikiran yang menyesatkan. Cukuplah bantahan asy-Syaikh Rabi’, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Muqbil, dan yang lainnya menjadi saksi. Bahkan ketika beliau (asy-Syaikh Muqbil) ditanya tentang Usamah bin Ladin, jawabnya, “Aku berlepas diri dari Usamah bin Ladin, dia adalah kejelekan dan bala atas umat, tindakan-tindakannya pun jelek.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz memperingatkan bahaya mereka, “Tidak boleh seorang pun untuk bekerja sama dengannya dalam kejelekan dan hendaknya mereka meninggalkan kebatilan ini.” (al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Qadhaya al-Ashriyyah hlm. 191—201)
- Imam Samudra mengatakan, “Dengan demikian jelaslah bahwa (warga) ‘sipil’ bangsa-bangsa penjajah yang pada asalnya tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi karena adanya tindakan melampaui batas yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah. Dengan demikian, tercapailah keseimbangan hukum dalam perlawanan dan demikian jihad bom Bali tidak dilakukan secara asal-asalan dan serampangan.” (Aku Melawan Teroris hlm. 116).
Di halaman 135—145, dia berbicara tentang Islam dan keadilannya meski dalam kondisi perang, hingga berakhir pada kesimpulan bolehnya membunuh warga sipil, rakyat biasa yang non muslim di mana saja dengan dalil orang-orang kafir pun telah membantai warga sipil rakyat biasa kaum muslimin.
Bantahan
Entah keadilan dan keseimbangan hukum mana yang dia anut. Kalaulah warga sipil dari negara penjajah itu berada di medan pertempuran dengan kaum muslimin dan mereka terlibat dalam penyerangan terhadap kaum muslimin, maka dapat dibenarkan memerangi mereka. Tetapi apa yang terjadi dengan bom Bali? Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa di Bali sedang berkecamuk perang antara muslimin dan kafirin. Lagi pula, tak sedikit dari kaum muslimin yang menjadi korban bom jahat itu. Adapun ayat yang dijadikannya sebagai dalil,
ٱلشَّهۡرُ ٱلۡحَرَامُ بِٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ وَٱلۡحُرُمَٰتُ قِصَاصٞۚ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ
“Barang siapa menyerang kamu maka seranglah ia, sebanding dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194)
Kemudian ayat:
وَإِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦۖ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126)
Ayat-ayat ini sesungguhnya justru menjadi hujah atasnya. al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini, ada kemiripan dengan ayat-ayat lain dalam al-Qur’an. Ayat ini meliputi disyariatkannya adil dan anjuran kepada sesuatu yang utama.” (Tafsir al-Qur’anul Azhim, 2/617)
Warga sipil yang muslim ataupun nonmuslim, tak seorang pun di antara mereka yang melakukan penyerangan dan terlibat perang, maka pembunuhan yang dilakukan terhadap mereka berarti menggugurkan salah satu pokok dari pokok-pokok Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمۡ لَمۡ يُنَبَّأۡ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَىٰ ٣٦ وَإِبۡرَٰهِيمَ ٱلَّذِي وَفَّىٰٓ ٣٧ أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ ٣٨ وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ٣٩
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (Yaitu) bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 36—39)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِي غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Barang siapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) tidak pada waktu/tempatnya maka Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan surga untuknya.” (Hadits sahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2760, an-Nasai dalam Sunan-nya no. 4761 dari sahabat Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ١٩٠
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 190)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni perangilah mereka (orang-orang kafir) di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan jangan melampaui batas dalam hal itu. Termasuk melakukan hal-hal yang dilarang seperti kata al-Hasan al-Bashri rahimahullah: Mencacah mayat orang kafir, mengambil harta rampasan perang tanpa sepengetahuan pemimpin jihad, membunuh wanita dan anak-anak serta orang tua (jompo) yang tidak memberikan bantuan pemikiran kepada mereka (pasukan kafir) dan tidak pula ikut perang bersamanya, membunuh pendeta dan biarawan, membakar pepohonan, dan membunuh hewan tanpa ada kemaslahatan. Hal serupa dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ‘Umar ibnu Abdil ‘Aziz, Muqatil bin Hayyan, dan selainnya.” (Kemudian) Ibnu Katsir mengutip beberapa hadits yang berkaitan dengan hal ini. (Lihat Tafsir al-Qur’anil Azhim, 1/253)
Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecualikan beberapa kalangan orang kafir untuk tidak diperangi dalam kondisi perang—yakni terhadap mereka yang tidak terlibat penyerangan—lalu bagaimana kiranya dengan orang kafir yang tidak berada dalam peperangan dan tidak terlibat penyerangan seperti di Bali, Jakarta, dan tempat-tempat lainnya? Jika dikatakan, “Bukankah kedatangan mereka (orang kafir) ke suatu tempat membawa kerusakan atau bahkan misi tertentu?” (seperti yang dikatakan Samudra di hlm. 149—150, 155—158). Jawabannya : hal itu bukanlah dalil bolehnya membunuh mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Tindakan menyakiti tidak boleh dilakukan pada siapa pun baik itu terhadap para turis maupun pekerja (asing) karena mereka orang-orang yang masuk (ke suatu negara) dalam keadaan aman. Tetapi sampaikanlah nasihat kepada pihak negara agar mencegah mereka dari hal-hal yang tidak layak untuk ditampakkan. Adapun secara individu maka tidak boleh membunuh mereka atau melukainya, namun hendaknya diangkat perkaranya ke hadapan wulatul umur (pemerintah).” (al-Fatawa asy-Syar’iyyah hlm. 113)
Beliau juga berkata, “Tidak boleh membunuh orang kafir yang mendapat jaminan keamanan yang telah diizinkan masuk oleh negara dalam keadaan aman. Tidak boleh pula membunuh orang-orang yang bermaksiat, tidak pula melukai mereka.” (Fatawa al-‘Ulama al-Akabir fima Uhdira min Dimaa fi al-Jazaair hlm. 75)
Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ummu Hani binti Abi Thalib radhiallahu ‘anha mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah. Ia mengadukan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu akan membunuh orang (musyrik) yang meminta perlindungan kepadanya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami telah memberikan perlindungan kepada orang yang meminta perlindungan kepadamu, wahai Ummu Hani.” (Hadits dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya nomor 357 dari Ummu Hani binti Abi Thalib radhiallahu ‘anha)
- Pada halaman 163, dia mengatakan,
الْجِهَادُ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat. Ketiadaan khilafah atau daulah Islamiyyah saat ini tidak menghalangi terselenggaranya jihad, seharusnya ketiadaan khalifah atau amir (pemimpin) Islam tidak pula menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad berhenti atau tertunda.” Kemudian di halaman 170 katanya, “Jadi bom Bali adalah DEFOFFENSE JIHAD.”
Bantahan
Di halaman sebelumnya (hlm. 159), dia menuturkan bahwa paham jihad yang dianutnya adalah dari para ulama yang bermanhaj Salafus Saleh. Sungguh ucapannya ini adalah kebohongan dan pengkhianatan yang besar terhadap para ulama. Jika yang dimaksud dengan para ulama itu adalah Usamah bin Ladin, Abdullah Azzam, atau Salman al-‘Audah dan semua yang setipe dengannya, maka sudah saya katakan bahwa mereka tidak bermanhaj Salaf, bahkan berjalan di atas jalan yang bid’ah. Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar!
Ucapanmu
الْجِهَادُ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
(Jihad akan berlangsung sampai hari kiamat), apa sebetulnya yang kau maksud dari kutipan kata-kata ini? Kalau kamu menganggap bahwa ini adalah ucapan ulama maka salah besar, dan menunjukkan bahwa kamu sebenarnya tidak berjalan di atas manhaj Salaf. Lalu di atas manhaj apa? Akan datang jawabannya! Sementara yang disebutkan para ulama yang bermanhaj Salaf di dalam kitab-kitab akidah adalah seperti perkataan al-Imam ath-Thahawi rahimahullah:
وَالْحَجُّ وَالْجِهَادُ مَاضِيَانِ مَعَ وَلِيِّ اْلأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ بِرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ، لاَ يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلاَ يَنْقُضُهُمَا
“Haji dan jihad keduanya akan tetap berlangsung bersama waliyyul amri (pemerintah) dari kaum muslimin, yang baik dan yang jahat, hingga hari kiamat. Tak ada sesuatu yang dapat membatalkannya, tidak pula menggugurkannya.” (Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 387)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahih-nya, “Bab Jihad tetap berlangsung bersama (pemimpin) yang baik dan yang jahat.” (Shahih al-Bukhari dengan al-Fath, 6/70)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِهِ
“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah pelindung/perisai, yang (musuh) akan diperangi dari belakangnya.” (HR.Al-Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1841 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dan kalau yang kamu maksudkan dari kutipan itu adalah hadits, maka lebih salah lagi. Karena tak ada satu pun lafadz hadits yang seperti itu, yang ada adalah:
وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِيَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ الدَّجَّالَ
“Jihad akan tetap berlangsung sejak Allah radhiallahu ‘anhu mengutusku hingga akhir generasi umat ini memerangi/membunuh Dajjal.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2532, di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Yazid ibnu Abi Nusybah, keadaannya majhul (tidak diketahui) seperti kata al-Hafizh Ibnu Hajar al- ’Asqalani rahimahullah dalam Taqribut Tahdzib (hlm. 535). Karena itu beliau berkata dalam Fathul Bari (6/70),
“Dalam sanadnya ada kelemahan.” Saya tidak mengingkari fardhiyyatul jihad (kewajiban jihad –red.), namun tentu jihad harus dilakukan di atas ilmu, memenuhi syarat-syaratnya, senantiasa bersama waliyyul amri atau amir. Dan ini yang menjadi konsensus ulama Salafus Saleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jihad tidak boleh dilakukan dengan serampangan dan semangat konyol yang pada akhirnya mati dalam keadaan tolol!
Asy-Syaikh Saleh al-Fauzan ketika beliau ditanya, “Akhir-akhir ini ada orang yang beranggapan bahwa jihad wajib dilakukan tanpa harus ada imam.” Maka beliau menjawab, “Ini pemikiran Khawarij, adapun Ahlus Sunnah mengatakan, ‘Harus ada imam (pemimpin).’ Ini adalah manhaj kaum muslimin dari sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang beranggapan/berfatwa tidak perlu dengan imam berarti mengikuti hawa nafsu. Inilah ideologi Khawarij.” (al-Fatawa asy-Syar’iyyah hlm. 151) Inilah jawaban yang saya maksudkan dari pertanyaan di atas. Jadi, bom jahat Bali sama sekali bukan jihad, baik offensif atau defensif apalagi defoffensif.
- Imam Samudra menganggap bahwa tolok ukur orang-orang yang mendapat hidayah adalah jihad dan keterlibatannya di medan jihad. Kemudian mengistilahkan mereka dengan ulama ahluts tsughur (orang-orang yang berjaga di perbatasan negeri muslim dengan negeri kafir untuk menjaga dari serangan musuh –red.). (Aku Melawan Teroris hlm. 70 dan 172)
Bantahan
Mengklaim orang-orang yang berjihad dan terlibat di medan jihad sebagai orang yang pasti mendapat petunjuk secara umum, ini adalah vonis gegabah dan tanpa ilmu. Sebab, kenyataannya didapati orang-orang yang berjihad namun tidak di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Tak sedikit pula orang-orang yang menyerukan jihad dan terlibat dalam peperangan ternyata akidahnya rusak dan keyakinannya menyimpang. Mungkinkah mereka di atas hidayah?
Fenomena yang seperti ini jauh-jauh hari telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana ada yang berperang karena dorongan nasionalisme atau sekadar ingin dibilang pemberani atau juga demi meraih kedudukan. Ketika hal itu ditanyakan kepada Rasulullah, “Manakah yang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala?” Beliau menjawab, “Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala, dialah yang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِي أَيِّ شَيْءٍ قَتَلَ وَلاَ يَدْرِي الْمَقْتُوْلُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ قُتِلَ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya akan pasti datang suatu zaman menghampiri manusia, di mana orang yang berperang tidak tahu untuk apa ia berperang dan orang yang terbunuh tidak tahu atas dasar apa ia terbunuh.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2908)
Adapun ayat yang dia jadikan dalil,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69)
Lagi-lagi ayat ini justru menjadi hujah atasnya. al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni (mereka adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” (Tafsir al-Qur’anul Azhim, 3/440)
Jadi, siapa yang berjihad dan berada di front-front jihad tidak otomatis sebagai orang-orang yang mendapat hidayah. Tetapi siapa saja yang berjihad sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, berpijak di atas as-Sunnah dan kesatuan akidah yang benar, mereka itulah yang akan mendapatkan janji apa ia berperang dan orang yang terbunuh tidak tahu atas dasar apa ia terbunuh.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2908)
Berkenaan dengan atsar yang disebutkan dari Sufyan ibnu ‘Uyainah rahimahullah, “Jika kalian menyaksikan manusia telah berselisih, ikutilah (pendapat) mujahidin dan ahluts tsughur.” (Aku Melawan Teroris hlm. 69)
Maka jawabannya, atsar ini lengkapnya adalah bahwa Sufyan ibnu ‘Uyainah berkata kepada Ibnul Mubarak, “Kalau engkau melihat manusia telah berselisih hendaklah engkau bersama mujahidin dan ahluts tsughur karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, ‘Benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka (jalan-jalan mereka)’.” (Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/365)
Seandainya dia menjelaskan tafsiran ayat itu (al-Ankabut: 69) dengan lengkap, tentulah akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan mujahidin dan ahluts tsughur dalam atsar di atas—jika atsarnya sahih—tidak terkhususkan bagi setiap yang berada di medan jihad dan di kamp-kamp pertahanan saja.
Apalagi jika yang berada di sana adalah orang-orang yang menyimpang akidahnya, misal Quburiyyun[2], fanatik mazhab, dan berbagai bid’ah seperti yang tampak di Afghanistan. (Lihat Syarh al-Farqu baina an-Nashihati wat Ta’yiiri oleh asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, www.sahab.net)
Atau juga melakukan tindakan-tindakan bid’ah dalam memerangi musuh, seperti bom bunuh diri yang marak di Palestina dan lain-lain. Sementara itu, al-Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Islam tidak akan menang dengan perantara (tangan-tangan) ahli bid’ah.” (Diambil dari Mukadimah asy-Syaikh Muqbil dalam kitab al-Mawahib fi Raddi ‘ala man Za’ama bi Islami Abi Thalib)
Ibnu ‘Abbas dan Ibrahim bin Adham berkata tentang ayat itu, “Yakni terhadap orang-orang yang beramal dengan apa yang telah mereka ketahui ilmunya.” Beliau (Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma) berkata lagi, “(Maknanya) yaitu orang-orang yang berjihad dalam ketaatan terhadap Kami, tentu Kami akan menunjukkan jalan pahala Kami.
Dan keumuman taat ini meliputi seluruh perkataan.” Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Jihad yang terdapat dalam ayat tersebut bukan semata-mata membunuh orang kafir saja, akan tetapi (jihad) dalam arti membela agama, membantah orang-orang yang membawa kebatilan, dan melenyapkan orang-orang yang zalim. Dan yang besarnya adalah amar ma’ruf nahi munkar, serta yang termasuk bagian jihad adalah mujahadah nufus dalam menaati Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/364—365)
Dengan demikian yang disebut mujahid dan ulama mujahid bukan hanya orang-orang yang terlibat peperangan[3], apalagi yang berperang atau jihad dengan cara yang tidak syar’i. Tetapi mujahid atau ulama mujahid adalah orang-orang yang berperang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, memerangi orang-orang kafir dengan tujuan meninggikan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala demi meraih keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata tentang ayat (al-Ankabut: 69), “Yakni orang-orang yang memerangi kuffar demi meraih keridhaan Kami (Allah subhanahu wa ta’ala).” (Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/364)
Mujahid atau ulama mujahid adalah mereka yang membela agama Allah subhanahu wa ta’ala dengan hujah dan burhan (keterangan), membantah orang-orang yang menyimpang dari agama Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid.” (Majmu’ul Fatawa, 4/13, diambil dari Usus Manhaj Salaf fi Da’wati ilallah hlm. 151)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa jihad (yang dilakukan) dengan pedang dan tombak, dan jihad dengan hujah dan burhan (penjelasan) ibaratnya dua saudara kandung. (Diambil dari Usus Manhaj Salaf fi Da’wati ilallah hlm. 151)
Dunia dewasa ini sudah sangat akrab dengan kata-kata jihad, tetapi yang disesalkan telah terjadi pergeseran dari makna yang sebenarnya kepada makna yang salah. Hampir semua aksi mengatasnamakan jihad mulai dari demonstrasi, perusakan sejumlah tempat, hingga peristiwa bom jahat Bali pun atas nama jihad dan pembelaan Islam.
Tak dimungkiri bahwa dalam peristiwa itu berjatuhan korban dari orang-orang kafir, namun membunuh jiwa yang terpelihara dalam syariat Islam adalah haram. Jiwa-jiwa yang saya maksudkan adalah jiwa seorang muslim, orang kafir yang terikat perjanjian, orang kafir yang mendapat jaminan perlindungan, dan orang kafir yang mendapat jaminan keamanan. Siapa yang melanggarnya maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam, “Tidak akan mencium baunya surga.” (Potongan dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih al-Bukhari no. 3166)
- Imam Samudra menganggap aksi bom Bali sebagai amalan istisyhadiyyah (memburu/mencari syahid) serupa dengan peristiwa ledakan gedung WTC. Dia berdalil dengan kisah seorang ghulam (anak) yang mati di tangan raja kafir dan kisah beberapa sahabat yang menerobos pasukan kafir. Bahkan dia menganggap aksinya itu sebagai tindakan jihad offensive atau defoffensive. (Aku Melawan Teroris hlm. 171—189)
Bantahan
Teramat banyak nash yang berisikan perintah jihad dan keutamaannya, karena jihad fi sabilillah berkaitan dengan maslahat diniyyah dan duniawiyyah. Jihad menjadikan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa tegak dan din-Nya tersebar di seluruh penjuru bumi, mencegah siapa yang bermaksud jahat terhadap din-Nya dan pemeluknya. Karena itu, jihad haruslah dilakukan dengan ilmu, sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang bodoh, maka tidak layak untuk berbicara tentang perkara sebesar ini. Akibat berangkat dari kebodohan, banyak orang yang melakukan tindakan-tindakan tolol karena dorongan balas dendam semata terhadap musuh tanpa mengindahkan apakah caranya tersebut halal ataupun haram.
Pada dasarnya amalan istisyhadiyyah adalah hal yang baik dan merupakan jihad fi sabilillah. Namun hal itu bila dilakukan pada saat dan tempat yang tepat, yakni di saat dua pasukan (Islam dan kafir) telah bertemu dan berada di barisan peperangan. Sedang yang terjadi di Bali, tak ada barisan perang di sana, tidak pula sedang berkecamuk perang. Maka sangat keliru bila dia mengatakan bahwa aksi itu adalah amalan istisyhadiyyah.
Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi rahimahullah ketika ditanya tentang operasi istisyhadiyyah yang marak akhir-akhir ini, beliau menjawab, “Yang tampak dari dalil-dalil, jelas hal itu tidak disyariatkan, tidak termasuk bentuk penyerangan antara dua pasukan dalam pertempuran. Kami katakan demikian karena:
- Operasi yang disebut istisyhadiyyah dilakukan bukan lagi dalam barisan peperangan, akan tetapi di luar peperangan. (Yaitu dengan) mendatangi tempat-tempat di mana orang-orang dalam keadaan lalai (tidak dalam barisan perang) kemudian dirinya meledakkan (bom) di tengah-tengah mereka. Sementara nash-nash yang ada menerangkan dalam barisan perang, kaum muslimin di satu barisan dan orang-orang kafir berada di barisan lain, mereka berperang. Kemudian seorang mukmin melemparkan dirinya/menerobos ke tengah-tengah barisan kuffar.
- Sesungguhnya yang berjibaku (in-ghimas) ke tengah-tengah pasukan kuffar, dia tidak membunuh dirinya sendiri dan terkadang selamat. Berbeda dengan orang yang sengaja meledakkan diri (dengan bom).
- Dalam Shahih al-Bukhari, saat perang Khaibar ada salah seorang sahabat bernama ‘Amir bin al-Akwa, ketika akan menyerang seorang Yahudi, tiba-tiba ujung pedangnya meleset hingga melukai kakinya kemudian meninggal dunia. Tatkala menyaksikan peristiwa itu, orang-orang banyak membicarakan bahwa ‘Amir bin al-Akwa radhiallahu ‘anhu telah menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni dianggap telah membunuh dirinya). Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui saudaranya bernama Salamah bin al-Akwa radhiallahu ‘anhu, beliau mendapatinya dalam keadaan sedih. Salamah bin al-Akwa pun berkata, “Ya Rasulullah, mereka mengatakan bahwa ‘Amir telah menggugurkan jihadnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Telah berdusta siapa yang telah mengatakan begitu. Ia berjihad, ia seorang mujahid, amat sedikit seorang bangsa Arab yang tumbuh sepertinya.”
Kejadian yang menimpa ‘Amir bin al-Akwa adalah kejadian yang di luar kehendaknya dan tanpa kesengajaannya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Telah dusta orang yang menganggap ‘Amir telah menggugurkan jihad.”
Namun, kejadian itu membuat riskan para sahabat, lalu mengira bahwa ‘Amir menggugurkan jihadnya (membunuh dirinya), dalam kondisi ‘Amir dalam barisan perang dan tidak membunuh dirinya, tidak pula dirinya meledakkan (bom). Lalu bagaimana kiranya dengan seorang yang tidak berada di barisan perang kemudian dirinya meledakkan (bom) di tengah-tengah orang yang sedang tenang?” (al-Fatawa Asy- Syar’iyyah hlm. 174—176)
Dari sini kiranya kita dapat memahami bahwa bom Bali dan bom-bom lainnya lebih tepat dikatakan aksi bom bunuh diri (dan bunuh diri itu haram).
Imam Samudra ataupun Usamah bin Ladin tidak punya dalil sedikit pun untuk membenarkan aksi-aksi jahatnya. Kisah-kisah jibaku, menerobos pasukan kuffar seperti yang dikutipnya di halaman 175—176 bukanlah dalil yang membenarkan tindakannya. Dia hanya menganalogikan dua hal yang berbeda.
Para sahabat yang dikisahkan berjibaku ke tengah-tengah pasukan kafir hanya dilakukan dalam kancah barisan peperangan, antara barisan muslimin dan barisan kafirin.
Adapun yang dilakukannya di Bali, jelas tak ada di depannya barisan pasukan kuffar. Para sahabat yang berjibaku tidak membunuh diri mereka, tidak memasang sesuatu di tubuhnya, tidak melukai dirinya, sedangkan dia (Imam Samudra) dan orang-orang yang melakukan tindakan yang sama sepertinya, mereka menghancurkan dan melukai diri mereka dengan memasang bom di tubuh, dengan bom mobil, atau cara lainnya.
Dalil analoginya sangat lemah. Amat baik kalau orang macam dia banyak belajar. Dia hanya menganalogikan dua hal yang berbeda alias qiyas ma’al fariq. Sementara para ulama ushul mengatakan la qiyas ma’al fariq (tidak ada qiyas jika terdapat perbedaan).
Kaitannya dengan kisah ghulam[4] (pemuda) mukmin yang dia jadikan juga sebagai dalil atas tindakannya dan atas aksi bom WTC seperti dikutip di halaman 179—181 dan 186—187 di mana sang raja yang musyrik dan kafir bermaksud untuk membunuhnya, dilakukanlah upaya-upaya untuk dapat mengeksekusinya di antaranya dengan melemparkan sang ghulam mukmin ini dari puncak gunung, kemudian melemparkannya ke tengah-tengah lautan, namun semua upaya untuk mengeksekusinya itu gagal.
Allah subhanahu wa ta’ala tetap menyelamatkan sang ghulam hingga pada suatu hari berkatalah ia kepada raja kafir itu, “Engkau tidak akan dapat membunuhku kecuali dengan mengikuti perintahku. Kumpulkan semua manusia di tengah lapangan yang luas, kemudian ambillah satu anak panah dari sarung panahku, letakkan pada busur panah, lalu ucapkanlah bismillahi rabbil ghulam.”
Si raja pun mematuhi instruksi ghulam, kemudian panah itu diluncurkan dan mengenai pelipisnya sang ghulam hingga ia pun mati. Masyarakat yang menyaksikan kejadian itu serentak mengucapkan, “Kami beriman kepada Rabb ghulam.” (Saat itu semua masyarakat tidak lagi mengatakan bismil malik [atas/dengan nama raja).
Kisah ghulam mukmin ini dimuat dalam Shahih Muslim (no. 3005) dari sahabat Shuhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu, dimuat juga dalam Musnad Ahmad, dan yang lainnya. Lihat Tafsir al-Qur’anul Azhim (4/521).
Berdalil dengan kisah ini juga tak jauh beda dengan sebelumnya alias qiyas ma’al fariq (menganalogikan dua hal yang berbeda). Bagaimana itu?
Daripada umat dibikin pusing dengan igauannya yang luar biasa ngaco, lebih baik penulis suguhkan penuturan para ulama bermanhaj Salafus Saleh tentang hal ini.
Simaklah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata, “Peristiwa ghulam ini membuahkan manfaat yang besar untuk Islam. Sesungguhnya perkara yang diketahui oleh umum (banyak orang) bahwa yang menyebabkan ghulam terbunuh adalah ghulam itu sendiri, tidak diragukan! Tetapi dengan kebinasaannya membuahkan manfaat besar di mana umat beriman seluruhnya. Maka jika membuahkan manfaat yang seperti ini bolehlah bagi seseorang membela agamanya dengan dirinya. Adapun sekadar membunuh sepuluh orang atau dua puluh orang tanpa ada faedah dan tanpa ada perubahan sedikit pun, maka perlu untuk dicermati kembali. Bahkan hal itu adalah haram, bisa jadi orang-orang Yahudi akan melakukan pembalasan hingga membunuh seratus orang (dari kaum muslimin -pen.).” (Diambil dari al-Fatawa asy-Syar’iyyah hlm. 171)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun apa yang dilakukan sebagian orang, dengan membawa alat peledak (bom) lalu mendatangi orang-orang kafir kemudian meledakkannya di tengah-tengah mereka, maka aksi ini adalah bagian dari aksi bunuh diri, wal ‘iyadzubillah.” (Syarh Riyadhush Salehin, 1/130)
Jadi, jelas beda apa yang dilakukan Imam Samudra di Bali dan komplotannya di Amerika atau di belahan bumi lainnya dengan apa yang dilakukan sang ghulam mukmin. Kalau dia katakan bahwa setelah peristiwa hancurnya WTC, banyak orang mengucapkan dua kalimat syahadat seperti di halaman 186—187, maka saya katakan, “Dusta! Jangan menutup mata mentang-mentang kamu dipenjara sekarang! Katakan berapa orang yang beriman karena peristiwa itu di Amerika? Jangankan semua, seperempatnya pun tidak ada. Bahkan semua telunjuk-telunjuk manusia mengarah kepada Islam bahwa Islamlah biang kerusakan, terorisme, yang menambah orang-orang kafir semakin yakin dalam kekafirannya.”
Tak ada bedanya bom jahat yang terjadi di Bali dan tempat-tempat lainnya, apa yang dia lakukan adalah kerusakan di atas kerusakan.
- Imam Samudra mencela para ulama yang menempuh manhaj Salaf, seperti perkataan, “Mereka tidak ngerti trik-trik politik.” (hlm. 92).
“Fatwa yang keluar dari mereka akibat tekanan Amerika.” (hlm. 184).
“Mereka ulama munafik.” (hlm. 186).
Bantahan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٣
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)
Imam Samudra alias Abdul ‘Aziz alias Qudama—dan entah apa lagi namanya—beserta para tokoh panutannya seperti Usamah bin Ladin, Abdullah Azzam, dan lain-lain, bukan ahlinya untuk berbicara masalah yang besar ini (jihad). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pada umumnya, membahas perkara-perkara yang mendetail ini (jihad) adalah tugas ahlul ilmi.” (Diambil dari Fatawa al-‘Ulama al-Akabir hlm. 25)
Apabila yang berbicara dan mengendalikan urusan besar ini dan urusan-urusan lainnya adalah mereka, tunggulah saatnya kehancuran. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah berkata,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا
“Manusia akan senantiasa dalam keadaan baik dan penuh komitmen selama ilmu yang datang/sampai kepada mereka dari para sahabat Muhammad dan dari orang-orang besarnya (para ulamanya). Namun jika (ilmu) yang sampai pada mereka dari orang-orang kecilnya (orang-orang jahil) niscaya mereka binasa.” (Riwayat ath-Thabarani, 9/8589 diambil dari Fatawa al-‘Ulama al-Akabir, hlm. 33—34)
Imam Samudra kehabisan cara bagaimana kiranya dapat mengangkat tokoh-tokoh panutannya itu. Bidang akidah mereka bukan ahlinya, fikih juga demikian, hadits apa lagi. Akhirnya Samudra menggelari mereka dengan ulama mujahid, ahlits tsughur. Tapi bagaimana orang yang tidak punya ilmu digelari mujahid atau bahkan ahlits tsughur? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Imam Samudra mencela para ulama yang menempuh manhaj Salaf di saat mereka tidak mencocoki hawa nafsunya. Ketika para ulama menyatakan haramnya operasi bom seperti yang dia lakukan di Bali, dia dengan pongahnya mengatakan, “Fatwa para ulama itu akibat tekanan dari Amerika.” Ketika para ulama mengutuk peristiwa WTC dengan angkuhnya dia mengatakan, “Para ulama itu munafik.”
Lalu bagaimana dia katakan dirinya mengikuti manhaj Salafus Saleh sedangkan dia mencela ulama-ulama yang menempuh manhaj Salaf?! Bagaimana kiranya pembaca menyikapi dan menghukumi orang yang tipenya model begini?
Simaklah perkataan asy-Syaikh Saleh bin Fauzan al-Fauzan. Beliau berkata, “Tak seorang pun yang melanggar kehormatan para ulama yang istiqamah di atas jalan yang haq, melainkan satu di antara tiga keadaan: boleh jadi dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, atau ia seorang yang fasiq membenci para ulama karena mereka (ulama) telah mencegahnya dari kefasiqan/tindakan fasiq, atau juga dia seorang hizbi, sesat, membenci ulama karena para ulama tidak mencocoki hizbiyyahnya dan pemikiran-pemikirannya yang menyimpang.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 51)
Daging ulama itu beracun, hai Samudra! (Dan mencela ulama Ahlus Sunnah itu adalah tanda ahli bid’ah, lalu bagaimana kamu mengaku sebagai Ahlus Sunnah?? -red)
- Imam Samudra menganggap ada kelompok “Salafy irja’i/Murji’ah” di Indonesia, yang mengklaim bahwa tindakan yang dilakukannya bid’ah/haram. (Aku Melawan Teroris, hlm. 171—172)
Bantahan
Siapa yang kau maksud dengan “Salafy irja’i”? Kalau yang kamu maksudkan adalah mereka yang mengaku-ngaku Salafy yang makmur dengan dukungan finansial dari lembaga-lembaga hizbiyyah bid’iyyah semacam al-Shofwa Jakarta atau Ihya’ at-Turats Kuwait dan yang lainnya (seperti yang kamu sebutkan) maka kamu telah salah. Saya beri tahu bahwa mereka itu bukan Salafy. Mereka adalah hizbiyyun Sururiyyun, kepanjangan dari Quthbiyyah Ikhwaniyyah.
Tapi bila yang kau maksudkan adalah mereka yang tengah berusaha menempuh manhaj Salafus Saleh dengan senantiasa mengikuti para ulama yang bermanhaj Salaf, maka gelarmu kepada mereka adalah malapetaka bagimu. Dan semakin membuka kedokmu di atas manhaj apa sebetulnya kamu berjalan. Gelar yang kamu sebutkan “Salafy irja’i/Murji’ah” sebetulnya bukan hal yang baru jika ditujukan kepada Salafiyyun yang senantiasa menempuh manhaj Salafus Saleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena ciri ahlil bid’ah sejak dahulu adalah melemparkan gelar-gelar yang jelek terhadap Ahlus Sunnah. Saya yakin, dirimu tidak paham Salafy, tidak pula paham hakikat Murji’ah, sehingga kamu gabungkan antara Salafy dengan Murji’ah.
Sejenak bila menoleh sejarah, sebenarnya telah ada orang yang menuduh Salafy dengan tuduhan murji’ah seperti yang telah saya singgung di atas. Akhirnya diketahui bahwa yang menuduhnya adalah bermanhaj khariji (Khawarij). Simaklah kisahnya.
Suatu ketika Abdullah ibnul Mubarak mendatangi kota ar-Ray (sebuah kota yang letaknya di jantung negeri Khurasan –pen.). Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki menghampirinya lalu berkata, “Hai Abu Abdirrahman (Ibnul Mubarak), apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Beliau menjawab, “Aku tidak menganggapnya telah keluar dari keimanan.”
Demi mendengar jawaban itu, spontan laki-laki itu berkata, “Hai Abu Abdirrahman, di masa tuamu engkau telah menjadi Murji’ah?!”
Beliau menjawab, “Jangan engkau gelari aku dengan Murji’ah, sesungguhnya orang-orang Murji’ah itu mengatakan, ‘Kebaikan kita pasti diterima dan kejelekan kita pasti diampuni (karena menganggap tak ada bedanya antara kebaikan dan kejelekan dan tidak ada pengaruh bagi si pelakunya –pen.).’ Seandainya aku tahu kebaikan yang kulakukan pasti diterima tentulah aku mengklaim sebagai penghuni surga.”
(Belakangan) laki-laki itu diketahui bermazhab Khawarij. (Atsar ini dikeluarkan oleh al-Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni dalam Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits hlm. 119—120, cetakan Darul Asinah)
Nah, sekarang saya tidak akan katakan kamu Salafy Khariji, sebab ini berarti mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Tetapi saya katakan bahwa kamu adalah Khariji (bermanhaj Khawarij)!
- Imam Samudra mengkafirkan pemerintahan Indonesia, dianggapnya hukum di Indonesia tidak jauh beda dengan hukum Ilyasiq[5] yang berlaku di zaman Jenghis-Khan, maka hukum Indonesia adalah hukum kafir New Ilyasiq. (Aku Melawan Teroris hlm. 200—201)
Bantahan
Perkara yang tidak diperdebatkan antara para ulama baik yang terdahulu, kemudian, maupun sekarang, bahwa siapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala berupa hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum jahiliah dan mengingkari berhukum dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, atau menganggap hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidak cocok untuk diterapkan di masa sekarang, atau hukum Allah subhanahu wa ta’ala dengan hukum selainnya sama, maka dia telah keluar dari Islam alias kafir.
Inilah yang menjadi kesepakatan para ulama yang menempuh manhaj Salafus Saleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Seperti halnya mereka juga telah bersepakat tentang tidak kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tidak disertai pengingkaran (terhadap hukum Allah subhanahu wa ta’ala).
Bahkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti al-Imam Abu Bakr al-Ajurri, Ibnu Abdil Barr, al-Qadhi Abu Ya’la, dan ulama yang lainnya seperti al- Jashshash mengatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan seluruh orang yang berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tanpa memerinci apakah dengan pengingkarannya (terhadap hukum Allah subhanahu wa ta’ala) atau tidak, adalah pendapat (pernyataan) Khawarij. (Lihat Fiqhu as- Siyaasah asy-Syar’iyyah hlm. 86—87)
Sekali lagi manhaj Khawarij inilah yang sebenarnya ditempuh oleh Imam Samudra. Dari pernyataannya, dia mengkafirkan setiap negara (pemerintahan) yang tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala secara mutlak tanpa memerinci. Agaknya lebih lengkap kalau saya nukilkan ucapan-ucapan para ulama yang bermanhaj Salafus Saleh Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini. ‘Ali ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
“Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
Kata beliau, “Yakni siapa yang mengingkari (hukum) yang telah Allah subhanahu wa ta’ala turunkan maka ia telah kafir. Dan siapa yang mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia zalim dan fasiq.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya, 10/357, Tafsir al- Qur’anul Azhim, 2/66)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Yakni dengan penuh keyakinan dan menganggap halal (berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala). Adapun yang melakukan hal itu (berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala) namun dia meyakini bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang haram, maka dia tergolong orang-orang fasiq dari kaum muslimin. Urusannya diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jika (Allah subhanahu wa ta’ala) berkehendak akan mengazabnya dan jika berkehendak akan mengampuninya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 6/190)
Masih banyak lagi para ulama lainnya yang mengatakan seperti pernyataan di atas, di antara mereka al-Imam al-Baidhawi dalam Tafsir-nya jilid 1/208, al-Imam ath-Thahawi lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyyah (hlm. 323—324), Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir (3/366), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah, al-Imam asy-Syinqithi dalam Adhwa-ul Bayan (2/104), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, asy-Syaikh al-Albani, dan lain-lain. (Lihat Fiqhu Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 87—92) Terakhir, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat,
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
“Yakni karena mereka mengingkari hukum Allah subhanahu wa ta’ala dengan sengaja dan membangkang darinya.” (Tafsir al-Qur’anul Azhim, 2/67)
Dan inilah makna pernyataan beliau yang mengkafirkan hukum Ilyasiq di zaman Jenghis-Khan sebagaimana yang dikutip oleh Imam Samudra di halaman 200. Yakni karena mereka mengutamakan dan lebih mengedepankan hukumnya daripada hukum Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 2/73)
Demikianlah, upaya penjelasan ini ditempuh sebagai suatu bentuk tanggung jawab kepada umat, ketika kedustaan itu mengatasnamakan Islam, saat kesesatan dan kejahatan itu berlindung di balik nama dakwah Islam yang haq, manhaj Salafus Saleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pengakuan semata tanpa ada dalil, kemudian bertolak belakang dengan kenyataan, tidaklah berarti apa-apa dan tidak bermanfaat sedikit pun. Sekiranya pengakuan saja dapat bermanfaat tentulah pengakuan orang-orang Yahudi dan Nasrani akan bermanfaat dan benar tatkala mereka mengklaim bahwa aljannah (surga) itu khusus untuk mereka.
Seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ قُلۡ هَاتُواْ بُرۡهَٰنَكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ١١١
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (Al-Baqarah: 111)
Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari
[1] Buku itu lebih pas kalau diberi judul Aku adalah Teroris, tentu saja dengan poster sang jagoan yang tengah mengacungkan jari telunjuknya. Sebab tindakan-tindakan dan pemikirannya jauh dari syariat Islam. asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang membunuh dan melukai manusia dengan cara yang tidak syar’i, mereka adalah irhabiyyun (teroris). Mereka adalah para perusak, mereka adalah orang-orang yang membuat kacau keamanan manusia dan menciptakan problem dengan negaranya.” (Diambil dari al-Fatawa asy-Syar’iyyah hlm. 112-113)
[2] Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa kuburan atau penghuni kubur dapat memberi manfaat atau menolak madharat sehingga tempat kembali dan bergantung mereka adalah kuburan. Quburiyyun adalah bagian dari firqah Sufiyah.
[3] Hal ini didukung oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Seorang mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh melawan dirinya dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin ‘Ubaid, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 549)
[4] Lihat kisah ini selengkapnya pada Majalah Asy-Syariah Vol. 1/No.11, Rubrik “Permata Hati” hlm. 66-68.
[5] Yakni kompilasi (rangkuman) hukum dari berbagai macam ideologi/agama dari Yahudi, Nasrani, dan juga Islam. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/73)