Bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Dalam edisi yang lalu telah diceritakan sebagian sikap tegas ‘Umar terhadap orang-orang yang kafir. Begitu dalam rasa bencinya terhadap kekafiran dan segala bentuknya berikut para pengusungnya, sampaisampai beliau siap menebas leher sebagian kerabatnya sendiri yang masih kafir. Dalam edisi ini akan kami lanjutkan dengan beberapa kejadian yang menunjukkan kedudukan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua itu didasari atas keilmuan dan ketakwaannya serta kejujuran iman dan persahabatannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Permulaan Azan
Mulailah kehidupan baru masyarakat muslim dengan hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah. Hal pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah membangun masjid yang tidak hanya sebagai tempat untuk mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, tetapi juga sebagai markas pembinaan dan pendidikan masyarakat saat itu. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, seperti saudara sekandung, saling menyayangi, saling menolong, bahkan saling mewarisi.
Setelah Masjid Nabawi berdiri, setiap waktu shalat tiba, kaum muslimin berkumpul untuk shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Belum ada tanda khusus untuk mengingatkan mereka agar segera mendatangi masjid. Beberapa sahabat berbincang-bincang membahas masalah ini. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka bermusyawarah apa yang harus mereka lakukan untuk mengingatkan kaum muslimin bahwa waktu shalat sudah tiba.
Di antara sahabat, ada yang mengemukakan pendapat agar menancapkan bendera di puncak masjid setiap waktu shalat tiba, agar apabila bendera itu terlihat, sebagian akan memanggil yang lain untuk segera ke masjid. Akan tetapi, pendapat ini tidak mengagumkan beliau n. Yang lain berpendapat agar menyalakan api setiap waktu shalattiba. Yang lain menyarankan agar menggunakan lonceng seperti perbuatan orang-orang Nasrani, dan yang lain mengusulkan agar menggunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Semua saran tersebut tidak disetujui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena menyerupai kebiasaan khusus orang-orang kafir.
Kata ‘Abdullah bin Zaid al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, “Malam itu saya bermimpi melihat seseorang berpakaian hijau membawa genta, saya pun berkata kepadanya, ‘Hai hamba Allah, juallah genta itu kepadaku.’ Orang itu bertanya, ‘Mau kamu gunakan untuk apa?’ Saya berkata, ‘Agar kami bisa memanggil orang banyak untuk shalat.’ Dia pun berkata, ‘Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih baik daripada itu?’ ‘Tentu,’ kata saya, kemudian dia mengajarkan beberapa kalimat azan yang dikenal sekarang ini. Setelah itu dia mundur tidak begitu jauh dan berkata, ‘Kalau hendak iqamat ucapkanlah Allahu Akbar, (dan seterusnya)’.”
“Begitu terjaga dari tidur, aku segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakannya kepada beliau. Beliau pun berkata, ‘Sungguh, itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Ajarkanlah kepada Bilal karena suaranya lebih nyaring daripada kamu’.” Kami pun menuju masjid dan saya mengajarkannya kepada Bilal.
Sementara itu, ‘Umar yang masih di rumahnya tersentak mendengarnazan tersebut. Dengan bergegas sambil menyeret kainnya, dia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Demi yang mengutus Anda membawa yang haq, wahai Rasulullah. Aku bermimpi seperti yang dilihatnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semakin senang dengan keterangan itu dan berkata, “Alhamdulillah.”
Sejak itu , suara Bilal mengumandangkan azan menggema memenuhi angkasa Madinah, lima kali sehari semalam. Bilal tetap sebagai muazin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Adapun kalimat yang tertera dalam azan tersebut masih terus berkumandang hingga saat ini.
Kejujuran, Kekuatan Imannya
Adalah ‘Umar termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dekat dan dipersaksikan oleh beliau mempunyai berbagai keutamaan dan kemuliaan. Di antara bukti kejujuran dan keimanannya ialah ucapannya ketika menyentuh dan mencium Hajar Aswad, “Demi Allah, aku benar-benar mengetahui bahwa kamu hanya sebuah batu yang tidak bisa memberi manfaat dan mudarat. Seandainya aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Perkataan ini menegaskan sikap bara’-nya (berlepas diri dan benci serta menjauh) dari meminta berkah kepada sebuah batu, sekaligus menampakkan ketaatannya kepada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Umar juga berada pada barisan depan bersama sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang banyak melakukan ketaatan. Beliau banyak berpuasa, berdoa, bersedekah, dan shalat malam yang merupakan sebagian sifat orang-orang yang didekatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, “Kapan engkau mengerjakan witir?” “Saya shalat witir di awal malam,” kata Abu Bakr. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada ‘Umar, “Kapan engkau mengerjakan witir?” “Saya tidur kemudian witir di akhir malam,” jawab ‘Umar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang Abu Bakr, “Dia berpegang dengan hazm (kehati-hatian).”
Adapun tentang ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Adapun dia ini, berpegang dengan kekuatan,” karena yakin akan terbangun malam hari menunjukkan kekuatan. Pernah pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi, kata beliau,
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ رَأَيْتُ قَدَحًا أُتِيتُ بِهِ فِيهِ لَبَنٌ فَشَرِبْتُ مِنْهُ حَتَّى إِنِّى لأَرَى الرِّىَّ يَجْرِى فِى أَظْفَارِى ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالُوا : فَمَا أَوَّلْتَ يَا رَسُولَ ا ؟َّهللِ قَالَ: الْعِلْمَ
“Ketika saya sedang tidur, saya melihat sebuah tempat minum diberikan kepada saya, di dalamnya ada susu. Kemudian saya meminumnya sampai saya melihat alirannya mengalir sampai di kuku-kuku saya, lalu saya memberikan sisanya kepada ‘Umar bin al-Khaththab.” Kata para sahabat, “Apa yang Anda takwilkan, ya Rasulullah?” “Ilmu,” kata beliau.
Al-Hafizh rahimahullah menyebutkan bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang mengatur manusia berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Diistimewakannya ‘Umar dengan keadaan ini karena lamanya masa pemerintahannya dibandingkan dengan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu serta kesepakatan kaum muslimin untuk menaatinya.
Bahkan, dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Allah Subhanahu wata’ala meletakkan al-haq itu di lisan ‘Umar.” Oleh sebab itu, adalah perkara yang sangat jauh kalau yang benar itu ada pada mereka yang menyelisihi perkataan ‘Umar dalam berfatwa, memutuskan hukum, padahal tidak ada satu sahabat pun yang menggugatnya. Pernah pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan mimpinya,
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فِي الْجَنَّةِ فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ فَقَالُوا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ أَعَلَيْكَ أَغَارُ يَا رَسُولَ اَّهللِ
“Ketika saya bermimpi, saya melihat seakan-akan di dalam surga. Tiba-tiba ada seorang wanita sedang berwudhu disamping sebuah istana. Saya bertanya, ‘Milik siapa istana ini?’ Kata mereka, ‘Milik ‘Umar bin al-Khaththab.’ Saya teringat kecemburuannya, maka saya berbalik ke belakang.”
Kata rawi, “‘Umar pun menangis sambil berkata, ‘Apakah terhadap engkau saya cemburu, wahai Rasulullah?’.” Inilah berita gembira buat ‘Umar, berupa istana miliknya yang sudah ada di surga, dan mimpi para nabi adalah wahyu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,“Seandainya ada nabi sepeninggalku, maka itu adalah ‘Umar.”
Antara ‘Umar dan Wahyu
Semangatnya beramal dengan didasari keikhlasan dan kejujuran dalam mencintai Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta mencintai semua yang dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala, membenci apa saja yang dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala menempatkannya sebagai sahabat yang dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Cintanya yang jujur kepada Islam dan kaum muslimin mendorongnya sering memberikan masukan penting kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Bahkan banyak persoalan yang beliau sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam disetujui pula oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan menurunkan wahyu menguatkannya. Inilah beberapa hal yang mengusik pikiran ‘Umar kemudian menyampaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Allah Subhanahu wata’ala pun menurunkan wahyu menyetujuinya.
a. Tentang tawanan Perang Badrdan rampasan perangnya. Peristiwa ini telah diceritakan dalam edisi lalu. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih memilih saran Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang juga terdorong kasih sayang beliau yang besar kepada sesama, Allah Subhanahu wata’ala menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ () لَّوْلَا كِتَابٌ مِّنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ () فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Anfal: 67—69)
Kisah sebab turunnya ayat ini dinyatakan sahih oleh guru kami asy- Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul.
b. Menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Suatu ketika, ‘Umar pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah seandainya Anda menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat,” maka turunlah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (al-Baqarah: 125)
c. Turunnya ayat hijab dan kecemburuan beliau terhadap istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Umar pernah pula menyarankan, “Wahai Rasulullah, seandainya Anda memerintahkan para istri Anda berhijab, karena yang berbicara dengan mereka itu, ada yang baik, ada pula yang jahat.”
Kemudian turunlah ayat hijab. Demikian pula ketika para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menampakkan kecemburuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau merasa susah, ‘Umar berkata kepada mereka, “Boleh jadi, kalau beliau menceraikan kalian, pasti Allah Subhanahu wata’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada kalian,”
maka turunlah ayat 5 surat at-Tahrim.5 Itulah beberapa kejadian di mana wahyu turun menguatkan pendapat ‘Umar. Tentunya ini—setelah taufik dari Allah Subhanahu wata’ala—didorong oleh keimanan dan keikhlasan serta kejujurannya dalam mencintai Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Buah Keikhlasan
Dalam sebagian riwayat, dari ibunda orang-orang yang beriman, ash-Shiddiqah (wanita yang banyak membenarkan) putri ash-Shiddiq, Habibatu (Kekasih) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita, “Pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk-duduk (bersama kami), tiba tiba kami mendengar suara riuh dan suara anak-anak, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri. Ternyata orang-orang Habasyah sedang bersilat ditonton oleh anak-anak di sekeliling mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Hai ‘Aisyah, kemarilah dan lihatlah!’ Aku pun mendekat dan meletakkan dagu di pundak Rasulullah n lalu mulai menonton dari dekat kepala beliau.
Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Apakah engkau sudah puas? Apakah engkau sudah puas?’ Aku pun berkata, ‘Belum, karena ingin mengetahui kedudukanku di sisi beliau.’ Tiba-tiba ‘Umar muncul. Orangorang yang ada di situ bubar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي نَألَْظُرُ إِلَى شَيَاطِينِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ قَدْ فَرُّوا مِنْ عُمَرَ. قَالَتْ: فَرَجَعْتُ
‘Sungguh, aku benar-benar melihat setan dari kalangan jin dan manusia lari dari ‘Umar.’
Aku pun pulang.”
Di dalam Shahih al-Bukhari, dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Umar,
“Demi yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah setan menjumpaimu ketika menempuh satu jalan, kecuali pasti mengambil jalan lain yang tidak engkau lalui.”
Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebab, apabila hati itu bersih dari semua yang disenangi oleh setan, tentu akan terisi dengan keagungan sifat-sifat ilahiyah, sehingga tidak mungkin unsurunsur syaitani mampu menghadapi apalagi mengalahkannya, yang akhirnya siapa pun yang melihatnya akan merasa takut dan segan. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, pernah mengatakan, “Tongkat kecil di tangan ‘Umar lebih menakutkan manusia daripada pedang di tangan orang selain beliau. Jika mereka ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, mereka menemui putrinya, Hafshah, karena segan kepada beliau.”
Hal ini menegaskan keteguhan ‘Umar di dalam beragama, dan selalu dalam keadaan konsisten, hingga di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Umar diumpamakan seperti pedang tajam, yang jika diayunkan dia akan membelah apa yang dikenainya, dan jika tidak, dia akan diam. Namun disayangkan, setan dari kalangan manusia, yaitu orang-orang yang beragama Syiah, tidak henti-henti menghujat dan mencaci bahkan melaknat beliau. Itu semua karena watak mereka yang pengecut, selama hidup beliau, mereka tidak mampu berhadap-hadapan, padahal mereka tidak akan memperoleh apa-apa selain kebinasaan. Wallahu a’lam. (insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits