Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya, Syarh Tsalatsatul Ushul, menyebutkan bahwa beriman kepada nabi dan rasul mengandung empat unsur pokok.
1. Mengimani bahwa Allah Subhanahu wata’ala benar-benar telah mengutus para nabi dan rasul kepada setiap umat.
Tidak boleh seorang mukallaf mengkufuri walaupun seorang rasul saja. Sungguh, orang yang mengingkari walaupun hanya satu orang rasul, artinya dia telah mengingkari seluruh nabi dan rasul. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam,
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (asy-Syu’ara: 105)
Perhatikan ayat di atas, walaupun kaum Nuh hanya mendustakan Nabi Nuh ‘Alaihissalam, namun Allah Subhanahu wata’ala menghukumi mereka sebagai kaum yang mendustakan seluruh rasul. Ayat-ayat yang semisal ini banyak dalam al-Qur’an.
2. Mengimani nama-nama nabi dan rasul yang disebutkan dalam nash.
Dalam al-Qur’an terdapat 25 nama nabi dan rasul yang disepakati, mereka adalah: Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariya, Yahya, ‘Isa, dan Muhammad shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim. Adapun nabi dan rasul yang tidak diketahui nama-nama mereka, kewajiban kita adalah mengimaninya secara global.
3. Membenarkan semua berita baik dari al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih tentang para nabi dan rasul.
4. Mengamalkan syariat nabi yang nabi tersebut diutus kepadanya.
Manusia yang hidup di zaman Nabi Nuh ‘Alaihissalam harus mengikuti semua syariat Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Yang hidup di zaman Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, harus mengikuti semua syariat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, demikian seterusnya. Penutup para nabi adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Jadi, ketika telah datang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, wajib bagi seluruh manusia hingga hari kiamat, termasuk ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), untuk tunduk dan berserah diri pada Islam. Allah berfirman Subhanahu wata’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Manusia Membutuhkan Nabi dan Rasul
Rasul-rasul Allah Subhanahu wata’ala memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Mereka mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala, yaitu syariat yang akan mengantarkan manusia kepada jalan- Nya Subhanahu wata’ala. Merekalah perantara antara Allah Subhanahu wata’ala dan hamba-Nya dalam hal penyampaian risalah. Perlu ditekankan bahwa perantara yang dimaksud adalah perantara dalam menyampaikan risalah, bukan perantara ala sufi-quburi, yang meyakini bahwa mereka adalah perantara dalam menyampaikan hajat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Quburiyun (pengagung kuburan), baik dari kalangan sufi atau Syiah Rafidhah, berkeyakinan bahwa wali-wali Allah Subhanahu wata’ala, termasuk nabi dan rasul, mendengar dan mengetahui keadaan manusia yang masih hidup, meski mereka berada di dalam kubur.
Quburiyun meyakini bahwa mereka mampu menjadi perantara di sisi Allah Subhanahu wata’ala dalam hal permintaan. Jadi, para penyembah kubur pun mengerumuni kuburan guna menyampaikan hajat kepada nabi dan rasul sebagai perantara doa mereka dengan Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, tidak diragukan bahwasanya keyakinan ini adalah keyakinan kufur. Keyakinan ini sama persis dengan keyakinan musyrikin Arab yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat az-Zumar.
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah Subhanahu wata’ala-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar: 3)
Diutusnya Nabi dan Rasul, Nikmat Besar yang Wajib Disyukuri
Sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia dalam masa jahiliah. Kesyirikan menguasai muka bumi; kebejatan akhlak dan moral menjadi simbol-simbol zaman itu; pembunuhan, kezaliman, dan segala macam kerusakan bukan hal yang asing; hukum rimba berlaku; serta tidak ada kasih sayang dan penghormatan pada hak-hak kemanusiaan.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ () يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (an- Nahl: 58—59)
Kemudian Allah Subhanahu wata’ala mengutus nabi dan rasul-Nya, Muhammad bin Abdillah, menyibak kegelapan-kegelapan itu. Beliau mengantarkan manusia kepada cahaya iman. Sungguh, kebutuhan manusia kepada rasul sangatlah besar. Melalui rasul-rasul Allah Subhanahu wata’ala lah, jalan kebenaran terbentang lebar. Ya, nikmat diutusnya nabi dan rasul kepada umat manusia adalah nikmat besar yang wajib disyukuri. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (Al- Hadits). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Menjadi teranglah betapa kebutuhan manusia pada para nabi dan rasul-Nya sangatlah primer. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Risalah kenabian adalah hal yang pasti dibutuhkan oleh hamba. Kebutuhan mereka kepada risalah ini melebihi hajat mereka kepada segala sesuatu yang lain. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan bagi alam dunia ini. Bagaimana mungkin alam semesta menjadi baik jika tidak ada ruhnya, tidak ada kehidupannya, dan tidak ada cahayanya?!”
Sungguh, telah datang ribuan nabi dan rasul kepada umat manusia, hingga diutusnya nabi dan rasul terakhir sebagai bukti kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya.
Berapa Jumlah Nabi dan Rasul?
Di antara nabi dan rasul ada yang Allah Subhanahu wata’ala sebutkan kisahnya dalam al- Qur’an. Namun, banyak para nabi dan rasul yang tidak disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kisahkan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗ
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu. Di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu….” (al-Mu’min: 78)
Jumlah nabi dan rasul sangat banyak, karena pada Allah Subhanahu wata’ala telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah l (saja) dan jauhilah thaghut itu!” (an-Nahl: 36)
Bahkan, dalam satu negeri bisa jadi Allah Subhanahu wata’ala mengutus lebih dari seorang rasul, sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala mengisahkan dalam surat Yasin tentang penduduk sebuah negeri yang diutus di tengahtengah mereka tiga orang rasul-Nya.
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ () إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu’.” (Yasin: 13—14)
Tentang jumlah nabi dan rasul, Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ كَمْ عِدَّةُ اْلاَنْبِيَاءِ؟ قَالَ: مِائَةُ اَلْفٍ وَاَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْنَ اَلْفًا اَلرُّسُلُ مِنْ ذَالِكَ ثَلاَثَةُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيْرًا
“Wahai Rasulullah, berapa jumlah para nabi seluruhnya?” Rasul bersabda, “Jumlah seluruhnya 124.000 nabi. Yang termasuk rasul di antara mereka adalah 315 orang, suatu jumlah yang banyak.” (HR. al-Imam Ahmad dalam al-Musnad, dinyatakan sahih oleh al- Albani dalam al-Misykah [3/1599 no. 5732] dan ash-Shahihah no. 2668)
Riwayat yang menyebutkan jumlah nabi dan rasul juga kita dapatkan dari hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan dalam hadits tersebut, seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apakah Adam seorang Nabi?” Beliau menjawab, “Ya, beliau seorang nabi yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wata’ala.” Dia bertanya, “Berapa generasikah antara Adam dan Nuh?” Beliau menjawab, “Sepuluh generasi.” “Wahai Rasulullah, berapakah jumlah rasul?” Beliau bersabda, “Tiga ratus lima belas.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, Ibnu Mandah dalam Kitabu at-Tauhid, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, ath-Thabarani dalam al-Ausath, dan al-Hakim dalam al- Mustadrak. Al-Hakim berkata, “Hadits ini sahih menurut syarat Muslim.” Ucapan beliau ini disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullah)