(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Dalam dua edisi yang lalu telah dibawakan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh seorang suami dalam bergaul dengan istrinya. Kali ini, kami sedikit menambahkan apa yang tertinggal dari pembahasan yang lalu.
Merendahkan Istri dan Pekerjaannya di dalam Rumah
Ada tipe suami yang cenderung merendahkan istri. Ia memandang istrinya dengan sebelah mata sampai-sampai ia menganggap rendah pekerjaan rumah tangga yang biasa dijalani oleh istri. Ia pun enggan membantu istrinya. Sebagian orang jahil bahkan berpandangan bahwa membantu pekerjaan rumah akan menghilangkan sifat kejantanan. Padahal kalau ia mau menengok kehidupan berumah tangga yang dijalani oleh pemimpin para suami, Rasulullah n, sungguh ia mendapatkan kenyataan yang bertolak belakang dengan apa yang ada di pikirannya. Rasulullah n adalah gambaran seorang suami terbaik terhadap keluarganya, sebagaimana kabar beliau n sendiri:
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. at-Tirmidzi, disahihkan dalam ash-Shahihah no. 285)
Al-Aswad t, seorang tabi’in, berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ n يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ؟
Aku pernah bertanya kepada Aisyah x, “Apa yang biasa dilakukan Nabi n di dalam rumahnya?”
Istri Rasulullah n, Aisyah x, menjawab:
كَانَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ– فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu pekerjaan keluarganya. Jika datang waktu shalat, beliau keluar untuk melaksanakannya.” (HR. al-Bukhari no. 676)
Dalam kitab asy-Syama’il karya al-Imam at-Tirmidzi t (no. 2491) disebutkan bahwa Aisyah x berkata:
ماَ كَانَ إِلاَّ بَشَرٌ مِنَ الْبَشَرِ يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Tidaklah beliau melainkan seorang manusia sebagaimana yang lain. Beliau biasa membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani keperluannya sendiri.” (Disahihkan al-Imam al-Albani t dalam tahqiq-nya terhadap Mukhtashar asy-Syama’il al-Muhammadiyyah no. 293 dan ash-Shahihah no. 671)
Dalam riwayat Ahmad (6/256) dan Ibnu Hibban yang dibawakan dalam Fathul Bari (2/212) disebutkan:
يَخِيطُ ثَوْبَهُ
“Beliau biasa menjahit pakaiannya.”
Ibnu Hibban menambahkan:
وَيَرْقَعُ دَلْوَهُ
“Dan menambal embernya.”
Kira-kira pandangan dan ucapan miring apa lagi yang bisa dilontarkan seorang suami setelah melihat perbuatan Rasululah n, teladan umat ini?
Menyebarkan Rahasia Istri dan Hubungan Intim Dengannya
Hubungan intim yang dilakukan bersama istri, bagi sebagian orang yang jahil, bukan lagi sesuatu yang harus dijaga, disimpan rapat, dan dirahasiakan. Hal itu justru dibicarakan secara terbuka dengan kawan-kawan mereka di kedai, warung kopi, di jalanan, dan kadang diungkap di media massa, baik sebagai bahan lelucon maupun untuk berbangga. Padahal Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ أَشَرُّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهَا ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah suami yang bercampur dengan istrinya dan istrinya bercampur dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 3527)
Hadits ini menunjukkan haramnya seorang suami menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dan istrinya, yaitu perkara-perkara istimta’ dan merinci hal tersebut. Haram pula membeberkan kepada orang lain apa yang diucapkan dan diperbuat oleh istrinya saat berhubungan dan semisalnya. Jika semata-mata mengatakan ia telah bercampur dengan istrinya alias jima’, sementara tidak ada faedah atau kebutuhan untuk menyebutkan hal tersebut, hukumnya makruh karena menghilangkan muru’ah atau kewibawaan. Bukankah Nabi n telah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالَيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.”
Sekiranya ada kebutuhan untuk menyebutnya atau ada faedah yang ingin diperoleh maka tidaklah makruh, sebagaimana Nabi n mengabarkan “urusan” beliau dan istrinya.
إِنِّي لَأَفْعَلُهُ أَنَا وَهَذِهِ
“Aku dan dia ini (beliau maksudkan salah seorang istri beliau) pernah melakukannya.”
Nabi n juga pernah bertanya kepada Abu Thalhah z:
أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟
“Apakah kalian (yakni Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim) ‘pengantinan’ tadi malam?” (al-Minhaj, 10/250)
Tergesa-Gesa dan Bermudah-Mudah Menjatuhkan Talak
Ikatan pernikahan adalah ikatan yang kuat. Allah l sendiri yang menamakannya dengan mitsaqan ghalizha, sebagaimana firman-Nya:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.” (an-Nisa: 21)
Oleh karena itu, tidaklah pantas seorang suami tergesa-gesa dan bermudah-mudah ingin mengurai ikatan ini dengan kalimat talak atau cerai. Sungguh perceraian dalam Islam tidaklah disyariatkan untuk menjadi pedang yang tajam yang diletakkan di leher istri. Perceraian juga tidak ditetapkan untuk menjadi sumpah guna meyakinkan berita atau ucapan layaknya perbuatan sebagian orang-orang bodoh.
Islam tidak melarang perceraian sama sekali, namun ia bukan langkah awal dalam menyelesaikan perselisihan. Islam telah mengajarkan tahapan-tahapan penyelesaian terhadap persoalan dan pertikaian yang muncul di antara suami-istri. Jika sumber permasalahan berasal dari istri, penyelesaiannya sebagaimana yang Allah l firmankan dalam Tanzil-Nya:
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz/pembangkangannya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka (boikot) di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian (taubat dan berhenti dari nusyuznya), janganlah sekali-kali kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa: 34)
Jika sumber masalah dari suami, misalnya ia tak menyukai istrinya, daripada bercerai, Islam menawarkan perdamaian dengan cara istri merelakan sebagian haknya tidak dipenuhi. Misalnya, hak beroleh nafkah, pakaian, atau mabit/bermalam, asalkan tetap bersatu dalam ikatan pernikahan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/314). Hal ini seperti tersebut dalam firman Allah l:
“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari suaminya, tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (an-Nisa: 128)
Oleh karena itu, tatkala Saudah bintu Zam’ah x berusia senja dan Rasulullah n berkeinginan untuk menceraikannya, Saudah menempuh ash-shulh ini. Ia merelakan giliran hari dan malamnya tidak dipenuhi, serta dihadiahkannya kepada Aisyah x (sehingga Aisyah x beroleh giliran dua hari dua malam) asalkan Rasulullah n berkenan tetap mempertahankannya sebagai istri beliau n. Rasulullah n pun menerima shulh tersebut.
Jika persoalannya berasal dari kedua belah pihak, keluarga masing-masing didatangkan untuk membantu mencarikan penyelesaian problem keduanya sebagaimana firman-Nya:
“Dan jika kalian mengkhawatirkan persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami istri tersebut.” (an-Nisa: 35)
Kalaupun mau tidak mau kalimat talak harus terucap dan jalan perpisahan terpaksa ditempuh, seorang suami harus memerhatikan agar ia tidak menceraikan istrinya dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci tetapi sempat digaulinya dalam masa suci tersebut, sampai tampak jelas atau diperoleh kepastian si istri ini hamil atau tidak dari hasil hubungan tersebut. Semua ini berkaitan dengan ’iddah yang harus dijalani oleh istri pasca-perceraian. Kalau ia ditalak dalam keadaan haid, masa ’iddah yang harus dilaluinya nanti akan panjang karena haid yang sedang dijalani tidak terhitung. Ia harus menunggu tiga haid yang berikutnya. Begitu pula jika si istri ditalak dalam keadaan suci tapi telah digauli, tidak bisa dipastikan bagaimana iddahnya, apakah tiga quru’1 jika ia tidak hamil ataukah dengan melahirkan kandungannya jika ternyata ia hamil2.
Seharusnya, suami menjatuhkan talak di saat istri bisa menghadapi ’iddahnya dengan jelas, yaitu saat suci sebelum digauli, atau saat si istri tengah mengandung. Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istri kalian, hendaklah kalian ceraikan mereka pada saat mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar…” (ath-Thalaq: 1)
Tidak diperkenankan pula bagi suami langsung menjatuhkan talak tiga pada istrinya dalam satu kesempatan. Hendaklah talak itu dijatuhkan satu per satu.
Rasa Cemburu yang Lemah
Di masa ini, kecemburuan seorang suami terhadap istrinya telah melemah. Jika ditanya apa buktinya? Kita katakan banyak. Di antaranya, seorang suami membolehkan lelaki lain yang bukan mahram istrinya bersalaman dengan si istri, bertatap muka dengannya, tersenyum, dan berbincang-bincang bersama. Sama saja apakah lelaki yang bukan mahram si istri itu adalah kerabat suami, saudara lelakinya, misannya, atau orang jauh/bukan kerabat suami. Dibiarkannya si istri keluar rumah dengan berdandan ala jahiliah, baik dengan dalih berbelanja, kerja, menghadiri undangan, maupun alasan lain. Termasuk pula bukti kelemahan cemburu suami adalah membiarkan istrinya pergi berduaan dengan sopir pribadi dalam mobil.
Sungguh, betapa banyak problem yang timbul karena sikap meremehkan ini! Betapa banyak keluarga yang hancur akibat kemaksiatan ini. Wallahul musta’an.
Di manakah mata yang mau melihat, telinga yang mau mendengar, dan hati yang mau memahami?
Semoga Allah l memberi hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.
Catatan Kaki:
1 Tentang maksud quru’, ulama salaf, khalaf, dan para imam, terbagi dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan quru’ adalah suci, ada pula yang mengatakan haid. Wallahu a’lam. (Tafsir Ibni Katsir, 2/353—354)
2 Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (ath-Thalaq: 4)
Adapun wanita yang tidak hamil disebutkan dalam:
“Istri-istri yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’.” (al-Baqarah: 228)