Berkatalah yang Baik atau Diam

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

Melihat anak bertingkah dan berperilaku dengan segala keterbatasannya, membuat kita makin menyadari tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua. Tindak-tanduk yang kurang beradab dan ucapan yang kurang santun kadang masih saja muncul dari anak-anak. Perkataan lantang kepada orang tua, ucapan yang kurang sopan kepada tetangga, teman, atau siapa pun, masih sering terdengar. Bahkan, ketika terjadi perselisihan dengan yang lain, makian dan ucapan tak pantas kadang masih terlontar tanpa pikir panjang. Kalau bukan kita sebagai orang tua dan pendidik mereka, siapa lagi yang bisa diharap untuk membenahi pribadi mereka? Dengan mengharap pertolongan Allah l, kita berusaha menanamkan kebiasaan berkata yang baik pada diri anak-anak.
Bisa jadi, di awal langkah, kita perlu memberitahukan kepada mereka bahwa berkata yang baik adalah perintah Rasulullah n. Jadi, itu adalah bagian agama kita. Seorang muslim harus berkata dengan ucapan-ucapan yang baik.
Abu Hurairah z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah l dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)
Macam-macam ucapan yang baik di antaranya zikir kepada Allah l, tasbih, tahmid, membaca al-Qur’an, mengajarkan ilmu agama, menyuruh orang lain berbuat kebaikan, dan melarang orang lain dari kejelekan. Ini semua adalah perkataan yang memang berupa ucapan yang terpuji.
Ada pula ucapan yang baik karena sebab lain. Misalnya, perkataan yang tidak termasuk jenis ucapan yang terpuji (sebagaimana zikrullah –pen.), namun bertujuan menyusupkan kegembiraan pada diri teman duduknya. Ucapan seperti ini baik, karena menumbuhkan keakraban dan menghilangkan kekakuan. Bisa terbayang, jika seseorang duduk bersama orang lain, lalu dia tidak bisa berbincang-bincang dengan ucapan terpuji (seperti mengajarkan ilmu atau amar ma’ruf nahi mungkar –pen.), dan akhirnya hanya diam sejak bertemu hingga berpisah. Keadaan seperti ini tentu membuat kaku suasana dan tidak ada keakraban. Kalau dia berbincang-bincang dengan perkataan yang bukan jenis ucapan yang terpuji, namun bertujuan mencairkan suasana atau memberi suasana gembira kepada teman duduknya, ini adalah ucapan yang baik karena sebab yang lainnya. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 200—201).
Oleh karena itu, kita berikan dorongan kepada mereka agar biasa mengucapkan zikir-zikir yang disyariatkan dalam keseharian. Selain itu, kita mengarahkan mereka agar selalu berucap dengan perkataan yang baik dan santun kepada siapa pun; ayah, ibu, kakak, adik, tetangga, teman, dan selainnya.
Setiap kali mereka mengatakan ucapan yang jelek dan kurang beradab, kita harus waspada dan segera memberikan peringatan. Lebih-lebih apabila ucapan itu dilarang oleh syariat. Kita hendaknya memberi pengertian bahwa ucapan yang mereka katakan adalah ucapan yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya. Ini agar mereka mengambil pelajaran dari larangan kita, dan diharapkan mereka tidak akan mengulanginya lagi. Rasulullah n pernah memberi pelajaran kepada ‘Aisyah x atas ucapan jelek yang diucapkannya. Dikisahkan oleh ‘Aisyah x,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ صَفِيَّةَ امْرَأَةٌ-وَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا كَأَنَّهَا تَعْنِي قَصِيْرَةً-فَقَالَ: لَقَدْ مَزَجْتِ بِكَلِمَةٍ لَوْ مَزَجْتِ بِهَا مَاءَ الْبَحْرِ لَمُزِجَ.
“Aku pernah mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Shafiyyah itu seorang wanita (yang seperti ini).’ ‘Aisyah berisyarat dengan tangannya seolah-olah dia menyatakan ‘pendek’. Rasulullah n mengatakan, ‘Sesungguhnya engkau telah mengatakan sebuah kalimat yang jika engkau campurkan ke air laut, niscaya akan tercemari!’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2502, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Kadangkala pula, emosi yang belum matang membuat anak sulit mengendalikan kemarahannya. Akibatnya, ucapan yang terlontar pun kadang tak terkendali. Keluar celaan atau makian kepada orang atau sesuatu yang menjadi sumber kemarahannya. Melihat yang seperti ini, tentu tak layak kita tinggal diam. Anak-anak butuh bimbingan dan pengarahan.
Mereka perlu mengerti bahwa tidak pantas seorang yang beriman menjadi orang yang suka mencela dan berkata jelek. ‘Abdullah bin Mas’ud z mengabarkan dari Rasulullah n,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ
“Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata keji, dan suka berkata kotor.” (HR. at-Tirmidzi no.1977, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Apalagi mencela teman yang muslim. Entah mencela kekurangan yang memang ada pada diri temannya atau yang tidak ada padanya. Rasulullah n melarang keras hal ini dan menyebutnya sebagai perbuatan fasik. Dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud z bahwa Rasulullah n pernah bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah perbuatan kufur.” (HR. al-Bukhari no. 48)
Yang sering terjadi pula di antara anak-anak adalah pertengkaran akibat perselisihan atau celaan yang dilontarkan oleh salah seorang dari mereka. Pihak yang dicela membalas dengan celaan pula. Terus demikian hingga berujung pertengkaran.
Kita tengahi mereka dan kita ingatkan bahwa Rasulullah n pernah mengancam orang yang saling mencaci. Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda,
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُوْمُ
“Dua orang yang saling mencela dosanya ditanggung oleh yang memulai, selama orang yang dizalimi tidak melampaui batas.” (HR. Muslim no. 2587)
Artinya, dosa saling mencela yang terjadi di antara dua orang itu seluruhnya ditanggung oleh orang yang memulai, kecuali jika orang yang kedua melampaui batas kadar pembelaan diri sehingga balas mencela orang yang mulai mencela tersebut dengan celaan yang lebih banyak. (al-Minhaj, 16/140)
Memang tak mudah bagi anak untuk berdiam diri tanpa membalas celaan temannya. Namun, itulah sebenarnya yang lebih baik baginya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah l dalam Kitab-Nya yang mulia,
“Dan orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (asy-Syura: 43)
Rasulullah n pernah pula memperingatkan dalam sabda beliau yang disampaikan oleh Jabir bin Salim z,
وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيْكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيْهِ، فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Apabila seseorang mencaci dan mencelamu dengan aib yang ada padamu, jangan engkau balas mencelanya dengan aib yang ada padanya, karena dosanya akan dia tanggung.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam Shahihul Musnad 1/144)
Sayangnya, terkadang kita lalai mengingatkan anak-anak kita. Tak terasa, berkata kotor, mencela, dan memaki, sudah menjadi kebiasaan. Sedikit mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, mereka mudah mencaci dan mencela. Seolah-olah itu menjadi perkataan yang biasa. Kita memohon keselamatan bagi diri kita dan anak-anak kita dari yang seperti ini! Kita harus menyadari, kelalaian seperti ini dapat berujung kehinaan yang tak terkira bagi anak-anak kita.
Abu Hurairah z menyampaikan dari Rasulullah n,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا فِى النَّارِ
“Sesungguhnya seseorang mengatakan satu ucapan yang dia tidak menganggapnya sebagai ucapan jelek, namun ternyata dengan ucapannya itu dia terjerumus selama tujuh puluh tahun di dalam neraka.” (HR. at-Tirmidzi no. 2314, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Penyebutan tujuh puluh tahun di sini bermaksud menunjukkan lamanya masa tinggalnya di dalam neraka, bukan menunjukkan batas waktu (hanya selama tujuh puluh tahun, -pen.). (Tuhfatul Ahwadzi, hlm. 1849)
Apabila kita sudah mengetahui ancaman Rasulullah n ini, mestinya kita tak lagi membiarkan buah hati yang kita cintai menuai kebinasaan, wal ’iyadzu billah!
Dengan terus memohon kepada Allah l, kita arahkan anak-anak agar terbiasa berkata-kata yang baik dan jauh dari segala macam perkataan jelek. Dengan begitu, mereka akan dapat menciptakan hubungan baik dengan siapa pun yang bergaul dengan mereka. Abu Hurairah z menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n وَقَفَ عَلَى نَاسٍ جُلُوسٍ فَقَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُم مِنْ شَرِّكُم؟ قَالَ: فَسَكَتُوا، فَقَالَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ رَجُلٌ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنَا بِخَيْرِنَا مِنْ شَرِّنَا. قَالَ: خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لاَ يُرْجَى خَيْرُهُ وَلاَ يُؤْمَنُ شَرُّهُ
Rasulullah n pernah berdiri di hadapan sekelompok sahabat yang sedang duduk. Lalu beliau bertanya, “Maukah kuberitahukan tentang orang yang terbaik dan orang yang terjelek di antara kalian?” Para sahabat terdiam. Beliau mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Berkatalah salah seorang dari mereka, “Tentu, wahai Rasulullah. Beri tahukanlah kepada kami orang yang terbaik dan orang yang terjelek di antara kami.” Beliau pun berkata, “Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang bisa diharap kebaikannya dan orang lain merasa aman dari kejelekannya. Adapun orang yang terjelek di antara kalian adalah orang yang tak bisa diharap kebaikannya dan orang lain tak bisa merasa aman dari kejelekannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2263, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Lebih dari itu, ucapan yang baik akan membuahkan keutamaan di akhirat nanti. Ini sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasulullah n dalam hadits Sahl bin Sa’ad z,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang bisa menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan -red.) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan -red.), aku akan menjamin surga baginya.” (HR. al-Bukhari no. 6474)
Bahkan, ucapan yang lembut kepada ibu akan membawa kebaikan yang amat besar bagi mereka. Dikisahkan oleh Thaisalah bin Mayyas,
قَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفْرَقُ مِنَ النَّارِ وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِي، وَاللهِ! قَال: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِي أُمِّي. قَالَ: فَوَاللهِ، لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الكَبَائِرَ.
Ibnu ‘Umar z pernah bertanya kepadaku, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” “Ya, demi Allah!” jawabku. “Kedua orang tuamu masih hidup?” ia bertanya lagi. “Aku masih punya ibu,” jawabku. “Demi Allah! Sungguh, kalau engkau lemah lembut berbicara dengannya dan selalu memberinya makan, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau jauhi dosa besar.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 8, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 6)
Demikianlah kenyataannya. Ucapan baik yang dibiasakan akan menjadi sesuatu yang melekat dan akan memuliakan pemiliknya di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, ucapan jelek yang biasa terucapkan akan melekat pula dan menghinakan pemiliknya di dunia dan di akhirat.
Dinyatakan oleh Rasulullah n dalam sabda beliau yang dinukil oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah z,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh, seseorang mengucapkan sebuah perkataan yang termasuk ucapan yang diridhai oleh Allah l, yang dia tidak menaruh perhatian pada ucapan itu, ternyata dengan ucapan itu Allah l mengangkatnya beberapa derajat. Sungguh, ada pula seorang hamba mengucapkan sebuah perkataan yang termasuk perkataan yang dimurkai oleh Allah l, yang dia tidak menaruh perhatian pada ucapan itu, ternyata dengan ucapan itu dia terjatuh ke dalam neraka Jahannam.” (HR. al-Bukhari)
Ketika Mu’adz bin Jabal z bertanya tentang amalan-amalan yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, Rasulullah n kemudian bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ: فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِم؟
“Maukah engkau kuberi tahu apa yang mengokohkan itu semua?” “Mau, wahai Rasulullah!” jawabku. Beliau pun memegang lidah beliau sambil berkata, “Tahanlah olehmu ini!” Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, akankah kita dihukum karena apa yang kita ucapkan?” Beliau bersabda, “Ibumu kehilangan engkau, wahai Mu’adz! Bukankah seseorang ditelungkupkan dalam neraka di atas wajah mereka—atau hidung mereka—karena hasil ucapannya?” (HR. at-Tirmidzi no. 2616, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Lihat kembali anak-anak kita! Perhatikan dengan baik ucapan yang keluar dari lisan mereka! Segera benahi apa yang salah dari perbincangan mereka. Jangan biarkan mereka tenggelam dalam kesalahan dan kekeliruan. Kelak kita akan mempertanggungjawabkan kelalaian itu di hadapan Rabb semesta alam.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.