Buah keimanan (7)

Iman adalah sandaran kaum mukminin di setiap keadaan mereka, baik suka maupun duka, takut maupun aman, ketika mengerjakan ketaatan maupun jatuh ke dalam kemaksiatan, dan setiap urusan yang dilalui oleh setiap manusia. Saat mendapat kebahagiaan dan kesenangan, mereka bersandar kepada keimanan sehingga mereka memuji Allah Subhanahu wata’ala, menyanjung-Nya, dan menggunakan kenikmatan tersebut dalam hal yang dicintai oleh Dzat yang memberikannya.

Saat ditimpa kesusahan dan kesedihan, mereka bersandar kepada keimanan dari berbagai sisi. Mereka menghibur diri dengan iman dan kemanisannya. Mereka menghibur diri dengan mengharap pahala yang akan diperoleh dari musibah itu. Mereka menghadapi kesedihan dan kegoncangan dengan hati yang lapang. Kehidupan bahagia pun menjadi penangkal segala kesedihan dan duka. Ketika datang rasa takut, mereka bersandar pada keimanan sehingga merasa tenang dengannya. Saat datang rasa takut, justru bertambah keimanan, kekokohan, kekuatan, dan keberanian mereka. Sirnalah ketakutan yang menimpa. Hal ini sebagaimana firman Allah  Subhanahu wata’ala tentang para manusia pilihan, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhuma,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ {}فَانقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka.’ Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.’ Mereka pun kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah. Mereka tidak mendapat bencana apaapa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali ‘Imran: 173—174)

Telah sirna rasa takut dari hati orang-orang pilihan itu. Kekuatan dan kemanisan iman, kuatnya tawakal, serta keyakinan terhadap janji-Nya telah menggantikan rasa takut yang hinggap di hati mereka. Ketika mendapat rasa aman, mereka kembali kepada keimanan sehingga rasa aman tersebut tidak membuat mereka angkuh dan sombong. Mereka justru bertawadhu’, bersikap rendah hati. Mereka menyadari bahwa rasa aman itu adalah pemberian Allah Subhanahu wata’ala, karunia dan kemudahan dari-Nya. Mereka bersyukur kepada Dzat yang telah memberi kenikmatan kepada mereka berupa keamanan dan sebab-sebabnya. Mereka sadar, apabila mereka mampu mengalahkan musuh-musuh, itu hanyalah daya, upaya, dan karunia dari Allah  Subhanahu wata’ala semata, bukan daya dan upaya mereka. Ketika mendapatkan taufik untuk berbuat ketaatan dan mengerjakan amalan saleh, mereka bersandar kepada keimanan. Mereka menyadari bahwa amalan saleh tersebut adalah nikmat Allah  Subhanahu wata’ala atas mereka.

Mereka meyakini bahwa nikmat berupa amal saleh itu lebih besar daripada nikmat yang berupa rezeki dan kesehatan. Demikian pula, mereka bersemangat untuk menyempurnakan amalan dan menjalani segala sebab agar amalan diterima, tidak tertolak, dan tidak terdapat kekurangan di dalamnya. Mereka memohon kepada Dzat yang telah mengaruniakan taufik kepada mereka agar menyempurnakan nikmat tersebut dengan menerima amalan mereka. Mereka memohon kepada Dzat yang telah mengaruniakan taufik kepada mereka untuk menjalankan pokok sebuah amalan agar menyempurnakan berbagai kekurangan amalan mereka. Mereka bersandar kepada keimanan saat mereka tertimpa musibah, terjatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka bersegera bertobat darinya, sekaligus berjuang sekuat tenaga menjalankan amalan kebaikan untuk menutupi segala kekurangan yang disebabkan oleh kemaksiatannya. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” ( al-A’raf: 201)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ وَمَثَلُ الْإِيمَانِ كَمَثَلِ الْفَرَسِ الْمَرْبُوطِ فِي آخِيَتِهِ، يَجُولُ مَا يَجُولُ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى آخِيَتِهِ

“Permisalan mukmin dan permisalan iman bagaikan kuda yang terikat di tali pancangnya. Ia pergi ke mana ia pergi, kemudian kembali ke tali pancangnya.” (HR. Ahmad, Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dll, dinyatakan dhaif oleh al-Albani dalam Silsilah adh-Dha’ifah no. 6637)

Demikianlah keadaan orang yang beriman. Ia pergi sekehendaknya dalam kelalaian dan kelancangan, mengerjakan sebagian dosa, kemudian segera kembali dengan cepat menuju keimanan yang seluruh urusannya dibangun di atasnya. Seorang mukmin hendaknya senantiasa bersandar kepada iman dalam kondisi apa pun. Keinginan mereka hanyalah merealisasikan iman dan menolak segala hal yang bertentangan dengan keimanan. Itulah keutamaan dan karunia dari Allah Subhanahu wata’ala untuk mereka. (Diambil dari at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman karya asy-Syaikh as- Sa’di, hlm. 57-59)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar

keimanan