Dakwah harus Memiliki Keistimewaan

Asy-Syaikh Muqbil Merintis Dakwah

Seperti yang dikatakan, asy-Syaikh Muqbil adalah mujaddid di negeri Yaman. Belum pernah ada sejak zaman Abdur Razzaq ash-Shan’ani sampai hari ini, seseorang yang menjalankan dakwah dan memperbaruinya seperti yang dilakukan oleh beliau.

Yaman adalah negeri yang keumuman penduduknya berpemahaman Syiah, Sufi, dan komunis. Membaca dan mempelajari kitab-kitab Sunnah (karya para ulama Ahlus Sunnah) terhitung sebagai dosa dan kesalahan yang tidak diampuni dan tidak dimaafkan. Bahkan, kalau ada yang berani menampakkan sunnah, mereka akan menghalalkan darahnya.

Seorang alim yang bernama Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, sebelumnya dihormati dan dimuliakan oleh gurunya. Setelah menampakkan sunnah, sang guru menulis surat khusus yang membantah dan menghabisi keyakinan serta manhajnya. Karena perlakuan zalim dari orang-orang yang memusuhi sunnah, beliau harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kabilah ke kabilah yang lain, untuk mempertahankan agamanya.

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata memuji Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, “Kalau saja aku katakan bahwa negeri Yaman tidak punya anak yang mulia seperti beliau, itu tidak salah.”

Setelah itu, hidup seorang alim yang bernama Shalih bin Mahdi al-Muqbili dan yang lainnya. Mereka juga mendapatkan penentangan dan gangguan dalam bentuk yang hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui.

Segala puji hanya milik Allah. Meskipun demikian keadaannya, musuh-musuh Sunnah gagal melakukan usaha. Sunnah Rasulullah dan ilmu para ulama tetaplah tersebar. Allah pun menjayakan ilmu para ulama yang membela Sunnah Rasulullah. Demikianlah yang terjadi hingga masa hidupnya asy-Syaikh Muqbil rahimahullah.

Beliau mengawali dakwahnya dalam keadaan asing menurut pandangan kerabat maupun penduduk kampungnya. Di antaranya ialah ketika dalam shalat beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, mereka menganggap batal shalatnya.

Ada yang menganggap bahwa beliau membenci ahlu bait Nabi, ketika mendengar beliau mengatakan, “Kuburan al-Hadi (salah satu tokoh Syiah) tidak dapat memberi manfaat dan madarat.”

Yang lain mengatakan bahwa beliau adalah seorang wahabi yang telah berpaling dari ahlu bait Nabi, ketika mendapati beliau membawa Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Beliau pun bertahan sampai waktu yang Allah kehendaki. Terkadang beliau tinggal di kampung halaman, terkadang di Sana’, dan terkadang di Dzammar. Beliau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain mengunjungi para penuntut ilmu dan Ahlus Sunnah yang ada. Beliau tidak merasa tenteram kecuali ketika bersama mereka.

Adapun kampung halaman beliau (Dammaj), penduduknya lebih dominan daripada beliau. Seorang penuntut ilmu tidak tahu apa yang harus diperbuat: apakah harus menghadapi mereka yang tidak memahami agama sama sekali, menghadapi fanatisme mazhab, atau menghadapi sikap ekstrem mereka terhadap Syi’ah, dst.

Segala puji bagi Allah, beliau memulai dakwah dengan mengajarkan al-Qur’an. Setelah itu, beliau menyampaikan hadits-hadits Nabi yang menyebutkan keutamaan Yaman, keutamaan ahlul bait, dan keutamaan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, mereka menganggap Ahlus Sunnah tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlul baitnya. Hal ini beliau lakukan dalam rangka menerangkan kepada mereka bahwa mereka hanya memfitnah dengan tuduhan yang jahat dan palsu.

Ahlus Sunnah mencintai ahlu bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kecintaan yang syar’i. Mereka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kecintaan yang disyariatkan. Mereka menempatkan beliau sesuai dengan kemuliaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan dan kedudukan yang beliau jelaskan sendiri, sebagaimana dalam hadits,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan menyanjung Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Aku ini hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR . al-Bukhari, dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي

“Aku tidak suka kalian menjunjungku melebihi kedudukanku.” (Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan, dari Abdullah bin Syikhkhir dan Anas bin Malik)

Dalam keadaan terasing, beliau memulai dakwah di Dammaj dari sebuah masjid kecil yang terbuat dari tanah. Kemudian berdatangan beberapa orang penuntut ilmu dari daerah Arhab, Hasyid, Anis, ‘Ans, Shan’a, Ta’iz, Sudan, Mesir, Belgia, dan seterusnya.

Selang beberapa tahun, berkembanglah dakwah ke berbagai penjuru negeri Yaman. Berdatanganlah para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia, seperti Indonesia, Malaysia, Amerika, Perancis, Aljazair, Libya, Somalia, dan negeri lainnya.

 

Menjaga Kerukunan & Persaudaraan Kaum Muslimin

Beliau memiliki keinginan yang kuat akan terwujudnya kerukunan dan persatuan pada tubuh kaum muslimin. Dalam salah satu pelajarannya, beliau sampai pada sebuah hadits,

بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ إِذْ قَالَ :بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فِي الْجَنَّةِ فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ؟ فَقَالُوا: لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ. فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: أَعَلَيْكَ أَغَارُ يَا رَسُولَ اللهِ؟

Ketika kami bersama Rasulullah, beliau berkata, “Ketika saya sedang tidur, saya mimpi berada di surga. Saya melihat ada seorang wanita sedang berwudhu di dekat sebuah istana. Lalu saya bertanya, Milik siapakah istana ini?

Mereka berkata, Milik Umar.

Aku teringat kecemburuannya, maka aku segera berbalik pergi.”

Mendengar hal ini, Umar pun menangis sambil berkata, “Wahai Rasulullah, apakah terhadapmu saya cemburu?” (HR . al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Dari hadits ini, beliau beristinbath (mengambil kesimpulan hukum) dan memetik pelajaran, “Hadits ini menerangkan perlunya menjaga perasaan saudaramu di jalan Allah (seakidah).”

 

Membenci Hizbiyah

Kebenciannya terhadap hizbiyah dan bid’ah serta pemeluknya, sangatlah keras. Semua itu hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau menerangkan hakekat hizbi dengan mengatakan, “Hizbi adalah semua yang mengajak kepada pemikirannya walaupun menyeru kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Itu hanya kedok atau topeng saja. Hizbiyah itu tidak memiliki batasan waktu. Hizbiyah adalah pemikiran.”

Beliau pernah berkata, “Kalau saja ada jari tanganku yang mengandung hizbiyah, sungguh aku akan memotongnya.”

 

Tamayyuz (Pembedaan)

Beliau seringkali mengulang dalam pelajarannya, “Dakwah itu harus memiliki tamayyuz (pembedaan).”

Orang-orang yang telah menyimpang, meskipun sebelumnya adalah murid, beliau senantiasa memperingatkan umat dari bahaya penyimpangan mereka. Bukan hanya dengan sindiran, namun beliau sebut satu per satu nama mereka.

Sebagian orang menanggapi tindakan beliau ini dengan menyatakan bahwa bisa jadi mereka yang menyimpang masih diharapkan kebaikan dan tobatnya sehingga perlu disikapi dengan lembut. Akan tetapi, beliau rahimahullah menekankan, “Seseorang itu, kalau dia itu hizbi (menyimpang), tetap akan berada pada penyimpangannya.”

Ternyata benar ucapan beliau. Pada kenyataannya, orang tersebut tidak berubah, bahkan semakin menentang”

Sebagai salah satu contoh, sikap Abul Hasan al-Ma’ribi terhadap al-Ahdal yang mulai tampak penyimpangannya. Abul Hasan ingin bersikap lembut terhadapnya dengan harapan dia kembali kepada kebenaran. Akan tetapi asy-Syaikh Muqbil rahimahullah tidak sependapat. Dan ternyata kebenaran bersama beliau rahimahullah.

Cukup disayangkan, sekarang ini banyak pihak yang tanpa malu menisbahkan diri sebagai murid asy-Syaikh Muqbil—termasuk di Indonesia— tetapi melupakan cara dakwah beliau rahimahullah ini. Dia menyangka bahwa cukup seseorang diakui menjadi murid kalau sudah pernah belajar atau menguasai pelajaran yang beliau sampaikan, tanpa meneladani sikap, kepribadian, serta manhaj beliau. Wallahul Musta’an.

 

Membenci Ancaman dan Teror Terhadap Kaum Muslimin

Beliau sangat membenci teror, gangguan keamanan, dan munculnya kegelisahan serta rasa takut kaum muslimin. Disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ رَسُولَ اللهِ :أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ أَنَّ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, terjagalah dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.”

Beliau mengambil istinbath bahwa dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kelompok semisal jama’atut takfir yang ada sekarang ini (yang selalu mengafirkan orang lain yang tidak segolongan dengannya) yang menganggap halal darah kaum muslimin. Demikian pula jama’atul jihad (kelompok yang mengaku mujahidin) yang menganggap halal darah kaum muslimin. Demikian pula para tokoh revolusioner yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan tindakan revolusi dan pemberontakan.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim yang mengucapkan syahadat Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan aku adalah Rasul Allah, kecuali karena tiga hal: tsayyib (orang yang sudah menikah) berzina, jiwa dengan jiwa (hukum qishash), dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad), memisahkan diri dari jamaah (kaum muslimin).”

Setelah menyebutkan hadits di atas, al-Imam Muslim mengisyaratkan kepada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan menyebutkan sanadnya sampai kepada beliau radhiallahu ‘anha, kemudian menyebutkan hadits yang semakna.

Ketika beliau ditanya tentang para turis, apakah mereka terhitung mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian dengan negara muslimin)?

Beliau menjawab, “Di antara mereka ada yang datang untuk merusak di negeri kaum muslimin. Ada pula yang menjadi mata-mata. Akan tetapi, melampaui batas (yakni dengan menyerang) terhadap mereka justru hanya menimbulkan kekacauan. Saya tidak menganjurkan hal ini. Demikian pula halnya segala sesuatu yang dapat menimbulkan kekacauan, tidak dibolehkan.

Tindakan membunuh para wisatawan asing adalah suatu kesalahan. Kami tidak tahu kecuali ujungnya adalah yang satu menyerang yang lain. Akhirnya dakwah terbengkalai, begitu pula pendidikan, pertanian, dan perdagangan. Namun, perlu diingat bahwa ini bukan berarti kami ridha dengan (kedatangan) mereka.”

Inilah sikap kaum mukminin. Mereka tidak ingin menimbulkan gangguan keamanan. Berbeda halnya dengan keadaan orang munafik, mereka sangat antusias terhadap hal seperti itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّئِن لَّمۡ يَنتَهِ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡمُرۡجِفُونَ فِي ٱلۡمَدِينَةِ لَنُغۡرِيَنَّكَ بِهِمۡ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلَّا قَلِيلٗا ٦٠

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka. Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) kecuali dalam waktu yang sebentar.” (al-Ahzab: 60)

Meresahkan kaum muslimin hukumnya haram menurut syariat. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/720) dan Ahmad dalam Musnad-nya (5/362), dari Abdurrahman bin Abi Laila, bahwa para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengagetkan dan membuat takut muslim lainnya.”

Hadits ini sahih dan telah disebutkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam kitabnya, ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fi ash-Shahihain (2/418).

 

Tantangan yang Dihadapi

Sebagaimana yang beliau alami di awal mula merintis dakwah, tekanan dari pihak dekat maupun jauh membuat beliau harus pindah ke satu tempat ke tempat yang lain.

Upaya pembunuhan juga telah dilakukan saat beliau mengawali dakwahnya. Bahkan, ketika dakwah Ahlus Sunnah telah berkembang dan semakin semarak di berbagai kota di Yaman, upaya inipun terus dilakukan oleh musuh-musuh dakwah.

Upaya ini dilakukan baik di markaz beliau di Dammaj maupun ketika beliau mengadakan safari dakwah. Seperti di San’a dan ‘Aden, terjadi upaya pengeboman terhadap beliau. Dengan pertolongan Allah, Allah menyelamatkan beliau dan kaum muslimin.

Upaya-upaya pembunuhan sangat memungkinkan untuk dilakukan, karena di negeri Yaman penduduknya masih bebas memegang senjata api dengan berbagai jenisnya.

Wallahul Musta’an.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

dakwah di yaman