Semua tentu sepakat, salaf adalah generasi terbaik dari umat Muhammad n. Diawali dari para sahabat yang merupakan murid-murid langsung Rasulullah n, ditempa keimanan mereka dalam “madrasah” beliau n. Kemudian para sahabat mengajarkan Islam kepada generasi berikutnya yaitu tabi’in, para tabi’in lantas menularkan ilmunya kepada tabi’ut tabi’in, demikian seterusnya sehingga Islam sampai kepada kita ini.
Sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, merekalah generasi emas yang mengantarkan Islam pada masa keemasannya. Apa yang membuat baik mereka, semestinya itulah yang kita ikuti. Apa jalan yang mereka tempuh, mestinya itu yang kita tapaki. Apa yang mereka pegangi semestinya itu juga yang kita kukuhi.
Lantas apa yang didakwahkan atau diletakkan pertama kali oleh Rasulullah n di dada-dada mereka sehingga mereka demikian tunduk kepada syariat, demikian mudah menerima kebenaran, serta demikian teguh memegang ajaran Islam?
Jawabannya tak lain adalah tauhid. Yang dilakukan Rasulullah n pertama kali adalah memurnikan akidah mereka, memerdekakan mereka dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah l, serta menutup segala celah yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Tauhid inilah sesungguhnya misi yang juga diemban oleh seluruh rasul sebelum Rasulullah n. Dakwah tauhid layaknya lahan subur yang dipupuk, sehingga pohon keimanan bisa tumbuh, akarnya menancap kokoh serta berbuah ketakwaan yang tinggi.
Ketakwaanlah yang membuat Allah l menolong mereka, menjadikan musuh-musuh mereka gentar, dan Islam menjadi wibawa. Sehingga amat salah kalau ada anggapan bahwa ketertinggalan Islam disebabkan teknologi. Teknologi memang penting namun bukan yang terpenting. Nyatanya, umat Islam waktu itu justru mampu mengalahkan bangsa-bangsa dengan peradaban yang lebih tinggi. Demikian juga anggapan bahwa Islam tertinggal karena faktor ekonomi, padahal sebagian besar generasi salaf justru hidup dalam kesederhanaan bahkan kekurangan.
Kondisi ini menuntut kita untuk memahami dan mengamalkan agama ini dengan merujuk kepada mereka, generasi yang telah mendapat rekomendasi dari Allah l dan Rasul-Nya—sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits. Cara memahami agama dengan merujuk kepada salaf ini adalah metode yang pasti benar dan yang paling murni dibandingkan pemahaman agama yang lahir belakangan.
Kita, yang jauh dari masa kenabian, yang keimanan, keilmuan, dan akhlak kita tidak ada apa-apanya dibandingkan generasi salaf, semestinya menjadi pengikut atau yang meniti jejak mereka dalam beragama. Sehingga ketika membincangkan dakwah salaf, yang digarisbawahi adalah metodologi (manhaj)nya, bukan individu-individu di masa sekarang yang ada di dalamnya, terlebih mereka “sebatas” berupaya meniti jejak generasi salaf. Dengan keimanan yang tidak sebanding dengan generasi salaf, maka menjadi niscaya jika dari orang-orang belakangan yang meniti jejak mereka terdapat banyak kekurangan seperti berlaku kurang adab, acap terjatuh dalam kemaksiatan, dan sebagainya.
Maka dari itu, menjadi tidak adil, jika kebencian terhadap salafi, orang-orang yang berusaha meniti jejak generasi salaf, justru membutakan hati kita dengan merembetkan kebencian pada syariat itu sendiri, enggan untuk menerima kebenaran, walaupun dalilnya telah jelas ataupun hujjahnya demikian kokoh.
Di sisi lain, menjadi cambuk bagi kita, baik dai maupun penuntut ilmu yang berada di jalan dakwah ini, untuk tidak menyulut api fitnah, membuat manusia lari dari dakwah bahkan menentang kebenaran karena semata-mata sikap kita yang kurang adab ataupun hal-hal lain yang mungkin dianggap sepele. Semestinya kita memuliakan diri dengan Islam, sebagaimana kemuliaan itu ada pada dakwah ini, dakwah salaf yang penuh hikmah.