Meneladani Akhlak Nabi

Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sungguh aku diutus menjadi rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”

Pada sebagian riwayat,

لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Islam adalah agama yang penuh keindahan.

Ia dibangun di atas akidah tauhid yang bersih dari kesyirikan. Ia membebaskan manusia dari penghambaan kepada makhluk, hingga cinta dan peribadatan hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (al-Anam: 162—163)

Ibadahnya mudah, tidak membebani.

Dengannya jiwa menjadi suci dan dada menjadi lapang. Muamalahnya adil dan jauh dari kezaliman, mewujudkan suasana bantu-membantu di atas takwa dan kebaikan. Demikian pula akhlak yang dibawa oleh Islam adalah akhlak yang agung dan menakjubkan.

Tentang keindahan Islam ini, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di rahimahullah (wafat pada 1376 H) mengatakan,

“Islam memerintahkan segala amalan kebaikan, akhlak-akhlak mulia, dan seluruh kemaslahatan manusia. Islam mengajarkan keadilan, keutamaan, kasih sayang, dan semua kebajikan.

Sebaliknya, Islam melarang kezaliman, penyimpangan, dan akhlak-akhlak yang tercela. Tidak ada satu sisi kebaikan pun yang dibawa oleh para nabi dan rasul melainkan syariat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkannya.

Demikian pula, tidak ada satu maslahat pun baik duniawi maupun ukhrawi yang diseru oleh syariat nabi-nabi terdahulu melainkan syariat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam juga menyeru kepadanya. Demikian pula segala kerusakan, syariat Islam melarangnya dan memerintahkan agar dijauhi.” (Ad-Durrah al-Mukhtasharah fi Mahasini ad-Dinil Islami)

Keindahan Islam demikian terang. Keagungannya tidak pernah sirna dan padam hingga akhir zaman.

Namun, seperti disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Islam akan menjadi asing sebagaimana dahulu datang pertama kali. Keindahan itu seolah-olah pudar, tidak lagi dikenal oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya banyak sebab yang melatarbelakangi pudarnya keindahan tersebut pada benak kebanyakan manusia, kecuali sedikit dari orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ironinya, di antara sebab-sebab itu justru muncul dari tubuh kaum muslimin.

Sebagian firqah (kelompok sempalan) dalam Islam bersikap ghuluw (ekstrem) dalam berdakwah, beramar makruf nahi mungkar. Mereka tidak berlaku hikmah dalam mengingkari kemungkaran, cenderung kepada kekerasan dan perusakan.

Bahkan, sebagian mereka sangat mudah memberi vonis kekafiran, seperti yang muncul dari orang-orang yang berpaham Khawarij. Bukan kemungkaran yang hilang, melainkan yang muncul adalah kemungkaran yang lebih besar. Lihatlah, misalnya sejarah Khawarij pada masa Utsman bin Affan dan Ali. Bukan kemungkaran yang mereka ingkari, melainkan kehormatan manusia terbaik saat itu dan persatuan kaum muslimin yang mereka nodai.

Di sisi lain, ada firqah yang meninggalkan penghidupan dunia hingga anak istri pun tidak terurus. Anehnya, mereka berdalih dengan tawakal. Hal ini seperti yang terjadi dalam firqah-firqah yang dibangun di atas akidah Sufi. Mereka meninggalkan ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah (ajaran Nabi), amar makruf nahi mungkar, tidak peduli kesyirikan merajalela dengan alasan dakwah tauhid memecah-belah umat. Mereka pun tenggelam dalam kebidahan bahkan kesyirikan.

Lalu di manakah Islam yang sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya?

Orang yang tidak mengerti akan bimbang menghadapi kenyataan yang ada, meskipun menara al-haq telah dipancangkan.

Keadaan semakin diperparah oleh propaganda musuh-musuh Islam yang terus berusaha merusak citra Islam dengan berbagai caci-maki dan tuduhan. Bahkan, mereka berusaha mengelabui manusia dengan memasukkan pemikiran sesat melalui institusi-institusi berlabel Islam. Tersebarlah imaji bahwa Islam adalah agama yang tidak berakhlak, dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah yang keras dan tidak memiliki hikmah, atau tuduhan-tuduhan senada yang disandangkan kepada agama yang suci dan agung ini.

Kajian hadits berikut kami harapkan bermanfaat bagi kaum muslimin, sehingga mereka bisa melihat kembali sebagian keindahan Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kesempurnaannya dan ketinggian akhlak yang beliau shallallahu alaihi wa sallam ajarkan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita untuk kembali pada akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381), Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat (1/192), al-Bazzar dalam al-Musnad (no. 2740—Kasyful Astar), ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Atsar (no. 4432), al-Baihaqi dalam as-Sunan (10/191—192) dan Syu’abul Iman (no. 7977 dan 7978), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan at-Tarikhul Kabir (7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613), al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abid Dunya dalam Makarimul Akhlaq (no. 13), serta Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhid (24/333—334).

Semua meriwayatkan hadits ini melalui jalan Muhammad bin Ajlan, dari al-Qa’qa’ bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

Sebagian meriwayatkan dengan lafaz “shalihal akhlaq”, sedangkan yang lainnya dengan lafaz “makarimal akhlaq”.

Hadits di atas adalah sahih, walhamdulillah. Perawi-perawinya tsiqah (terpercaya). Hadits ini juga memiliki syahid (penguat) dari hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu dalam riwayat al-Bazar (no. 1973) dan ath-Thabarani (20/120). Demikian juga syahid dari hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 7979).

Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi menilai hadits ini sahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Mustadrak (2/613).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1/112) berkata,

“Sanad hadits ini hasan … Ibnu Abdil Bar berkata dalam at-Tamhid (24/333—334) bahwa hadits ini shahih muttashil (bersambung sanadnya) hingga Rasul shallallahu alaihi wa sallam, melalui jalan-jalan yang sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan lainnya.”

Fikih Hadits

Al-Munawi rahimahullah berkata,

“Sabda Rasulullah ‘innama bu’itstu’ maknanya adalah aku dibangkitkan—yakni diutus menjadi rasul—tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik), karena sebagian riwayat menyebutkan ‘untuk menyempurnakan akhlak yang karimah (mulia)’ (yakni aku diutus untuk menyempurnakannya) yang sebelumnya kurang, dan aku (diutus untuk) mengumpulkan yang sebelumnya tercerai-berai ….” (Lihat Faidhul Qadir, 2/572)

Memaknai hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu di atas, Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan bahwa kebaikan, agama, keutamaan, muruah (kemuliaan), ihsan (perbuatan baik), dan keadilan, semuanya tercakup dalam makna hadits ini. Dengan semua kebaikan inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakannya. (Lihat at-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 24/332)

Dengan diutusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama sebagaimana dalam firman-Nya,

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak ada satu kebaikan pun—baik amalan lahir maupun batin, akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak—melainkan telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan sempurna. Demikian pula, tidak ada satu kejelekan pun melainkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan umat darinya.

Di antara ayat yang juga menunjukkan kesempurnaan Islam—sebagai agama yang mengajarkan semua kemuliaan dan akhlak yang baik, serta melarang segala kemungkaran dan akhlak yang buruk—adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90)

Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sadi rahimahullah berkata,

“Keadilan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini mencakup adil dalam (memenuhi) hak Allah subhanahu wa ta’ala dan adil dalam hak hamba-hamba-Nya. Adil adalah memenuhi perintah-perintah-Nya yang terkait dengan harta, badan, atau keduanya, baik terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala maupun hak hamba-hamba-Nya.

Oleh sebab itu, seorang pemimpin—apakah ia imam (khalifah), qadhi (hakim), atau wakil keduanya—wajib bergaul dengan manusia secara adil yang sempurna dengan menunaikan hak-hak orang yang di bawah tanggung jawabnya …

Termasuk keadilan (yang diperintahkan) adalah adil dalam bermuamalah. Maka dari itu, seseorang wajib berlaku adil dalam muamalah jual-beli atau muamalah lainnya, dengan menunaikan semua kewajiban, tidak menahan hak-hak manusia, tidak menipu mereka, tidak mengelabui atau menzaliminya …

Jadi, ayat ini mengumpulkan semua perintah dan larangan. Tidak ada satu masalah pun kecuali masuk dalam ayat ini.” (Taisir al-Karimir Rahman secara ringkas, 4/332—333)

Akhlak Rasulullah 

Sebagai rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan semua kebaikan, beliau shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan teladan kepada umatnya secara sempurna melalui sabda dan amal perbuatan. Seluruh sisi kehidupan dan ucapan beliau sesungguhnya merupakan teladan akan kesempurnaan akhlak dan kemuliaan amalan. Ketinggian akhlak itu tecermin dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala memuji akhlak beliau dalam firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

Membicarakan akhlak Rasul shallallahu alaihi wa sallam, ibarat seseorang yang menyeberang lautan tak bertepi, begitu luasnya. Meskipun demikian, marilah sejenak kita menyimak beberapa kisah dalam kehidupan Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersama umatnya yang dipenuhi keindahan akhlak dan keagungan budi pekerti.

Dekat dengan Umat

Saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Anda, beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat dekat dengan umatnya, apapun keadaan mereka. Kaya, miskin, bangsawan, atau budak. Beliau bergaul dengan umat dengan penuh kelembutan dan akhlak mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala menyanjung baiknya akhlak rasul shallallahu alaihi wa sallam ini dalam firman-Nya,

فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ

“Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)

Zahir, demikian nama seorang Arab badui. Meski memiliki bentuk dan wajah yang jelek, tetapi Rasul shalallahu alaihi wa sallam mencintainya. Zahir biasa datang ke Madinah mengunjungi Rasul shallallahu alaihi wa sallam membawa hadiah dari desanya. Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun membalasnya dengan menyiapkan sesuatu sebelum Zahir pulang ke desa. Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Zahir adalah badui kita, dan kita adalah orang kotanya dia (Zahir).”

Suatu hari Zahir berada di pasar kota Madinah menjual barang dagangan. Tanpa sepengetahuannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang memeluknya dari belakang. Berkatalah Zahir, “Siapa ini? Lepaskan aku!”

Ketika Zahir menoleh, didapatinya ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang memeluknya. Ia pun membiarkan tubuhnya tetap bersatu dengan tubuh Rasul shallallahu alaihi wa sallam.

Subhanallah, betapa indahnya pemandangan ini. Duhai, seandainya para bangsawan dan orang-orang yang merasa memiliki kemuliaan itu meneladani akhlak Rasul shallallahu’alaihi wa sallam dalam bergaul dengan saudara-saudaranya seiman meskipun miskin dan papa.

Tiba-tiba Rasul shallallahu alaihi wa sallam bergurau dengan mengatakan, “Siapa yang mau membeli hamba ini (yakni Zahir)?”

Zahir segera menimpali, “Wahai Rasulullah, berarti aku adalah orang yang tidak berharga?”

Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Tidak demikian, sungguh engkau mahal di sisi Allah.” (Lihat kisah ini dalam asy-Syama’il al-Muhammadiyah karya at-Tirmidzi, dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam Mukhtashar asy-Syama’il, no. 204)

Lembut dan Penuh Kasih Sayang

Beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bukan orang yang berperilaku kasar atau berlisan tajam menyakitkan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat lembut dan penuh kasih sayang.

Terkadang beliau shallallahu alaihi wa sallam bersenda gurau dengan para sahabatnya hingga mereka berkata, “Wahai Rasulullah, engkau bersenda gurau dengan kami?” Beliau bersabda, “Ya, (aku bersenda gurau dengan kalian). Hanya saja, aku tidak pernah berkata selain yang benar.” (HR. at-Tirmidzi dalam asy-Syama’il, no. 202 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, disahihkan oleh al-Albani)

Pernah seorang sahabat datang kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam meminta hewan tunggangan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu sungguh aku akan naikkan engkau pada seekor anak unta!”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bermaksud memberikan unta yang kuat, tetapi beliau shallallahu alaihi wa sallam bahasakan dengan “anak unta”, hingga sahabat ini menyangka bahwa “anak unta” yang beliau maksud adalah unta kecil yang tidak memiliki kekuatan. Demikianlah Rasul shallallahu alaihi wa sallam bergurau.

Laki-laki ini pun berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta itu?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah semua unta (perkasa) adalah anak dari seekor unta betina?” (HR. al-Bukhari)

Subhanallah. Lihatlah gurauan Rasul shallallahu alaihi wa sallam yang menyejukkan dan jauh dari kedustaan. Bukankah sepantasnya kita menyudahi banyak gurauan kita yang dipenuhi kedustaan dan cerita-cerita karangan? Ya Allah, berikan taufik kepada kami untuk mengikuti jalan nabi-Mu.

Saudaraku, setelah kita melihat beberapa sisi kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diliputi kemuliaan akhlak, sejenak kita simak ucapan-ucapan beliau shallallahu alaihi wa sallam tentang akhlakul karimah, yang Allah subhanahu wa ta’ala utus beliau untuk menyempurnakannya.

Sabda Rasul Tentang Akhlak

Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam demikian beragam berbicara tentang akhlak. Terkadang berisi perintah dan anjuran untuk berhias dengan akhlak yang terpuji dalam bergaul dengan manusia. Adakalanya beliau menyebut besarnya pahala akhlak mulia dan beratnya pahala akhlak dalam timbangan. Pada kesempatan yang lain, beliau shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan manusia dari akhlak yang buruk dan tercela.

Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Rasul shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا

“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari, 10/378, dan Muslim, no. 2321)

Dalam hadits lain, Rasul shallallahu alaihi wa sallam berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan Muadz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik dalam sabda beliau,

اتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Iringilah kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya. Dan pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik.”[1] (HR. at-Tirmidzi, no. 1987, beliau mengatakan, “Hadits ini hasan.” Dalam naskah lainnya dikatakan bahwa hadits ini hasan sahih.)

Rasul shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan pula bahwa akhlak yang baik mampu mengejar amalan ahli ibadah.

Dalam sebuah hadits Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mencapai derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa.” (HR. Abu Dawud no. 4798, disahihkan oleh al-Albani)

Ummu ad-Darda radhiyallahu ‘anha meriwayatkan dari suaminya, Abu ad-Darda radhiyalllahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-mizan (timbangan) daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud, no. 4799, dinilai sahih oleh al-Albani)

Akhlak yang baik adalah sebab seseorang memperoleh derajat yang tinggi di janah Allah subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah sebab seseorang terhalangi dari kenikmatan janah.

Dari Abu Umamah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسْطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi janah bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berhak. Aku juga memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah janah bagi yang meninggalkan kedustaan, walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah di janah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)

Dari al-Haritsah bin Wahb radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ الْجَوَّاظُ، وَلَا الْجَعْظَرِيُّ

“Tidak akan masuk janah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)

Alhasil, sabda-sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat banyak dan beragam dalam mengungkapkan kedudukan akhlakul karimah dan kemuliaannya.

Karena pentingnya akhlak, ulama ahli hadits berusaha mengumpulkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka. Al-Bukhari menulis al-Adabul Mufrad, Abu Dawud membuat sebuah kitab tentang adab dalam as-Sunan, at-Tirmidzi membuat kitab al-Birr was-Shilah dalam Sunan-nya. Bahkan, at-Tirmidzi menulis sebuah kitab khusus tentang perikehidupan Rasul shallallahu alaihi wa sallam dari segala sisi, yang beliau beri judul asy-Syamail al-Muhammadiyah. Demikian pula yang dilakukan oleh ulama-ulama ahli hadits lainnya dalam kitab-kitab mereka.

Memohon Akhlak yang Baik dan Berlindung dari Akhlak yang Buruk

Doa adalah sebesar-besar pintu kebaikan karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Itulah pintu kebaikan yang seharusnya seluruh hamba mengetuknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan teladan kepada umatnya agar berdoa memohon akhlak yang terpuji dan berlindung dari akhlak yang tercela.

Dalam sebuah hadits, Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي

“Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan badanku, perbaikilah akhlakku.” (HR. Ahmad, 1/403, Ibnu Hibban, no. 959)

Doa ini bebas, bisa dibaca kapan saja seorang menghendaki dan tidak terikat dengan tempat atau keadaan. Doa ini bukan doa khusus saat bercermin. Memang benar, ada beberapa jalan dari hadits ini yang menjelaskan bahwa doa tersebut dibaca saat becermin. Namun, jalan-jalan itu sangat lemah.

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata setelah menyebutkan riwayat-riwayat hadits yang mengkhususkan doa tersebut saat bercermin,

“Nyata sudah dari penjelasan yang telah lalu bahwa jalan-jalan ini semuanya lemah. Tidak mungkin dikatakan bahwa jalan-jalan itu saling menguatkan karena kelemahannya yang sangat. Oleh karena itu, tidak benar berdalil dengan hadits ini dalam hal disyariatkannya doa ini saat bercermin ….” (Irwa’ul Ghalil, 1/113—115)

Adapun isti’adzah (permohonan perlindungan) yang diajarkan oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat berikut.

Dari Ziyad bin Ilaqah, dari pamannya[2], ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu membaca doa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak-akhlak yang mungkar, dari amalan-amalan yang mungkar, dan dari hawa nafsu yang menyimpang.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3591, dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 3/473)

Hadits ini berisi permohonan perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari tiga kemungkaran.

  1. Berlindung dari akhlak yang mungkar, karena dari akhlak yang mungkar inilah kejelekan-kejelekan menimpa seseorang.

  2. Berlindung dari amalan-amalan yang mungkar, yaitu dosa-dosa dan kemaksiatan.

  3. Berlindung dari hawa nafsu yang mungkar.

Sebagian ulama mengatakan bahwa kata “akhlak” dalam hadits ini artinya adalah amalan-amalan batin sedangkan “al-a’mal” adalah amalan-amalan lahir. Jadi, doa di atas isinya adalah meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari dosa-dosa yang lahir dan batin. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10/50)

Kembali pada Akhlak Nabi

Orang-orang yang jujur mencintai Allah subhanahu wa ta’ala akan meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hal petunjuk dan akhlaknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita dan mendorong diri kita untuk berusaha mencari kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan kembali pada akhlak Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam.

Saya ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah,

“Aku berharap dengan tulus kepada Allah subhanahu wa ta’ala semoga kitab ini[3] menjadi bimbingan bagi kaum muslimin untuk mengenal akhlak mulia pada diri Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan sifat-sifat agung yang beliau berhias dengannya, sehingga membawa mereka untuk mengikuti petunjuknya, berakhlak dengan akhlaknya, dan memetik secercah cahayanya.

Terlebih pada zaman yang kaum muslimin hampir-hampir lupa dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

Apalagi di tengah-tengah muslimin ada dai yang merasa tidak butuh mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak petunjuk dan adabnya, seperti sifat tawadhu dalam berpakaian, makan, minum, tidur, shalat, dan ibadah-ibadah beliau shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, ada di antara mereka yang mengajari pengikutnya untuk merasa tidak membutuhkan beberapa petunjuk Rasul shallallahu alaihi wa sallam, seperti ajaran Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk makan dan minum dengan duduk, serta ajaran beliau untuk mengangkat kain di atas kedua mata kaki.

Mereka menganggap semua itu sebagai bentuk memaksakan diri dan sesuatu yang membuat lari manusia dari Islam. Engkau pun akan mendapati mereka tidak peduli menyeret bajunya menyentuh tanah dengan dalih bahwa ia melakukannya bukan karena sombong! Bahkan, ia berdalil dengan sabda Rasul shallallahu alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ash-Shidiq,

لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلَاءً

“Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”

Mereka lalai akan perbedaan yang sangat jauh antara Abu Bakr radhiyallahu anhu dan diri mereka.

Abu Bakr radhiyallahu anhu tidak menyengaja menjulurkan sebagian bajunya di bawah mata kaki sebagaimana sangat tampak pada ucapan beliau,

إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي

“Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot (yakni tidak sengaja terjulur di bawah mata kaki, –pen.).”

Adapun mereka menyengaja memanjangkan dan menyeret baju mereka. Mereka juga bodoh atau pura-pura bodoh terhadap sifat (bentuk) baju Nabi shallallahu alaihi wa sallam (yang tentu kita yakini sebagai sifat baju yang paling baik dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala, –pen.) dalam sabda beliau,

هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ

“Di sinilah (pertengahan betis inilah –al-Albani) batas kain. Jika engkau tidak bisa, di bawahnya. Jika tidak, tidak ada hak sedikit pun bagi dua mata kaki (untuk ditutup kain).”

Dalam hadits lain beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ

“Apa yang di bawah dua mata kaki dari kain maka berada di neraka.”

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata,

“Suatu saat aku berpapasan dengan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sementara kain yang kupakai menurun. Beliau bersabda, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kainmu!’

Aku pun menaikkannya. Beliau kembali bersabda, ‘Tambah lagi!’

Aku pun menambahnya. Semenjak itu, aku terus menjaga kainku (di batas yang ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam).

Sebagian orang bertanya, “Wahai Ibnu Umar, sampai batas mana (rasul memerintahkanmu mengangkat kain)?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan betis.”

Aku (al-Albani, -pen.) mengatakan, “Orang yang seperti Ibnu Umar saja—yang termasuk pemuka sahabat yang mulia dan yang paling bertakwa—Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam tidak mendiamkan dengan kainnya yang melorot. Beliau shallallahu ‘alaih wa sallam memerintah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma untuk mengangkatnya. Bukankah ini menunjukkan bahwa adab berpakaian di atas mata kaki tidak (hanya) dikaitkan dengan kesombongan?

(Jika Ibnu Umar radhiyallahu anhuma yang jauh dari kesombongan saja ditegur oleh Rasul), sungguh seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam melihat sebagian dai itu menyeret-nyeret kainnya pasti beliau mengingkarinya.

Mereka tidak akan mampu mengelak dengan ucapan, “Kami tidak menyeretnya karena sombong!” (Tidak mungkin mereka mengelak,) karena Ibnu Umar yang zuhud lebih jujur daripada mereka mengatakan, “Aku tidak melakukannya karena sombong.”

Meskipun (Ibnu Umar tidak melakukannya karena sombong), Rasul shallallahu alaihi wa sallam tetap mengingkarinya. Ibnu Umar juga bersegera memenuhi seruan Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Masih adakah hari ini orang yang menerima seruan Rasul shallallahu alaihi wa sallam?

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيدٞ ٣٧

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Qaf: 37) (Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, hlm. 10—11)

Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.


[1] Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

“Akhlak yang baik adalah wajah yang selalu berseri, melakukan yang makruf dan menahan diri dari menyakiti.”

Ishaq bin Rahuyah rahimahullah berkata, “Akhlak yang baik adalah wajah yang berseri dan menahan amarah.”

(Lihat beberapa ucapan salaf tentang tentang husnul khuluq dalam Jami’ul Ulum wal Hikam [1/457—458] karya Ibnu Rajab al-Hanbali).

[2] At-Tirmidzi berkata dalam as-Sunan setelah menyebutkan hadits ini, “Paman Ziyad bin ‘Ilaqah adalah Quthbah bin Malik radhiyallahu anhu, seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”

[3] Yakni Mukhtashar asy-Syama’il al-Muhammadiyah.

 

Ditulis oleh Ustadz Muhammad Rijal bin Isnain, Lc.

akhlakakhlak karimahakhlak nabicongklangisbalisbal tanpa sombong