Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah

Ad-Darimi[1] rahimahullah meriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ الله حَرَّمَ أَشْيَاءَ يَوْمَ خَيْبَرٍ، الْحِمَارَ وَغَيْرَهُ ثُمَّ قَالَ: لَيُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِه يُحَدَّثُ بِحَدِيْثِي فَيَقُولُ: بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللهِ، مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَاهُ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ. أَلَاوَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ الله فَهُوَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan beberapa perkara pada hari khaibar, yaitu keledai dan lainnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah dekat (munculnya) seseorang, ia bertelekan di atas dipannya, disampaikan kepadanya haditsku, (namun dia menolaknya) seraya berkata, ‘(Cukuplah) di antara kita dan kalian Kitabullah. Apa yang kita dapatkan dalam Kitabullah halal kita halalkan, dan apa yang kita dapatkan di dalamnya haram kita haramkan’.” (Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,) “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan sama dengan apa yang Allah haramkan.”

 

Takhrij Hadits

Ad-Darimi rahimahullah meriwayatkan hadits ini dalam Muqaddimah Sunannya, Bab “As-Sunnah Qadhiyatun ‘ala Kitabillah” no. 590 dari Asad bin Musa dari Mu’awiyah bin Shalih dari al-Hasan bin Jabir dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu.

Guru beliau, Asad bin Musa, adalah Ibnu Ibrahim bin al-Walid bin Abdil Malik al-Umawi. Asadus-Sunnah (singanya sunnah), demikian ia dijuluki. Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Shaduq, Yughrib (jujur namun sering meriwayatkan halhal yang aneh).”

Tentang Mu’awiyah bin Shalih bin Hudair al-Hadhrami al-Himshi. Abu Zur’ah ar-Razi dan an-Nasa’i rahimahumallah berkata, “Tsiqah (tepercaya).” (al-Jarh wat-Ta’dil [8/382])

Al-’Ijli rahimahullah berkata, “Tsiqah.” (Tarikh ats-Tsiqat hlm. 432)

Sedangkan Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Shaduq lahu auham (jujur namun memiliki beberapa kekeliruan).”

Adapun al-Hasan bin Jabir al-Lakhmi al-Kindi, Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkannya dalam ats-Tsiqat (4/125). Sedangkan Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Maqbul.” (Haditsnya diterima jika ada penguat, jika tidak, maka lemah); dan hadits ini termasuk hadits yang memiliki penguat-penguat.

Melalui jalan Mu’awiyah bin Shalih dari al-Hasan bin Jabir dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu, at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya, Kitab “Al-Ilmu bab Ma Naha ‘anhu An Yuqala ‘ala Haditsin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” no. 2664. Demikian pula Ibnu Majah rahimahullah dalam Muqaddimah Sunan-nya “Bab Ta’zhimu Haditsi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam wat Taghlizh ‘ala Man ‘Aradhahu” no. 12.

Adapun Abu Dawud rahimahullah, beliau meriwayatkan hadits Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu dalam As-Sunan “Kitab As-Sunnah bab Fi Luzumi As-Sunnah” no. 4604—dengan sanad yang semua rawinya tsiqah—dari gurunya, Abdul Wahhab bin Najdah dari Abu ‘Amr bin Katsir bin Dinar dari Harits bin ‘Utsman dari Abdurrahman bin Abi ‘Auf dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan lafadz:

أَلَا إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلَا يُوْشِكُ رَجَلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِه يَقُولُ: عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ. فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ؛ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِي وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السبعِ الْحَدِيثَ

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya (yakni Al-Hadits). Ketahuilah, telah dekat (munculnya) seorang yang kenyang di atas dipannya berkata, ‘(Cukuplah) kalian dengan Al-Qur’an ini (tidak perlu pada hadits Nabi–pen.). Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an halal maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapatkan di dalamnya haram maka haramkanlah’.” (Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda), “Ketahuilah, tidak halal bagi kalian daging himar peliharaan, tidak halal pula semua yang bertaring dari hewan buas …” (Al-Hadits)

Hadits Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu memiliki syawahid (penguat) dari hadits Abu Rafi’ al-Anshari radhiallahu ‘anhu[2] dan hadits Jabir radhiallahu ‘anhu.

Hadits Miqdam radhiallahu ‘anhu sahih dengan semua jalan dan syawahidnya. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mensahihkannya dalam Shahih at-Tirmidzi. Walhamdulillah.

 

Makna Hadits

Ada berita dan bimbingan dalam sabda yang agung ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan akan munculnya pengingkar sunnah. Mereka menolak hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melemparnya ke belakang punggung dengan sombong sebagaimana digambarkan; kaum yang kenyang dan bertelekan di atas dipan-dipan[3].

Dalam upayanya mengingkari sunnah, mereka berkata, “(Cukuplah) kalian dengan Al-Qur’an ini, apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an halal maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapatkan di dalamnya haram maka haramkanlah.” Adapun hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka picingkan mata dan mereka berpaling darinya.

Merekalah yang lebih dikenal sebagai Qur’aniyyun atau inkarus sunnah. Dengan ucapan yang batil ini, mereka tidak sadar akan banyaknya ayat Al-Qur’an yang dengan tegas memerintahkan mereka untuk berpegang teguh pada sabdasabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)

Saudaraku, jika bukan dari sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari mana kita akan mengerti tata cara shalat? Dari mana kita mengerti tata cara haji? Dari mana pula kita mengerti rincian-rincian dari apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara mujmal (global)? Orang yang berakal sehat tentu akan menjawab, “Kita hanya akan mengerti itu semua dari sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”

Suatu hari, sahabat ‘Imran bin al-Hushain radhiallahu ‘anhu[4] berada di sebuah majelis bersama murid-muridnya. Tiba-tiba seseorang berkata, “Jangan kau sampaikan kepada kami kecuali Al-Qur’an!”

‘Imran radhiallahu ‘anhu berkata, “Dekatkan orang ini kepadaku!” Kemudian ‘Imran radhiallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Wahai fulan, apa pendapatmu, seandainya kau dan teman-temanmu dihadapkan pada Al-Qur’an, akankah kau dapatkan di dalamnya shalat dzuhur empat rakaat, shalat ashar empat rakaat, shalat maghrib tiga rakaat dengan men-jahar-kan bacaan pada dua rakaat (pertama)? Apa pula pendapatmu seandainya kau dan teman-temanmu dihadapkan pada Al-Qur’an, akankah kau dapatkan thawaf (mengelilingi Ka’bah) itu tujuh putaran? Demikian pula (sa’i di) Shafa dan Marwah (tujuh kali)?”

Kemudian Imran bin al-Hushain radhiallahu ‘anhu berkata:

أَيْ قَوْمُ، خُذُوا عَنَّا، فَإِنَّكُمْ وَاللهِ، إِنْ لَا تَفْعَلُوا لَتَضِلُّنَّ

“Wahai kaum, ambillah dari kami (hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena kalian—demi Allah—seandainya tidak melakukannya pasti akan tersesat.” Kisah ini diriwayatkan al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah dalam al-Kifayah (hlm. 38) dari beberapa jalan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah.

Serupa dengan ucapan Imran bin al-Hushain radhiallahu ‘anhu, al-Hakim rahimahullah dalam Ma’rifah ‘Ulumul Hadits (hlm. 65) dan al-Khatib rahimahullah dalam al-Kifayah (hlm. 49) meriwayatkan dari al-Auza’i rahimahullah, dia berkata, Ayub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata:

إِذَا حَدَّثْتَ الرَّجُلَ بِالسُّنَّةِ فَقَالَ: دَعْنَا مِنْ هَذَا وَحَدِّثْنَا مِنَ الْقُرْآنِ؛ فَاعْلَمْ أَنَّهُ ضَالٌّ مُضِلٌّ

“Jika engkau sampaikan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang, namun dia (justru) berkata, ‘Tinggalkan ini, sampaikan saja kepada kami Al-Qur’an!’, ketahuilah sesungguhnya dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan!”

Betapa banyak syariat Islam diterangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya. Betapa banyak pula ayat-ayat Al-Qur’an dirinci dalam sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak ada keraguan sedikitpun bahwasanya menolak hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bermakna meruntuhkan Islam, serta pelakunya sesat dan menyesatkan.

Di samping berisi berita, hadits Miqdam radhiallahu ‘anhu mengandung bimbingan bagi umat ini untuk berhati-hati dari kaum tersebut—atau yang sepaham dengan mereka—dan berusaha membentengi diri dari kesesatan mereka, tentu dengan selalu berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dilindungi dari segala fitnah. Wabillahit taufiq.

 

Kedudukan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada satu hal yang perlu kita dudukkan yaitu: Apa yang dimaksud dengan sunnah dalam pembahasan kita?

Sunnah yang kita kehendaki bukanlah sunnah yang didefinisikan dalam ilmu ushul fiqh sebagai “Perkara yang jika dilakukan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa,” atau yang diistilahkan pula dengan mustahab.

Namun, sunnah yang kita maksudkan adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum, yaitu risalah yang beliau bawa, baik Al-Qur’an ataupun Al-Hadits. Sunnah dengan makna inilah yang disebut dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنّيِ

“Barangsiapa membenci sunnahku (yakni ajaranku baik Al-Qur’an atau Hadits, pen.) maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim dalam ash-Shahih no. 1401 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Allah subhanahu wa ta’ala turunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan beliau untuk menerangkannya kepada manusia dengan sabda-sabda beliau yaitu Al-Hadits. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl: 44)

Demikianlah tugas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam . Membacakan kepada manusia apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wahyukan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala ingatkan nikmat ini dalam firman-Nya:

لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ١٦٤

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (Al-Hadits). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164 )

Jadi, semua yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, adalah sunnah (ajaran) beliau yang wajib diagungkan dan dimuliakan. Tidak boleh bagi siapa pun meremehkan apalagi membencinya. Hal itu karena sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3—4)

Demikian pula wajib bagi kita mengagungkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan ittiba’ (mengikuti) sunnah beliau sebagai bukti kecintaan kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١

Katakanlah (wahai Nabi), “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)

Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan diri-Nya, bahwa seseorang tidaklah beriman hingga menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim (pemutus perkara) atas segala hal yang diperselisihkan.[5] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

        فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)

        Jika telah jelas kemuliaan dan keagungan sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semua yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan adalah syariat yang wajib diagungkan dan wajib diamalkan, meskipun tidak tersebut dalam Al-Qur’an.

Mari kita kembali pada hadits Miqdam radhiallahu ‘anhu. Beliau memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan daging himar pada perang Khaibar. Pengharaman ini wajib diterima meskipun tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau mengharamkan pula semua yang bertaring dari hewan buas seperti singa, harimau, dan sejenisnya. Pengharaman ini pun wajib diagungkan dan diterima, meskipun Al-Qur’an tidak menyebutkannya, karena apa yang diharamkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلَا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ الله فَهُوَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Ketahuilah, sungguh apa yang diharamkan Rasulullah seperti apa yang diharamkan Allah ‘azza wa jalla.”

 

Pengagungan Salaf terhadap Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah teladan dalam mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup beliau maupun sesudah wafatnya. Demikian pula generasi terbaik berikutnya, tabi’in, atba’ut tabi’in, dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh pada generasi pendahulu (salaf) umat ini, pengingkaran dan kemarahan mereka demikian hebat kepada orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ra’yu (akal), qiyas, istihsan (anggapan baik), atau ucapan manusia—siapa pun orangnya—, … bahkan, mereka meng-hajr (memutuskan hubungan) dengan pelakunya. Bahkan, generasi pendahulu (salaf) dari umat ini tidaklah membenarkan melainkan wajibnya tunduk, berserah diri, serta mendengar dan taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak pernah terbetik dalam benak-benak salaf untuk tawaqquf (menunda menerima sunnah) hingga ada pengamalan, qiyas (analogi), atau ucapan fulan dan fulan yang mencocoki sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan yang mereka lakukan adalah mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab: 36)[6]

Suatu hari—sebagaimana dikisahkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu—Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan alas kaki. Di tengah shalatnya beliau melepasnya. Seketika itu pula, para sahabat ikut melepas sandal-sandal mereka. Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal-sandal kalian?”

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas alas kaki, kami pun melepas alas kaki-alas kaki kami.”[7]

Demikianlah para sahabat radhiallahu ‘anhum. Dengan segera mereka mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala gerak-geriknya, karena pengagungan mereka terhadap sunnah serta karena keimanan bahwasanya tidak ada kebahagiaan dan keselamatan kecuali dengan mengikuti segala yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Akibat yang Allah subhanahu wa ta’ala Timpakan bagi Pengingkar Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Mengingkari sunnah adalah alamat kebinasaan dan petaka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهَا جَعَلَ الْفَرَاشُ وَهَذِهِ الدَّوَابُّ الَّتي في النَّارِ يَقَعْنَ فِيهَا وَجَعَلَ يَحْجُزُهُنَّ وَيَغْلِبْنَهُ فَيَتَقَحَّمْنَ فِيهَا. قَالَ: فَذَلِكُمْ مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ، أَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ، هَلُمَّ عَنِ النَّارِ، هَلُمَّ عَنْ النَّارِ، فَتَغْلِبُونِي تَقَحَّمُونَ فِيهَا

“Permisalan diriku seperti orang yang menyalakan api. Ketika api telah menyinari apa yang ada di sekelilingnya berdatanganlah serangga-serangga beterbangan mendekati api, sementara orang ini berusaha menghalangi dari api namun hewan-hewan itu (tidak menghiraukan) bahkan menerobosnya, hingga mereka berjatuhan ke dalamnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah permisalan diriku dan diri kalian. Aku mengambil ikat-ikat pinggang kalian untuk menyelamatkan dari neraka, ‘Jauhilah neraka! Jauhilah dari neraka!’ Tetapi kalian (kebanyakan umatku tidak menghiraukanku) bahkan menerobosnya, dan kalian berjatuhan ke dalam neraka.”[8]

Saudaraku, meskipun apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah perkara yang disunnahkan seperti puasa Senin-Kamis, siwak, atau perkara mustahab lainnya, namun yang harus selalu kita ingat dan kita tanyakan pada diri kita adalah, “Siapa yang mengucapkan sabda ini dan dari mana sabda ini bersumber?”

Jawabnya adalah, “Ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bersumber dari wahyu Allah subhanahu wa ta’ala!”

Seorang yang selalu sadar hakikat ini, dia akan jauh dari sikap mengolok-olok ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun itu perkara yang mustahab, dan meskipun dia belum mampu melaksanakannya karena lemahnya iman yang ada pada dirinya.

Namun kini, kita menyaksikan perkara yang menyedihkan. Bukan perkara mustahab saja yang dilecehkan. Bahkan perkara wajib pun menjadi bahan cemoohan. Wanita berkerudung—apa lagi yang bercadar—diejek dan ditertawakan. Sementara wanita-wanita fasik yang tidak berbaju—bahkan di antara mereka wanita-wanita kafir—justru menjadi pujaan. Allahul musta’an, kepada Allah subhanahu wa ta’ala sajalah kita mengadu, dan hanya kepada-Nyalah kita merintih kepedihan ini.

Pelecehan kain di atas mata kaki dan jenggot adalah lembaran lain dari sejumlah kesedihan kita akan jauhnya umat dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun terkadang kita masih memberikan alasan pada kebanyakan kaum muslimin, mungkin mereka tidak tahu bahwa Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam berjenggot lebat. Mungkin mereka tidak paham tatkala membaca Al-Qur’an bahwa jenggot adalah sunnah nabi-nabi sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala tatkala mengisahkan Musa dan Harun ‘alaihimassalam:

قَالَ يَبۡنَؤُمَّ لَا تَأۡخُذۡ بِلِحۡيَتِي وَلَا بِرَأۡسِيٓۖ إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقۡتَ بَيۡنَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَلَمۡ تَرۡقُبۡ قَوۡلِي ٩٤

Harun menjawab, “Wahai putra ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula) kepalaku. Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.” (Thaha: 94)

Hanya doa dan permohonan kepada-Nya, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah atas umat ini dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala muliakan negeri ini dengan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wahai orang-orang yang meremehkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kalian takut akan akibat buruk yang akan menimpa kalian jika tidak segera bertaubat dan kembali kepada jalan yang lurus. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku heran terhadap suatu kaum yang mengerti sanad hadits dan kesahihannya, akan tetapi mereka lebih mengutamakan pendapat Sufyan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣

“… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Kemudian al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi dengan sebab dia menolak sebagian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, muncul dalam hatinya penyimpangan hingga dia binasa karenanya.”[9]

 

Slogan-Slogan yang Mencampakkan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

Berpegang pada sunnah Rasul di zaman yang penuh fitnah ini ibarat seorang menggenggam bara api. Sebagaimana digambarkan dalam hadits Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu.

Pengingkaran terhadap sunnah banyak terjadi di sekitar kita. Qur’aniyun atau kelompok Inkarus sunnah adalah salah satu model para pengingkar sunnah yang jauh-jauh hari telah diperingatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu.

Model pengingkaran sunnah sangat beragam. Ada yang terang-terangan sebagaimana mereka yang tersebut dalam hadits Miqdam radhiallahu ‘anhu. Ada pula pengingkaran terselubung berupa syubhat (kerancuan) dan slogan yang diembuskan di tengah umat untuk menjauhkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sanubari kaum muslimin.

Tetapi anehnya, pengingkaran tersebut seringkali justru terucap dari orang-orang Islam yang ditokohkan atau melalui institusi-institusi yang membawa bendera Islam.

Sesungguhnya, banyak faktor yang mendorong mereka menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah yang berbahaya ini. Boleh jadi karena kebodohan terhadap sunnah, atau mereka telah terbelenggu dalam penjara fanatisme mazhab, atau sengaja mereka korbankan sunnah demi kepentingan politik, atau bahkan ada di antara mereka yang memang menjadi corong orang-orang kafir dan munafik, para pengagung orientalis yang demikian gencar berusaha menjauhkan umat Islam dari sunnah Rasulullahn.

Saudaraku, di kesempatan ini mari kita simak beberapa slogan atau syubhat yang bertujuan mengikis pengagungan sunnah dari diri seorang muslim, yang berujung pada meninggalkan sunnah Rasul. Dengan memohon taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala, syubhat-syubhat tadi akan kita paparkan berikut sebagian dari bantahannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan kita dari makar dan tipudaya setan.

 

Pertama: Mencela sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cara ini ditempuh orang-orang Rafidhah (Syi’ah), munafik, dan yang membebek di belakang mereka. Mereka masih gentar dan takut mencela langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi mereka punya makar yang sangat busuk di tengah-tengah umat yaitu melunturkan kepercayaan umat kepada generasi terbaik, pembawa Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Celaan demi celaan pun dilontarkan kepada para sahabat, terlebih sahabat yang banyak meriwayatkan hadits seperti Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Jika kepercayaan kepada pembawa risalah telah luntur, niscaya akan muncul keraguan terhadap apa yang mereka bawa, Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Untuk menjawab syubhat ini, cukup kita katakan: Para sahabat adalah generasi terbaik yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ridhai dengan nash Al-Qur’an, demikian pula sabda-sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun pencacatan kalian, ini adalah kebatilan.

Bacalah ayat berikut dan silakan kalian memilih untuk beriman atau kafir kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

 

Kedua: Mengedepankan fanatisme kelompok/mazhab daripada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (taqlid).

Penyakit fanatisme kelompok/mazhab seringkali membawa seseorang menolak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terang-terangan menyelisihi paham kelompok dan mazhabnya. Dia enggan atau bahkan risih mengamalkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah jelas kesahihannya, hanya karena tidak ada dalam mazhab atau ucapan imam-imam mazhabnya.

Di antara bantahannya, kita katakan bahwa tidak ada seorang pun yang maksum kecuali para nabi dan rasul. Adapun imam-imam mazhab, mereka tidaklah maksum. Bahkan mereka sendiri telah mengingatkan umat agar membuang pendapat-pendapat mereka jika menyelisihi sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

 

Ketiga: Membuat umat ragu akan kebenaran sanad[11] dan keotentikan kitab-kitab hadits seperti Shahih al-Bukhari.

Orientalis atau pengikut hawa nafsu yang memuja mereka memunculkan syubhat di tengah umat bahwasanya sanad hadits adalah buatan orang belakangan di abad kedua atau ketiga, seperti al-Bukhari dan yang sezaman dengan beliau. Adapun rawi-rawi antara al-Bukhari dan Rasul hanyalah tokoh-tokoh fiktif.

Studi-studi kritis tentang Shahih al-Bukhari pun digelar, tidak lain untuk membawa umat ini meragukan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Shahih al-Bukhari saja dijatuhkan lalu bagaimana dengan kitab-kitab hadits lainnya?

Cukup sebagai bantahan kita katakan bahwa umat Islam telah bersepakat akan kesahihan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun para akademisi yang mencoba-coba mengkritisi kedua kitab ini adalah anak-anak jahil. Siapa mereka dan siapa al-Imam al-Bukhari rahimahullah? Siapa mereka dan siapa al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah?

Adapun sanad, sesungguhnya sejak sahabat masih hidup—di masa tabi’in— sanad telah dipakai untuk menyaring berita yang bersumber dari orang-orang yang jujur atau pendusta. Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Dahulu mereka tidak menanyakan sanad, namun ketika fitnah telah terjadi (yaitu pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu di tahun 35 H, pen.) mereka bertanya, ‘Sebutkan rawi-rawi kalian!’ Untuk dilihat, jika Ahlus Sunnah maka haditsnya diterima, sedangkan jika yang meriwayatkan ahlul bid’ah maka hadits mereka tidak diambil.”[12]

 

Keempat: Perkataan Mu’tazilah, ahli kalam (filsafat), dan yang sepaham dengan mereka bahwasanya hadits ahad[13] tidak dipakai untuk menetapkan aqidah.

Demikian syubhat ini dilontarkan Mu’tazilah dan orang-orang yang mengadopsi kesesatan itu di zaman kita. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “(Bahkan) sebagian ‘da’i-da’i Islam’ pada hari ini, dengan terang-terangan menyatakan tidak bolehnya mengambil perkara aqidah dari hadits-hadits ahad. Bahkan (mereka menyatakan) haram hukumnya!!”[14]

Tidak diragukan dengan syubhat ini, puluhan ribu hadits akan tertolak karena tergolong hadits-hadits ahad. Syubhat ini ibarat rumah laba-laba yang tidak memiliki kekuatan sedikitpun. Cukuplah sebagai bantahannya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu seorang diri ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam, baik aqidah, ibadah, muamalah, atau akhlak.15 Apakah kalian akan mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah karena hanya mengutus Muadz seorang diri? Apakah kalian juga akan mengatakan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam gegabah dengan mengutus Muadz seorang diri mendakwahkan aqidah di tengah-tengah komunitas ahlul kitab?

 

Kelima: Perkataan yang sering terlontar dari mulut sebagian orang bodoh ketika disampaikan kepadanya sebuah hadits, dia berkata, “Ini kan hanya masalah furu’ (cabang), bukan ushul (pokok),” atau berkata, “Ini hanyalah kulit dan bukan inti/buah/substansi.”

Sangat disayangkan ucapan dengan nada meremehkan sunnah ini muncul dari orang-orang yang katanya sudah belajar “Islam”, menyandang titel dan gelar akademik doktor atau profesor. Hendaknya mereka mengaca kepada sahabat ketika mereka dengan serta-merta melepas sandal-sandal mereka tatkala melihat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melepasnya. Demi Allah! Tidak terbetik sedikitpun dalam diri sahabat perkataan, “Ini furu’ bukan ushul!”

Kaum muslimin, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita. Demikian sebagian syubhat yang diembuskan setan untuk menggeserkan kaki-kaki manusia dari ittiba’ (mengikuti) sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah dari jerat-jerat setan tersebut. Sabarlah dalam menegakkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dada-dada ini. Sesungguhnya saat berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala telah dekat!! Masing-masing kita akan ditanya, sudahkah kita memenuhi seruan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam?

وَيَوۡمَ يُنَادِيهِمۡ فَيَقُولُ مَاذَآ أَجَبۡتُمُ ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٦٥

Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, “Apakah jawabanmu kepada para rasul?” (al-Qashash: 65)

Walhamdulillahi Rabill ‘alamin. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.


[1] Beliau adalah Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman bin al-Fadhl bin Bahram ad-Darimi. Ad-Darimi merupakan nisbat kepada Bani Darim bin Malik. Beliau lahir pada tahun 181 H dan wafat 255 H, setahun sebelum wafatnya al-Bukhari.

[2] Dalam Sunan Abi Dawud (5/12 no. 4605), al-Musnad (6/8).

[3] Al-Baghawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat ini adalah orang-orang hidup mewah, senantiasa berada di rumah mereka dan tidak mau menuntut ilmu. (at-Taisir bi Syarhil Jami’ ash-Shaghir, al-Munawi)

[4] Beliau adalah ‘Imran bin Hushain bin ‘Ubaid al-Khuza’i, Abu Nujaid radhiallahu ‘anhu. Masuk Islam pada tahun Khaibar (7 H) dan meninggal tahun 52 H di Bashrah.

[5] Menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim terwujud dengan mendatangi beliau di kala hidupnya dan kembali kepada sunnahnya sesudah wafatnya.

[6] Lihat I’lamul Muwaqi’in (3/46)

[7] Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dalam As-Sunan “Kitab ash-Shalah” no. 650

[8] HR. Muslim dalam ash-Shahih, “Kitabul Fadha’il” (no. 2284) dan Ahmad dalam al-Musnad (no. 2733) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.

[9] Ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah ini dinukil Syaikhul Islam rahimahullah dalam Kitabut Tauhid alladzi Huwa Haqqullah ‘alal ‘Abid.

[10] Silakan lihat riwayat-riwayat al-Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah di Muqaddimah Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah hlm. 45—55.

[11] Sanad adalah rantai periwayat-periwayat hadits yang menghubungkan kepada nash hadits. Silakan buka kembali Asy-Syariah Vol. VI/No. 61/1431 H/2010 “Terjaganya Kemurnian Islam” yang membahas secara rinci tentang ilmu sanad.

[12] Diriwayatkan al-Imam Muslim rahimahullah dalam Muqaddimah Shahih-nya (1/13)

[13] Yaitu hadits yang diriwayatkan satu, dua, tiga orang, atau lebih selama tidak mencapai derajat mutawatir.

[14] Al-Hadits Hujjatun Binafsihi fil ‘Aqaidi wal Ahkam, al-Albani, hlm. 38.

inkarus sunnahpengingkar sunnahsunnah nabisunnah rasul