(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Bagaimana takkan meluap amarah ‘Umar bin Al-Khaththab z, manakala mengetahui saudari kandungnya telah keluar dari agama nenek moyangnya, dan memilih beriman kepada Muhammad r. Sementara dirinya memerangi agama Muhammad r. Namun ternyata suatu saat, keimanan wanita itu membuka pintu hati ‘Umar bin Al-Khaththab z untuk menerima cahaya kebenaran.
Wanita itu bernama Fathimah bintu Al-Khaththab bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razzah bin ‘Adi bin Ka’b x. Ibunya bernama Hantamah bintu Hasyim bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum. Dia adalah saudari kandung ‘Umar bin Al-Khaththab z. Dia dipersunting oleh seorang pemuda bernama Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail z.
Ketika Rasulullah r mulai menyeru manusia untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan mentauhidkan Allah I semata, Fathimah bintu Al-Khaththab x bersama suaminya menyambut seruan itu. Mereka berdua masuk Islam sebelum Rasulullah r memulai dakwah beliau di kediaman Al-Arqam bin Abil Arqam. Seperti halnya kaum muslimin yang lain pada saat itu, Fathimah dan suaminya pun menyembunyikan keislaman mereka, karena khawatir akan gangguan kaum musyrikin. Ketika itu, seorang shahabat, Khabbab bin Al-’Arat z biasa mendatangi Fathimah dan suaminya untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur`an yang diturunkan.
Suatu hari, ‘Umar bin Al-Khaththab keluar dengan menghunus pedangnya untuk membunuh Rasulullah z dan para shahabat beliau. Dia diberitahu bahwa mereka tengah berkumpul di sebuah rumah di bukit Shafa. Jumlah mereka sekitar 40 orang laki-laki dan perempuan. Di antara mereka ada paman Rasulullah r , Hamzah bin ‘Abdil Muththalib, Abu Bakr bin Abi Quhafah Ash-Shiddiq, dan Ali bin Abi Thalib g. Saat itu, para shahabat masih tinggal bersama Rasulullah r, belum ada yang berangkat hijrah ke negeri Habasyah.
Di tengah jalan, ‘Umar bertemu Nu’aim bin ‘Abdillah, salah seorang dari Bani ‘Adi bin Ka’b1 yang telah masuk Islam namun masih menyembunyikan keislamannya. Nu’aim bertanya, “Hendak ke mana engkau, ‘Umar?” “Aku ingin mencari Muhammad, orang yang murtad dari agamanya itu, yang telah memecah belah Quraisy, membodoh-bodohkan mereka, menghina agama mereka dan mencaci maki sesembahan mereka! Aku ingin membunuhnya!”
Mendengar jawaban ‘Umar, Nu’aim pun berkata, “Engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai ‘Umar! Apakah engkau mengira Bani ‘Abdi Manaf2 akan membiarkanmu berjalan di atas bumi ini, sementara engkau telah membunuh Muhammad? Mengapa engkau tidak melihat keluargamu sendiri dan mengurusi mereka?” kata Nu’aim. “Siapa keluargaku?” “Iparmu, Sa’id bin Zaid bin ‘Amr, dan adikmu, Fathimah bintu Al-Khaththab. Demi Allah, mereka berdua telah masuk Islam dan mengikuti Muhammad. Urusilah mereka!”
Betapa terkejutnya ‘Umar. Segera dia kembali menemui saudari serta iparnya. Ketika itu, Khabbab bin Al-Arat z sedang bersama mereka membawa shahifah3 yang di dalamnya tertulis surah Thaha yang dia bacakan kepada Fathimah dan suaminya. Begitu mendengar suara ‘Umar, Khabbab pun segera bersembunyi di salah satu ruangan dalam rumah itu. Fathimah pun mengambil shahifah itu dan menyembunyikannya di balik pahanya. Ternyata saat mendekat ke rumah, ‘Umar sempat mendengar bacaan Khabbab. Ketika masuk, dia pun bertanya, “Suara bisik-bisik apa yang kudengar tadi?” Mereka berdua menjawab, “Engkau tidak mendengar apa pun!” ‘Umar pun menukas, “Iya! Demi Allah, aku telah diberi tahu bahwa kalian berdua mengikuti agama Muhammad.”
Tangan ‘Umar melayang memukul iparnya, Sa’id bin Zaid. Bangkitlah Fathimah untuk mencegah ‘Umar hingga akhirnya pukulan ‘Umar pun mengenainya. Kepala Fathimah terluka, darah pun mengucur dari luka itu. Saat itu, Fathimah berkata, “Ya, kami telah masuk Islam dan kami telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lakukanlah apa pun yang engkau mau!”
Menyaksikan darah mengucur dari luka adik perempuannya, ‘Umar pun menyesal. Dia pun berkata, “Berikan padaku shahifah yang baru saja kudengar kalian membacanya. Aku ingin melihat apa yang dibawa oleh Muhammad.” “Aku khawatir engkau akan merusaknya,” jawab Fathimah. “Jangan khawatir,” kata ‘Umar. Dia pun berjanji akan mengembalikan shahifah itu kepada Fathimah seusai membacanya. Mendengar ucapan ‘Umar, muncullah keinginan Fathimah agar ‘Umar masuk Islam. Dia pun berkata pada ‘Umar, “Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau najis di atas kesyirikanmu, dan tidak pantas menyentuh shahifah ini.” ‘Umar pun segera bangkit untuk mandi. Lalu Fathimah memberikan shahifah yang tertulis di dalamnya surat Thaha itu padanya. ‘Umar membacanya. Tatkala membaca awal surat Thaha itu, ‘Umar berucap, “Alangkah bagusnya ucapan ini! Alangkah mulianya!”
Mendengar ucapan ‘Umar, Khabbab keluar dari persembunyiannya menemui ‘Umar sembari mengatakan, “Wahai ‘Umar! Demi Allah, sungguh aku mengharapkan agar Allah mengkhususkanmu dengan doa Nabi-Nya. Karena kemarin aku mendengar beliau berdoa, ‘Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai, Abu Jahal atau ‘Umar bin Al-Khaththab’.”
“Wahai Khabbab, tunjukkan padaku di mana Muhammad agar aku bisa mendatanginya,” pinta ‘Umar. “Beliau ada di salah satu rumah di bukit Shafa bersama para shahabatnya.”
‘Umar pun segera mengambil pedangnya serta menghunusnya, kemudian menuju tempat Rasulullah z dan para shahabatnya berada. Sesampai di sana, ‘Umar menggedor pintu rumah itu. Mendengar suara ‘Umar, salah seorang shahabat bangkit dan mengintip dari celah-celah pintu. Dia melihat ‘Umar dengan pedang terhunus. Cepat-cepat dia kembali menemui Rasulullah n sambil ketakutan, “Wahai Rasulullah, itu ‘Umar dengan pedang terhunus!”
Hamzah bin ‘Abdil Muththalib z berujar, “Izinkan dia masuk. Kalau dia datang untuk menginginkan kebaikan, kita akan berikan kepadanya. Kalau dia menginginkan kejelekan, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri.” Rasulullah r bersabda, “Izinkan dia.” Lalu Rasulullah r bangkit menghadapinya. Beliau mencengkeram ujung rida` ‘Umar dan menariknya dengan cengkeraman yang kuat sembari mengatakan, “Untuk apa engkau datang, wahai Ibnul Khaththab? Demi Allah, aku lihat engkau tidak juga berhenti sampai Allah turunkan bencana padamu.”
“Wahai Rasulullah,” kata ‘Umar, “Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, juga kepada apa yang datang dari sisi Allah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah r dan orang-orang yang ada di dalam rumah itu pun bertakbir hingga takbir mereka terdengar oleh orang-orang yang ada di Masjidil Haram. Keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab t pun disambut dengan penuh suka cita oleh para shahabat. Mereka mengetahui, dengan keislaman ‘Umar setelah keislaman Hamzah, mereka akan semakin kokoh. Karena mereka berdua akan membela Rasulullah n dan bersama kaum muslimin menghadapi musuh mereka dari kalangan musyrikin.
Inilah sepenggal kisah hidup seorang wanita mulia, yang melalui dirinya Allah I ….
bersambung ke hal. 94
…….bukakan pintu hati seorang laki-laki mulia untuk menerima Islam, yang begitu berarti bagi Rasulullah r dan seluruh kaum muslimin. Fathimah bintu Al-Khaththab, semoga Allah I meridhainya ….
Sumber Bacaan:
v Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/62)
v Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1892)
v As-Sirah An-Nabawiyyah, karya Al-Imam Ibnu Hisyam (2/187-190)
v Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/267)
v Mukhtashar Siratir Rasul, karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 93-94)
Catatan Kaki:
1 Bani ‘Adi bin Ka’b adalah kabilah ‘Umar bin Al-Khaththab z
2 Bani ‘Abdi Manaf adalah kabilah Rasulullah n
3 Lembaran-lembaran Al-Qur`an