Menghilang tanpa kabar dalam suatu hubungan lebih populer dengan istilah ghosting. Bagaimana tinjauan syariat Islam terkait dengan hal ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu kita harus mengetahui status hubungan antara pelaku ghosting dan orang yang ditinggalkan.
Jika hubungan keduanya adalah hubungan kekerabatan, secara umum tidak sepantasnya hal terjadi. Sebab, hal ini akan menjadi beban pikiran keluarga yang ditinggalkan. Bisa jadi, hukumnya haram, yaitu ketika seseorang menghilang dengan sengaja atau tanpa sebab, dalam keadaan dia memiliki kewajiban dan tanggung jawab nafkah bagi yang ditinggalkan. Apalagi jika hal tersebut menyebabkan terputusnya hubungan silaturahim.
Baca juga: Makna Menyambung Silaturahim akan Memanjangkan Umur
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
فَقَالَ اللَّهُ: مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
Allah subhanahu wa ta’ala berkata (kepada rahim/silaturahim), “Barang siapa menyambung hubunganmu, Aku akan menyambungnya. Barang siapa memutus hubunganmu, Aku juga akan memutusnya.” (HR. al-Bukhari no. 2554 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Sampai-sampai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidak akan masuk surga, pemutus silaturahmi.” (HR. al-Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556)
Demikian pula halnya jika hubungan keduanya adalah suami istri. Sebab, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban.
Baca juga: Hak Suami Istri
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan baik.” (an-Nisa: 19)
Lebih buruk lagi jika yang sengaja menghilang adalah istri. Perbuatan ini termasuk nusyuz (meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya). Padahal sekadar seorang istri menolak datang ke tempat tidur suami sehingga menyebabkan suami marah, akan menyebabkan malaikat melaknat istri sampai pagi. (HR. al-Bukhari no. 3237 dan Muslim no. 1436 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Permasalahan Rumah Tangga, Sebuah Kemestian
Ada pula ghosting yang terjadi dalam hubungan asmara atau pacaran tanpa ikatan pernikahan. Istilah ghosting (menghilang) di masyarakat lebih populer terkait dengan hubungan seperti ini. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa hubungan seperti ini dilarang oleh Islam karena akan menyeret pada perbuatan zina. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra: 32):
Baca juga: Katakan Tidak Untuk Pacaran
Maka dari itu, tidak ada salahnya pihak laki-laki menghilang (ghosting) dari teman perempuannya dengan maksud memutuskan hubungan yang terlarang tersebut karena takut dosa, ketika dia tidak menemukan cara lain untuk keluar dari hubungan tersebut. Tentunya akan lebih baik jika hubungan tersebut disahkan dengan proses pernikahan apabila hendak dilanjutkan. Atau diputuskan dengan cara yang terbaik, di antaranya ialah dengan mengungkapkannya secara terus terang.
Adapun jika ghosting dilakukan ketika seseorang sudah dalam proses lamaran, tanpa ada kejelasan diputuskan atau dilanjutkan, hal ini tidak sepantasnya terjadi. Sebab, dia telah mengecewakan pihak yang dilamar dan keluarganya. Selain itu, perbuatan tersebut juga mengandung unsur kezaliman.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Takutlah kalian dari perbuatan zalim. Sebab, kezaliman merupakan kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 2578)
Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat
Wallahu a’lam bish-shawab.