Pertanyaan:
Bagaimana dengan daging yang dijual di pasar, yang kita tidak tahu proses penyembelihannya dengan mengucapkan tasmiyah (basmalah) atau tidak? Sebab, ada orang yang menyembelih tanpa mengucapkan apa pun. Bahkan, ada ayam yang sudah mati (bangkai) kemudian juga dijual sebagai ayam potong di pasar.
(Hadi Prasetyo, via email)
Jawaban:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Hukum Membaca Basmalah Saat Penyembelihan
Tasmiyah ialah ucapan ‘bismillah’ pada proses penyembelihan ketika hendak menggerakkan pisau di leher binatang yang disembelih. Hukumnya wajib, bahkan merupakan syarat sahnya penyembelihan.
Apabila seseorang sengaja tidak membaca tasmiyah saat penyembelihan padahal dia telah mengetahui hukumnya, dia berdosa. Binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram.
Apabila seseorang tidak membacanya karena lupa atau kejahilan/ketidaktahuan tentang hukum tersebut, dia tidak berdosa. Namun, penyembelihan yang dilakukannya tidak sah sehingga binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram dikonsumsi.
Dia tidak berdosa berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban karena jahil (tidak tahu hukum) atau karena lupa, dia mendapatkan uzur yang dengannya dia tidak berdosa. Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (al-Baqarah: 286)
Adapun penyembelihan yang dia lakukan dianggap tidak sah karena membaca tasmiyah merupakan syarat sahnya penyembelihan. Dasarnya adalah
-
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ
“Maka makanlah binatang-binatang sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya (saat menyembelihnya).” (al-An’am: 118)
-
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah atasnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kefasikan.” (al-An’am: 121)
-
Hadits Rafi’ bin Khadij radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Alat apa saja yang mengalirkan darah (binatang sembelihan) dan dibacakan nama Allah atasnya, makanlah (sembelihan itu), selama alat itu bukan gigi atau kuku. Adapun gigi, karena gigi adalah tulang, sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah.” (HR. al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa binatang yang halal untuk dimakan adalah yang disembelih dengan membaca tasmiyah atasnya. Demikian pula, binatang yang disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya adalah haram untuk dimakan, dan memakannya adalah kefasikan, tanpa membedakan apakah tidak membaca tasmiyah dengan sengaja atau tidak sengaja.
Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (35/239—240), al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (7/481, 484—485), dan guru kami al-Allamah Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam Ijabatus Sa’il (hlm 668).[1]
Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengetahui bahwa binatang itu adalah bangkai atau disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya, dia tidak boleh memakan daging tersebut.
Apabila Tidak Diketahui Membaca Basmalah Atau Tidak
Adapun ketidaktahuan kita akan proses penyembelihan yang dilakukan oleh saudara kita sesama muslim, apakah dia membaca tasmiyah atau tidak, apakah daging itu sembelihan atau bangkai, tidak menghalangi kita untuk membeli dan memakannya.
Fatwa Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa (35/240),
“Jika seseorang mendapatkan daging hasil sembelihan orang lain, dia boleh memakannya dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala atasnya, dengan dasar menganggap amalan kaum muslimin sebagai amalan yang sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Hal ini telah tsabit (tetap) dalam ash-Shahih[2],
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
Suatu kaum berkata (kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam datang membawa daging (untuk kami). Kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya ataukah tidak.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya[3], kemudian makanlah.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata (35/240), “Jika seseorang tidak mengetahui, apakah yang menyembelih menyebut nama Allah atasnya atau tidak, dia boleh memakan daging sembelihan itu. Jika dia yakin (mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama Allah atasnya, janganlah dia memakannya.”
Fatwa dan Penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin
Semakna dengan ini adalah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (7/481—482) setelah menyebutkan hadits Aisyah radhiallahu anha di atas,
“Sebab, seseorang dituntut untuk membenarkan amalan yang dilakukannya. Dia tidak dituntut untuk mengurusi sah tidaknya amalan orang lain. Apabila suatu amalan dikerjakan oleh ahlinya, hukum asalnya adalah amalan itu sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya.
Jadi, kita mengatakan, ‘Janganlah kalian memakan binatang yang tidak dibacakan nama Allah atasnya.’ Jika kita memakan daging yang tidak dibacakan nama Allah atas penyembelihannya dalam keadaan lupa atau tidak tahu akan hal itu, kita tidak berdosa. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (al-Baqarah: 286)
Namun, jika kita mengetahui bahwa sembelihan ini tidak dibacakan nama Allah atasnya, kita tidak boleh memakannya.”
Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
Begitu pula fatwa al-Allamah Muqbil al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 668) setelah menyebutkan hadits Aisyah di atas,
“Kita mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah jika seorang muslim menyembelih binatang dan menghadiahkan dagingnya kepadamu, sedangkan engkau tidak tahu apakah dia membaca tasmiyah atas penyembelihannya atau tidak; hukum asal pada diri seorang muslim adalah membaca tasmiyah.
Namun, jika engkau yakin bahwa dia tidak membaca tasmiyah, yang tampak dalam masalah ini ialah engkau tidak boleh memakannya. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Dia akan memberi ganti yang lebih baik. Wallahul musta’an.”
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah KSA
Demikian pula fatwa al-Lajnah ad-Daimah dalam Fatawa al-Lajnah (22/367) setelah menyebutkan hadits Aisyah radhiallahu anha di atas,
“Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim menyembelih binatang, amalannya dianggap sebagai penyembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah meskipun masuk Islamnya belum lama. Hal ini dalam rangka berbaik sangka kepadanya. Maka dari itu, halal bagi seseorang untuk memakan daging sembelihannya.
Janganlah dia membebani diri untuk menyelidiki proses penyembelihannya, apakah dia menyebut nama Allah atau tidak. Yang disyariatkan baginya hanyalah semata-mata menyebut nama Allah ketika hendak memakannya, dalam rangka melaksanakan syariat yang dibebankan ketika hendak makan. Tidak perlu mencari tahu tentang penyebutan nama Allah atasnya saat penyembelihan.”
Apabila Ada Informasi Proses Sembelihan Tidak Sesuai Syariat
Tersisa satu masalah terkait dengan hal ini. Apabila tersebar informasi bahwa sebagian daging yang dijual di pasar adalah bangkai atau daging yang proses penyembelihannya tidak sesuai syariat, sementara tidak ada kejelasan/kepastian tentang kebenaran informasi itu sehingga tidak meyakinkan. Namun, menurut sebagian orang, informasi itu kuat sehingga menjadi syubhat dan menimbulkan prasangka kuat pada diri mereka bahwa hal itu benar.
Dalam hal ini mereka wajib bertanya dan meminta informasi yang jelas dan tepercaya ketika hendak membeli daging agar mendapatkan daging yang benar-benar diyakini halal. Hal ini dalam rangka mengamalkan hadits,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasai, al-Hakim, dan yang lainnya, dari al-Hasan bin Ali radhiallahu anhu; dinilai sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa [1/44] dan al-Wadi’i dalam ash-Shahihul Musnad [1/222]).
Bimbingan Syaikh Al-Albani
Yang serupa dengan ini adalah fatwa al-Allamah al-Albani rahimahullah ketika ditanya tentang suatu negeri yang dikenal mengimpor daging-daging sembelihan dari Eropa[4]. Diduga kuat bahwa proses penyembelihannya tidak sesuai syariat. Sementara itu, daging-daging tersebut dijual di pasar bercampur dengan daging-daging sembelihan lokal yang sesuai syariat, tanpa bisa dibedakan. Apakah seorang muslim wajib menanyakan sumber pengambilan daging yang hendak dibelinya kepada pihak yang tepercaya?
Beliau rahimahullah menjawab,
“Selama ada prasangka kuat—sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan—bahwa daging-daging itu tidak disembelih dengan proses penyembelihan yang sesuai syariat, dia wajib bertanya. Demikian pula, dibangun atasnya hukum tidak memenuhi undangan makan apabila diundang untuk menghadiri jamuan yang menyajikan daging seperti ini. Bahkan, tidak boleh menghadirinya.
Bertanya yang tidak disyariatkan sehingga tidak disukai—sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa atsar—adalah yang dipicu oleh rasa waswas[5]. Adapun bertanya yang didasari oleh prasangka kuat bahwa daging itu bukan sembelihan yang halal menurut syariat karena bukan sembelihan kaum muslimin, itu tidak termasuk waswas. Itu termasuk dalam bab pengamalan hadits,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat al-Hawi min Fatawa al-Albani (hlm. 370-371).
Penjelasan Al-Lajnah Ad-Daimah KSA
Al-Lajnah ad-Daimah pernah dimintai fatwa tentang daging-daging sembelihan yang diimpor oleh negara Arab Saudi dari negara-negara kafir dari jenis ahli kitab. Sebab, tersebar isu bahwa proses penyembelihannya tidak sesuai syariat.
Al-Lajnah ad-Daimah menjelaskan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah halal, kecuali jika ada alasan yang tsabit (pasti) yang menggesernya dari hukum asal menjadi haram. Informasi yang tersiar mengenai status daging-daging sembelihan itu masih tetap saja simpang siur tanpa ada kejelasan yang meyakinkan. Oleh karena itu, pihak Kementerian Perdagangan Kerajaan Arab Saudi masih tetap mengingkari dengan keras isu yang tersiar bahwa daging-daging itu adalah hasil penyembelihan yang tidak sesuai syariat.
Selanjutnya, al-Lajnah ad-Daimah berkata,
“Berdasarkan hal ini, isu yang tersiar itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengubah hukum makanan-makanan impor tersebut dari hukum asalnya, yaitu halal, menjadi haram.
Adapun daging-daging yang diimpor dari negara-negara komunis dan semacamnya dari kalangan bangsa-bangsa kafir selain kaum muslimin dan ahli kitab, hukumnya adalah haram. Sebab, sembelihan-sembelihan mereka statusnya bangkai.
Meskipun demikian, barang siapa meragukan kehalalan makanan-makanan impor tersebut hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Fatawa al-Lajnah (22/400—402).
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] Pendapat yang lain mengatakan bahwa apabila lupa membaca tasmiyah, sembelihannya sah dan halal untuk dimakan (-pen.).
[2] Shahih al-Bukhari no. 2057 dan 5507.
[3] Membaca ‘bismillah’ (-pen.).
[4] Mayoritas mereka adalah kaum kafir dari kalangan ahli kitab. Apabila proses penyembelihan yang mereka lakukan sesuai dengan syarat-syarat penyembelihan yang syar’i, sembelihan mereka halal berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمۡ
“Dan sembelihan orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab) halal bagi kalian.” (al-Maidah: 5)
Hukum asal sembelihan mereka adalah halal seperti halnya sembelihan kaum muslimin. Jika diketahui bahwa sembelihan mereka tidak memenuhi syarat-syarat penyembelihan yang syar’i, sembelihan itu berstatus bangkai yang haram dikonsumsi. Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (22/397) dan asy-Syarhul Mumti’ (7/488—490). (-pen.)
[5] Keraguan dan prasangka lemah yang tidak beralasan. (-pen.)