(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Wanita yang ditimpa istihadhah hukumnya sama dengan wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali dalam hal berikut:
Pertama: Bila ingin berwudhu wanita yang mengalami istihadhah mencuci kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.
Kedua: Dalam hal berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah, diperselisihkan boleh tidaknya di kalangan ulama. (Risalah fid Dima‘ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa‘, hal. 50)
Jumhur ulama berpandangan, boleh berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah. Sementara ada yang berpendapat tidak boleh kecuali bila masa istihadhahnya panjang dan ada yang tidak membolehkan sama sekali karena menyamakan istihadhah dengan haidh. Namun pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena tidak didapati riwayat dari Rasulullah r yang berisi larangan itu, sementara banyak wanita yang mengalami istihadhah pada masa beliau. Seandainya hal itu merupakan syariat Allah U, niscaya Nabinya r akan menerangkannya kepada para suami yang istri-istrinya ditimpa istihadhah dan akan dinukilkan hal itu kepada kita sebagai penjagaan terhadap syariat ini.
Selain itu ada ayat Allah I yang umum:
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian maka datangilah ladang itu sekehendak kalian.” (Al-Baqarah: 223)
Al-Imam Al-Bukhari t membawakan ucapan Abdullah Ibnu ‘Abbas c dalam kitab Shahih-nya yang maknanya bahwa wanita istihadhah boleh digauli oleh suaminya sebagaimana dibolehkan baginya untuk shalat, sementara shalat itu perkara yang lebih agung. (Shahih Al-Bukhari, Kitabul Haidh, bab “Apabila wanita istihadhah melihat dirinya telah suci dari haidh”)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t ketika menjelaskan ucapan Ibnu ‘Abbas c ini, berkata: “Yakni bila si wanita yang istihadhah dibolehkan shalat, maka lebih utama lagi dibolehkan berjima’ dengannya karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima’.” (Fathul Bari, 1/535)
Bila ada yang memasukkan darah istihadhah dalam firman Allah I:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah darah haidh itu adalah kotoran.” (Al-Baqarah: 222)
Maka kita katakan bahwa kata ganti (dhamir): () dalam ayat di atas menunjukkan pengkhususan, yakni darah haidh itu kotoran bukan yang lainnya. Dan di sini tidak diterima qiyas (analogi) karena adanya perbedaan antara darah haidh dengan darah istihadhah () pada kebanyakan hukumnya. Demikian diterangkan Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/440).
Karena wanita istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci, maka tidak ada kewajiban mandi baginya setiap akan menunaikan shalat. Demikian pendapat jumhur ulama yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim (4/19) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (1/533). Adapun perbuatan Ummu Habibah x yang mandi setiap kali akan shalat sebagaimana riwayatnya dibawakan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 334), hal itu merupakan ijtihad Ummu Habibah semata, bukan perintah yang datangnya dari Nabi r.
Demikian pula berwudhu setiap akan shalat, tidak ada perintahnya dari Nabi r. Adapun hadits:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu, hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim no. 333)
dengan tambahan perintah berwudhu () setelah perintah mencuci darah (sebagaimana disebutkan dalam riwayat An-Nasa`i dari jalan Hammad bin Zaid) maka tambahan ini dilemahkan oleh ahli ilmu. (Lihat Syarah Muslim, 4/22).
Yang wajib dilakukan wanita istihadhah hanyalah mandi ketika selesai masa haidhnya, meski darah terus mengalir. Hal ini merupakan perkara yang disepakati, kata Al-Imam An-Nawawi t. (Syarah Muslim, 1/25)
Beliau t menyatakan, dalam hal ibadah shalat, puasa, i’tikaf, membaca Al Qur`an, menyentuh mushaf dan membawanya, sujud tilawah dan sujud syukur, maka wanita istihadhah sama dengan wanita suci dalam kebolehannya dan hal ini merupakan perkara yang disepakati pula. (Syarah Muslim, 4/17)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.