السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Qishash atas pembunuh, adalah salah satu syariat Islam yang terus saja direcoki oleh para pegiat HAM. Hukuman mati, oleh mereka, dianggap kejam, tidak sesuai dengan standar HAM. Dari sini, kerancuan para “intelektual” itu dimulai. Mereka demikian getol membela “HAM” pembunuh, tetapi justru melupakan hak-hak hidup manusia yang telah dibunuh. Lebih-lebih jika vonis hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, tentu sangat melukai keluarga korban.
Bagaimana pula dengan hak-hak keluarga korban, jika yang terbunuh adalah tulang punggung keluarga? Bagaimana pula jika pelaku adalah pembunuh (bayaran) yang tak kunjung jera, berapa banyak nyawa manusia terancam dengan keberadaannya?
Dari sisi pelaku kejahatan, bisa jadi syariat Islam sangat menakutkan mereka. Namun, sejatinya syariat Islam sangat mengayomi dan memberi rasa adil kepada manusia yang lain. Bahkan, syariat Islam dengan ketegasannya terhadap pelaku kejahatan—mencegah terjadinya kejahatankejahatan lain karena hukum Islam mampu memberi efek jera bagi pelaku dan “caloncalon” pelaku.
Alhasil, syariat Islam mampu melakukan pencegahan kolektif dengan memberikan rasa aman terhadap masyarakat luas sebagai potensi korban. Di sisi lain, Islam juga amat ketat dalam menerapkan hukuman. Misalnya, potong tangan atas pencuri, dibutuhkan kesaksian yang meyakinkan dengan mempersyaratkan nilai nominal tertentu. Tidak bisa hanya mencuri beberapa ribu rupiah misalnya atau dilatarbelakangi rasa lapar, seorang pencuri lantas dipotong tangan.
Demikian juga dengan pelaku zina, hukum rajam hanya diterapkan kepada pelaku zina yang sudah menikah, itu pun jika bisa menghadirkan empat saksi. Dalam hal vonis atas pembunuh, Islam juga memberi opsi lain, yakni diyat (tebusan) atau memaafkan—jika disetujui oleh salah satu keluarga korban. Demikian juga pihak eksekutor, bukanlah individu, melainkan pemerintah atau lembaga berwenang yang mewakili negara.
Jelaslah, betapa minimnya yang akan terkena hukum ini. Betapa indahnya hukum Islam, hukum yang ditetapkan oleh Allah yang menciptakan manusia itu sendiri. Hukum yang mengandung keadilan. Tidak seperti hukum buatan manusia yang bisa dibeli dengan harga yang sangat murah. Tak hanya itu, Islam bahkan menjadi rahmat bagi pelaku, karena hukuman di dunia itu bisa menggugurkan dosanya di akhirat nanti.
Selain ranah pidana, dalam literatur sejarah, Islam juga menjadi bulan-bulanan penyesatan opini. Berbagai referensi sejarah mengisahkan perang demi perang dalam Islam secara tidak berimbang. Apa penyulutnya, pengkhianatan, dan pembatalan perjanjian damai oleh musuh, diabaikan begitu saja.
Padahal perang dalam Islam juga tidak membela suku atau bangsa tertentu, bukan soal perebutan takhta, wanita, pengaruh, atau sekadar minyak bumi, melainkan demi membela agama Allah l. Juga bukan perang barbar layaknya suku-suku primitif, melainkan dipenuhi kasih sayang karena dipagari oleh banyak aturan, seperti larangan membunuh wanita dan anak-anak, larangan membunuh pendeta yang sedang beribadah di tempat ibadahnya, tidak memaksa tawanan untuk masuk Islam, tidak pula memaksauntuk membayar jizyah yang tinggi, dsb.
Bandingkan ketika Eropa di bawah cengkeraman Kepausan yang Katholik, betapa banyak penyesat (Protestan), yang dibantai oleh Katholik yang konon katanya sangat mencintai kasih dan perdamaian? Protestan pun setali tiga uang. Negara-negara Protestan seperti Belanda dan Inggris berlomba dengan Katholik (Spanyol dan Portugis) menyulut peperangan di seluruh dunia dengan menjajah negara-negara lain. Berapa juta nyawa rakyat pribumi yang dibantai mereka?
Negara-negara kafir, yang dipuja-puji setinggi langit oleh para pegiat HAM, nyatanya juga menerapkan hukuman mati,bahkan itu bukan sesuatu yang baru. Berabad abad silam di Eropa, orang sudah mengenal beragam hukuman mati melalui pelbagai alat penyiksaan yang sangat sadis. Sementara itu, cara hukuman mati dalam Islam, yakni pancung (penggal kepala), justru jauh dari sifat menyiksa. Pertanyaannya sekarang, agama mana yang penuh kasih dan sayang?
Oleh karena itu, mari kita pelajari Islam lebih dalam, agar kita tidak menjadi corong propaganda nonmuslim, yang dengan gegabah memvonis Islam itu kejam.