Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku,
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّ ةَالَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا فَإِنْ أَنْتَ أَدْرَكْتَهُمْ فَصَلِّ الصَّ ةَالَ لِوَقْتِهَا-وَرُبَّمَا قَالَ: فِي رَحْلِكَ-ثُمَّ ائْتِهِمْ فَإِنْ وَجَدْتَهُمْ قَدْ صَلُّوا كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُمْ لَمْ يُصَلُّوا صَلَّيْتَ مَعَهُمْ فَتَكُونُ لَكَ نَافِلَةً.
“Wahai Abu Dzar, sungguh akan muncul di tengah kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya. Jika engkau dapatkan mereka, shalatlah engkau pada waktunya.’ -atau beliau mengatakan-, ‘Shalatlah di rumahmu, kemudian datangilah mereka. Jika kalian dapatkan mereka sudah selesai menunaikan shalat, engkau telah tunaikan shalat sebelumnya. Seandainya engkau dapatkan mereka belum shalat, shalatlah bersama mereka dan shalat itu adalah nafilah (sunnah) bagimu’.”
Takhrij Hadits
Hadits Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah dalam al-Musnad (5/169) melalui jalan Isma’il bin Ibrahim bin Miqsam yang dikenal dengan Ibnu ‘Ulayyah, dari Shalih bin Rustum Abu ‘Amir al-Khazzaz, dari Abu‘Imran al-Jauni, dari Abdullah bin Shamit dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (1/448 no. 648), Abu Dawud dalam Kitab Shalat bab “Idza Akhkhara al-Imam ash-Shalah ‘anil Waqti” (“Jika Imam mengakhirkan Shalat dari Waktunya”) no. 431, at-Tirmidzi (1/232 no. 176), an-Nasai no. 858, Ibnu Majah no. 1257, ad-Darimi no. 1229 bab “ash-Shalah Khalfa man Yuakhkhiru ash-Shalah ‘an Waqtiha” (“Shalat di Belakang Orang yang Mengakhirkan Shalat dari Waktunya), dan ath-Thahawi (1/263), semua meriwayatkan melalui jalan Abu ‘Imranal-Jauni dari Abdullah bin ash-Shamit dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Tentang hadits ini, at-Tirmidzi rahimahullah berkata,“Haditsun hasanun (hadits ini hasan).” Beliau juga berkata, “Dan dalam bab ini diriwayatkan pula dari Abdullah bin Mas’ud dan ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu.”
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu memiliki banyak syawahid sebagaimana disebutkan oleh at-Tirmidzi, di antaranya,
Pertama: Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Majah secara marfu’, diriwayatkan pula secara mauquf oleh al-Imam Ahmad dan Muslim. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم : كَيْفَ بِكُمْ إِذَا أَتَتْ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُصَلُّونَ الصَّلاَةَ لِغَيْرِ مِيقَاتِهَا؟ قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ، يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : صَلِّ الصَّلَاةَ لِمِيقَاتِهَا، وَاجْعَلْ صَلَاتَكَ مَعَهُمْ سبحة.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, ‘Apa yang kalian lakukan seandainya datang kepada kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat, tidak pada waktunya? Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepadaku seandainya zaman itu menjumpaiku?’ Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Shalatlah engkau pada waktunya, dan jadikanlah shalatmu bersama mereka sebagai amalan sunnah’.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kedua: Hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قَالَ رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم : إِنَّهَا سَتَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءُ تُشْغِلُهُمْ أَشْيَاءُ عَنِ الصَّلاَةِ لِوَقْتِهَا حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا ، فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا.فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، أُصَلِّي مَعَهُمْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنْ شِئْتَ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,‘Sungguh sepeninggal ku akan ada ditengah kalian penguasa yang oleh berbagai urusan hingga melalaikan shalat pada waktunya hingga habis waktunya, maka shalatlah kalian pada waktunya.’ Salah seorang sahabat bertanya,‘Wahai Rasulullah, apakah aku shalat bersama mereka?’ Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,‘Ya, jika engkau suka’.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ketiga: Hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَيَكُونُ مِنْ بَعْدِي أَئِمَّةٌ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَا قِيتِهَا فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَا تَكُمْ مَعَهُمْ سبحة
“Akan ada sepeninggalku penguasa-penguasa yang mematikan shalat dari waktu-waktunya, maka shalatlah kalian pada waktunya dan jadikanlah shalat kalian bersama mereka sebagai shalat sunnah.” (HR. Ahmad, 4/124)
Berita Gaib yang Terwujud
Perkara gaib adalah mutlak milik Allah Subhanahu wata’ala. Tidak ada yang mengetahui sedikit pun dari perkara gaib di antara makhluk-makhluk-Nya, baik malaikat, nabi, maupun rasul, apalagi selain mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (al-Lauh al-Mahfuz).” (al-An’am: 59)
Adapun apa yang diberitakan para rasul tentang perkara gaib, bukan karena mereka mengetahui perkara gaib, namun mereka kabarkan berdasar wahyu Allah Subhanahu wata’ala yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepada mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا () إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26-27)
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu termasuk berita-berita gaib yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kabarkan sebagai salah satu mukjizat dan tanda kenabian. Beliau kabarkan munculnya penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat, berita itu pun terjadi.
Makna Mengakhirkan Shalat
Apa maksud sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mereka mengakhirkan shalat?” Apakah makna mereka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya secara keseluruhan, seperti mengakhirkan shalat ashar hingga tenggelam matahari dan masuk waktu Maghrib? Atau maknanya mengakhirkan shalat dari awal waktu (waktu ikhtiyar) dan menunaikannya di akhir waktu (waktu idhthirar)?
Sebagaimana diketahui bahwa waktu shalat ada dua: (1) waktu ikhtiyar, yaitu awal waktu yang seorang muslim seharusnya melaksanakan shalat di waktu tersebut; (2) waktu idhthirar yaitu waktu yang masih diperbolehkan seseorang menunaikan shalat dalam keadaan darurat (memiliki uzur).
Shalat isya dan ashar misalnya, keduanya memiliki dua waktu tersebut. Waktu ikhtiyar untuk shalat isya adalah sejak masuk waktu isya’ hingga pertengahan malam, adapun selepas pertengahan malam hingga terbit fajar adalah waktui dhthirar. Waktu ikhtiyar untuk shalat ashar dimulai semenjak bayangan sesuatu sama dengan dirinya hingga bayangan sesuatu tersebut menjadi dua kali lipat dirinya. Adapun waktu idhtirar dimulai sejak bayangan sesuatu dua kali dirinya hingga tenggelam matahari.
Kita kembali kepada hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyifati para penguasa yang akan datang dengan sebuah sifat,
سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا
“Sungguh akan muncul di hadapan kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya.”
Maksud dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mereka mengakhirkan shalat.” Adalah mengakhirkan shalat dari waktu ikhtiyar dan melakukannya di waktu idhthirar, bukan maknanya mengakhirkan hingga keluar waktu shalat dan masuk waktu shalat berikutnya.
An-Nawawi rahimahullah menerangkan, maksud sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditshadits ini
( يُؤَخِّرُونَ الصَّ ةَالَ عَنْ وَقْتِهَا)
“mereka mengakhirkan shalat dari waktunya”, yakni waktu ikhtiyar, bukan maksudnya mereka mengakhirkan hingga habis waktunya. Riwayat-riwayat yang dinukilkan tentang penguasa-penguasa yang telah lalu, yang mereka lakukan adalah mengakhirkan shalat dari waktu yang ikhtiyar dan tidak ada satu pun dari mereka mengakhirkannya hingga habis semua waktu. Oleh karena itu, berita-berita Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang penguasa yang mengakhirkan shalat ini dibawa kepada kenyataan yang telah terjadi.” (al-Minhaj dan al-Majmu’ [3/48])
Apa Yang Kita Lakukan Jika Penguasa Mengakhirkan Shalat dari Waktu Ikhtiyar?
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah nash yang memutuskan permasalahan ini; kita diperintahkan untuk shalat tepat pada waktunya, yakni di waktu ikhtiyar walaupun secara munfarid di rumah, kemudian shalat kembali berjamaah bersama penguasa di akhir waktu. Semua ini untuk menjaga persatuan umat.
Al-Allamah al-Albani rahimahullah berkata, “Jika sudah menjadi kebiasaan para penguasa mengakhirkan shalat dari waktu ikhtiyar, keharusan seorang muslim adalah tetap shalat pada waktunya di rumahnya kemudian (mengulangi) shalat bersama penguasa ketika mereka shalat. Shalat kedua ini adalah sunnah baginya….” (Lihat ats-Tsamaral-Mustathab [1/86])
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini (ada faedah) bahwasanya jika seorang penguasa mengakhirkan shalat dari waktu yang awal (dan melakukannya di akhir waktu) disunnahkan bagi makmum untuk melakukan shalat di awal waktu secara munfarid (bersendiri) kemudian mengulangi shalat bersama dengan imam….” (al-Minhaj)
Apa Hikmahnya?
Perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas mengandung hikmah yang sangat besar, di antaranya menjaga ijtima’ul kalimah (persatuan kaum muslimin).
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwasanya akan muncul sepeninggal beliau penguasa-penguasa yang mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, kemudian beliau memberikan arahan (bimbingan) kepada orang yang (mau) mengikuti petunjuk beliau agar ia melakukan shalat pada waktunya kemudian melakukannya berjamaah bersama penguasa, dengan itu tercapailah dua keutamaan, keutamaan shalat di awal waktu, serta keutamaan persatuan umat dan merapatkan barisan. (Muhadharah Syarah Sunan Abi Dawud)
Persatuan dan Meninggalkan Perpecahan adalah Pokok Penting dalam Agama
Ayat-ayat al-Qur’an dan haditshadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok yang sangat agung ini. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kalian semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَا ثًا، أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَأَنْ تُنَاصِحُوا مِنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ
“Sesungguhnya Allah ridha bagi kalian tiga hal : kalian beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan tidak berpecah-belah, kalian menasihati orang yang Allah menjadikannya sebagai penguasa kalian….” (HR. Ahmad)
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menetapkan pokok ini sangat banyak di dalam al-Qur’an, namun betapa banyak umat Islam yang lupa akan pokok yang agung ini, hingga umat pun bercerai-berai dalam firqah-firqah yang demikian banyak.
Hanya dengan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman sahabat sajalah umat akan kembali bersatu.
Menaati Penguasa dalam Perkara yang Ma’ruf, Sebab Persatuan Umat
Hadits Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan atau menganjurkan setiap insan muslim menjaga persatuan di bawah penguasa muslim dan tidak melakukan perkara-perkara yang menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan menentang penguasa muslim.
Sebagaimana dimaklumi, keberadaan penguasa (waliyul amri) adalah perkara yang sangat mendesak dan harus ada, untuk mengurusi perkara-perkara agama seperti puasa, ied, haji, dan jihad fi sabilillah, demikian pula untuk tertanganinya urusan dunia kaum muslimin.
Karena pentingnya pemimpin, para sahabat memandang untuk segera menetapkan kekhilafahan sebelum memakamkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebelum berkobar fitnah karena kekosongan kepemimpinan, terpilihlah Abu Bakr ash-Shiddiq z sebagai khalifah dengan ijma’ (kesepakatan) seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sejarah pun mencatat betapa besar jasa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dalam meredam badai fitnah yang menimpa umat pasca-wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.1
Tanpa penguasa, kaum muslimin tidak akan terurusi urusan dunia sebagaimana tidak akan terurusi urusan agama mereka, bahkan sudah barang tentu kekacauan dan ketidakstabilan akan muncul dengan dahsyat. Kemudian, keberadaan penguasa tidak akan berarti dan maslahat tidak akan terwujud kecuali jika mereka ditaati, tentunya dalam perkara yang ma’ruf.
Oleh karena itulah menaati pemerintah termasuk salah satu pokok-pokok penting akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (an- Nisa: 59)2
Beribadah Bersama Pemerintah
Termasuk bentuk ketaatan yang diperintahkan adalah menunaikan ibadah yang sifatnya jama’i bersama mereka seperti shalat, puasa, hari raya dan jihad, meskipun mereka adalah penguasa yang fasik.
Beribadah bersama penguasa meskipun mereka fasik adalah salah satu pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagaimana dinukilkan dalam kitab-kitab akidah salaf.
AL Imam al Barbahari rahimahullah (329 H) berkata, “Haji dan jihad terus berlangsung bersama pemimpin (penguasa/pemerintah). Dan shalat Jum’at di belakang mereka boleh.”
Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim al-Isma’ili rahimahullah (371 H) berkata, “Ahlul hadits (Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkeyakinan (boleh dan sahnya) shalat Jum’at dan selainnya di belakang seluruh penguasa muslim yang baik atau jahat; karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan shalat Jum’at untuk kita datangi dengan perintah yang mutlak3, dan Allah Maha Mengetahui bahwa para penegak shalat Jum’at di antara mereka ada yang fasik dan jahat, namun Allah Subhanahu wata’ala tidak mengkhususkan waktu tertentu, tidak pula mengecualikan perintah tersebut.4
Maksud ucapan al-Isma’ili, seandainya shalat di belakang pemerintah yang jahat tidak boleh dan tidak perlu dipenuhi seruannya, niscaya perintah Allah Subhanahu wata’ala tidak bersifat mutlak. Dua nukilan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan kesepakatan Ahlus Sunnah dalam pokok yang agung ini, dan seandainya perkataan imam-imam Ahlus Sunnah kita nukilkan sebagian besarnya niscaya akan menjadi sebuah pembahasan yang sangat panjang.
Puasa dan Ied bersama Pemerintah
Di antara ibadah yang dilakukan bersama pemerintah adalah shaum (puasa) dan hari raya sebagaimana telah dibahas pada rubrik-rubrik yang lain. Kami tambahkan di sini beberapa hal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Hari berpuasa adalah hari yang manusia berpuasa, hari berbuka adalah hari yang manusia berbuka, dan hari menyembelih adalah hari yang manusia menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 1/389 no. 224)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah meriwayatkan hadits, “Sebagian ahul ilmi menafsirkan hadits ini: Makna hadits bahwasanya puasa dan berbuka adalah bersama jamaah (muslimin) dan mayoritas manusia.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam kitabnya Subulus Salam (72/2),“Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya yang dijadikan patokan penentuan ied adalahmenyesuaikan dengan manusia (bersama penguasa), dan seseorang yang bersendiri melihat hilal ied wajib atasnya tetap menyesuaikan manusia serta mengikuti keputusan masyarakat dalam shalat, berbuka, dan menyembelih.”
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Makna inilah5 yang dipahami dari hadits. Diperkuat bahwasanya Aisyah radhiyallahu ‘anha berhujah dengan makna ini kepada Masruq6 ketika suatu saat Masruq tidak melakukan puasa Arafah (yang ditentukan penguasa ketika itu) hanya karena kekhawatiran (janganjangan) hari itu adalah hari nahr (ied). Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya (yakni Masruq) tidak dianggap (dalam masalah ini), (muslimin). Beliau lalu berkata,
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah hari yang manusia menyembelih kurban-kurban mereka dan hari berbuka adalah hari yang manusia berbuka’.” (Riwayat ini jayyid sanadnya dengan riwayat sebelumnya)
Al-Albani rahimahullah selanjutnya berkata, “Inilah makna yang sesuai dengan syariat yang penuh kebaikan yang salah satu tujuannya adalah mempersatukan manusia dan merapatkan shaf-shaf mereka serta menjauhkan umat dari semua perkara yang memecah belah persatuan berupa pendapat-pendapat pribadi (golongan).
Syariat tidak menganggap pendapat pribadi dalam ibadah-ibadah jama’i -meskipun benar menurut pendapatnya- seperti puasa, penetapan ied, dan shalat jamaah. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para sahabat? Mereka shalat di belakang sahabat lainnya dalam keadaan ada di antara mereka yang berpendapat menyentuh wanita, zakar, dan keluarnya darah membatalkan wudhu sedangkan lainnya tidak menganggapnya membatalkan wudhu; di antara mereka ada yang menyempurnakan shalat dalam safar, di antara mereka ada yang mengqasharnya; sungguh perbedaan mereka ini tidak menghalangi mereka untuk bersatu di belakang satu imam dan menganggap sahnya shalat bersamanya (meskipun ada perbedaan-perbedaan tersebut), karena mereka mengetahui bahwasanya perpecahan dalam agama lebih jelek dari perbedaan dalam sebagian pendapat.
Bahkan, sampai sebagian mereka benar-benar tidak memedulikan pendapat pribadinya yang menyelisihi al-Imam al-A’zham (amirul mukminin) dalam perkumpulan yang besar seperti (berkumpulnya seluruh kaum muslimin dalam ibadah haji) di Mina, mereka (sahabat) benar-benar meninggalkan pendapat pribadi di saat berkumpulnya manusia. Semua itu untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi dengan sebab mengamalkan pendapat pribadi.
Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan (dalam Sunan-nya [1/307]) bahwa Utsman shalat di Mina empat rakaat. Berkatalah Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Utsman, “Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (di Mina) dua rakaat (yakni diqashar), bersama Abu Bakr dua rakaat, bersama Umar juga dua rakaat, bersama Utsman di awal pemerintahannya juga demikian. Namun, kemudian ia sempurnakan (empat rakaat)….” Akan tetapi, Ibnu Mas’ud tetap shalat empat rakaat (di belakang Utsman). Beliau pun ditanya, “Engkau salahkan Utsman, tetapi engkau shalat di belakangnya?!”
Ibnu Mas’ud menjawab,
الْخِلَافُ شَرٌّ
“Perselisihan itu kejelekan.”
Yang semisal dengan ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah (5/155) dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai segenap sahabat. Renungkanlah hadits ini dan atsar sahabat yang telah disebutkan, wahai orang yang terus-menerus bercerai-berai dalam shalat-shalat mereka dan tidak mau bermakmum kepada imam-imam masjid, seperti shalat witir di bulan Ramadhan dengan alasan imam-imam masjid berbeda mazhabnya dengan mazhab mereka!
Sebagian mereka merasa bangga dengan ilmu falak, lalu berpuasa dan beridul fitri mendahului atau lebih akhir dari jamaah kaum muslimin (bersama pemerintahnya). Ia lebih menganggap pendapatnya dan amalannya tanpa memedulikan penyelisihannya terhadap kaum muslimin dan pemerintahnya.
Hendaknya mereka merenungkan ilmu apa yang saya sebutkan. Semoga mereka mendapatkan obat atas kejahilan dan ujub yang bersarang dalam dada mereka.
Semoga mereka mau menjadi satu shaf bersama saudara-saudaranya kaum muslimin, karena Tangan Allah bersama jamaah.” (Diringkas dengan beberapa perubahan dari Silsilah ash-Shahihah). Wallahu a’lam.