Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (3)

SYARAT KEEMPAT

Barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan

Banyak sistem jual beli terlarang yang tidak memenuhi persyaratan ini, dan hampir seluruhnya masuk dalam kategori:

  1. Jual beli gharar

Yang dimaksud dengan gharar adalah yang tidak diketahui akibatnya. Sistem jual beli ini haram hukumnya dengan dalil al-Qur`an, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama secara global. Adapun ayat yang menerangkannya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (al-Ma`idah: 90)

Juga firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil…” (an-Nisa`:29)

Adapun dari As-Sunnah, di antaranya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem gharar.” (HR. Muslim no. 1153)

Para ulama telah bersepakat bahwa hukum asal sistem gharar adalah haram. Namun mereka berbeda pendapat pada beberapa kasus dan rinciannya.

Masalah 33: Ada dua perkara yang dikecualikan dari sistem gharar ini:

  1. Sesuatu yang harus terbeli dan tidak mungkin dihindarkan. Contohnya jual beli rumah dengan pondasinya, atau jual beli kambing yang sedang hamil.
  2. Terdapat gharar namun relatif ringan, dan ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat.

Contohnya:
– Sewa menyewa bulanan/tahunan dengan penanggalan hijriyah, yang terkadang sebulan berjumlah 30 hari dan terkadang 29 hari.

– WC umum yang bayar, terkadang airnya terpakai banyak, terkadang sedikit.

Para ulama bersepakat bahwa gharar yang sedikit ini dimaafkan dan dimaklumi. Wallahu a’lam bishshawab.

 

Masalah 34: Kuis Berhadiah

Gambarannya, penyelenggara kuis menjual kartu berhadiah yang berisi pertanyaan atau semisalnya. Lalu jawaban yang benar dikumpulkan dan diundi, dan pemenangnya diumumkan serta berhak mendapatkan hadiah yang telah disediakan.

Hukum masalah ini adalah haram. Karena mengandung unsur gharar dan pertaruhan (judi). Orang yang ikut akan dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu menang atau kalah.

Adapun pemberian hadiah atas jawaban yang benar dari pertanyaan yang diajukan tanpa membeli kupon/kartu, hukum asalnya adalah mubah. Namun tidak sepantasnya seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu) mengikuti perkembangan masalah seperti ini, baik melalui majalah, radio, TV dan semisalnya. Karena perbuatan tersebut mengurangi muru`ah (harga diri) dan membuang waktu untuk perkara yang belum pasti kemanfaatannya. Wabillahit taufiq.

Masalah 35: Hadiah yang ada pada barang dagangan

Masalah ini ada dua bentuk. Dan keduanya merupakan kaidah untuk menghukumi masalah lain yang semisal.

  1. Bila sang pembeli dihadapkan pada dua pilihan (taruhan) antara untung atau rugi, maka hal ini tidak diperbolehkan. Ada dua contoh dalam hal ini:
  2. Sebuah barang dijual dengan harga lebih mahal dari sebelumnya, di dalamnya terdapat kupon berhadiah langsung atau diundi. Terkadang hadiahnya murahan dan terkadang pula mahal.
  3. Seseorang membeli sebuah barang –dalam jumlah besar– yang ada kupon berhadiahnya yang sebenarnya tidak dia butuhkan. Dia memborong barang tersebut hanya karena ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan/disediakan.
  4. Bila sang pembeli dihadapkan pada satu pilihan, antara keuntungan atau keselamatan (tidak rugi), maka diperbolehkan. Contohnya:
  5. Sebuah barang dijual dengan harga normal seperti biasanya, dan di dalamnya terdapat kupon atau hadiah langsung.
  6. Sang pembeli membeli barang tersebut secara normal untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu dia mendapatkan kupon atau hadiah langsung di dalamnya. Wallahul muwaffiq.

Masalah 36:Jual beli ikan yang masih di dalam air

Jual beli ikan yang masih ada di lautan, danau atau sungai besar adalah haram, dengan beberapa alasan:

  1. Ikan tersebut tidak bisa diserahkan.
  2. Tidak diketahui sifat-sifat dari sisi ukuran dan jenisnya.
  3. Ada unsur gharar dan taruhan.

Termasuk dalam masalah ini adalah sistem jual beli ikan di tambak dengan cara sampling (mengambil contoh). Maksudnya, sang petambak atau pembeli mengambil/menjaring sejumlah ikan di tambak. Ikan yang terjaring dijadikan contoh/tolak ukur untuk ikan-ikan yang ada di tambak tersebut secara keseluruhan. Sistem ini diharamkan karena beberapa sebab:

  1. Ada unsur taruhan dan gharar.
  2. Tidak diketahui secara pasti ukuran semua ikan yang ada di tambak. Bisa jadi lebih kecil dari sampelnya, dan mungkin pula lebih besar.
  3. Tidak diketahui jumlah ikan yang ada di tambak. Bisa jadi sangat banyak, bisa jadi pula hanya sedikit.

Faedah: Diperbolehkan jual beli ikan yang masih di dalam air dengan tiga syarat:

  1.  Ikan tersebut berpemilik.
  2. 2. Mungkin dan mudah diambil, seperti di kolam kecil.
  3. Airnya bening sehingga ikan tersebut bisa terlihat dengan sangat jelas dan transparan. Wallahu a’lam.

Masalah 37: Sistem habalil habalah

Ada dua gambaran tentang sistem ini:

  1. Penjual dan pembeli sepakat bah-wa uang pembelian hewan tersebut diserahkan setelah hewan tersebut melahirkan, atau anak hewan tersebut melahirkan.

Yang tidak diketahui di sini adalah waktu pembayarannya. Adapun barangnya telah diketahui, yaitu hewan tadi atau anaknya atau cucunya.

Ketidakjelasan waktu pembayaran punya andil besar dalam penentuan harga. Bisa jadi, saat jatuh pembayaran harganya lebih mahal atau mungkin lebih murah.

  1. Penjual dan pembeli sepakat untuk jual beli apa yang ada di perut hewan tersebut atau yang ada di perut anaknya nanti.

Yang tidak diketahui di sini adalah barangnya. Jual beli hewan yang masih di perut induknya adalah haram menurut kesepakatan ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli habalil habalah.” (HR. Muslim no. 1514)

Dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) diriwayat-kan dari Ibnu ‘Umar bahwa orang-orang jahiliyah dahulu biasa melakukan jual beli daging unta sampai habalil habalah. Yaitu, unta betina tadi melahirkan anaknya, lalu anaknya tadi bunting dan melahirkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1514)

Di antara sebab-sebab keharamannya adalah:

  1.  Tidak diketahui sifatnya
  2.  Tidak jelas, hewan tersebut hidup atau mati

        radhiallahu ‘anhuma.    Tidak diketahui jenisnya

  1.  Tidak bisa diserahkan barangnya

Wallahu a’lam.

 

Masalah 38: Sistem munabadzah dan mulamasah

Gambaran munabadzah adalah seseorang melemparkan bajunya–misalnya– kepada lelaki lain tanpa melihat barang tadi. Dan hal itu dijadikan sebagai akad jual beli mereka.

Ada beberapa perkara yang tergolong dalam sistem munabadzah ini:

  1.  Barang yang dilempar itulah yang diperjualbelikan.
  2.  Tindakan melempar barang tersebut dijadikan sebagai tanda selesainya akad jual beli dan tidak ada lagi khiyar (pilihan) bagi sang pembeli.
  3.  Yang dimaksud dengan sistem munabadzah adalah sistem hashat (lempar batu), yang akan dijelaskan nanti insya Allah.

Adapun mulamasah adalah jual beli dengan sistem meraba/memegang barang yang dijual tanpa melihatnya. Ada beberapa gambaran lain yang juga tergolong dalam mulamasah:

  1.  Barang yang dipegang adalah yang diperjualbelikan.
  2.  Tindakan memegang barang dijadikan syarat dan tidak ada khiyar.
  3.  Jual beli dengan istilah sekarang: ‘Pegang barang harus dibeli’.
  4.  Sang pembeli memegang/meraba barang dagangan dan dia tidak melihatnya karena tertutup atau keadaan gelap. Lalu sang penjual berkata: “Saya jual barang itu dengan harga sekian, dengan syarat rabaanmu sebagai ganti pandanganmu. Dan tidak ada khiyar bagimu kalau kamu sudah melihatnya.”

Semua sistem munabadzah dan mulamasah di atas adalah haram, karena:

  1. Ada unsur gharar
  2. Ada unsur taruhan (judi)

radhiallahu ‘anhuma. Ada unsur ketidaktahuan jenis dan nilai barang.

Dasarnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri dalam Ash-Shahihain:

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sistem mulamasah dan munabadzah dalam jual beli.”

Masalah 39: Sistem hashat (lempar batu)

Sistem ini ada beberapa jenis dan gambaran, di antaranya:

  1.  Sang pembeli melempar dengan kerikil/batu kepada tumpukan/kumpulan baju, misalnya. Baju mana yang terkena batu, maka itulah yang terbeli dengan harga yang disepakati sebelumnya. Ini adalah sistem jahiliyah dahulu.
  2.  Seseorang membeli sebidang tanah dari sang penjual di tempat yang luas. Keduanya sepakat bahwa sang pembeli melempar batu, dan tempat jatuhnya batu itulah yang dijadikan batas tanah yang terbeli, dengan harga yang sudah disepakati sebelumnya.
  3.  Menjadikan lemparan batu sebagai tanda selesainya akad dan tidak ada khiyar bagi pembeli.
  4.  Seseorang membeli sesuatu dari penjual, lalu sang penjual meraup kerikil dengan tangannya dan berkata: “Berikan uang kepada saya sejumlah kerikil ini.”

Jual beli dengan semua gambaran di atas adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Ibnu Qudamah menukilkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

        “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sistem hashat dan yang ada unsur gharar.” (HR. Muslim no. 1513)

Wallahul muwaffiq.

Faedah: Termasuk jual beli yang terlarang karena adanya unsur gharar adalah:

  1. Susu yang ada di puting (ambing) sapi atau kambing sebelum diperah.
  2. Budak yang kabur dan tidak diketahui rimbanya. Demikian pula hewan yang kabur.
  3. Burung yang sedang terbang di udara, yang bukan miliknya, atau miliknya namun burung tadi tidak terbiasa kembali ke sarangnya.
  4. Rampasan perang yang belum dibagi. Termasuk dalam hal ini adalah shadaqah atau hadiah dari pemerintah atau pihak lain, yang belum diterima.
  5. Bulu yang masih ada di badan hewan yang masih hidup, kecuali bila langsung dipangkas, atau jarak antara akad dan memangkas tidak terlalu lama.
  6. Barang yang diperjualbelikan dalam jumlah besar dengan beragam jenis, ukuran dan kualitas, dalam keadaan tertutup dan tidak terlihat barangnya.

Masalah 40: Jual beli sesuatu yang tertanam dalam tanah, seperti wortel, bawang merah, bawang putih dan semisalnya

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

  1. Jumhur ulama berpendapat tidak diperbolehkan, hingga dicabut dan dilihat oleh sang pembeli. Alasannya karena ada unsur jahalah (ketidaktahuan) dan gharar.
  2. Malik, Al-Auza’i, Ishaq, satu riwayat dari Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaikh As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan sejumlah ulama lainnya, bahwa hal ini diperbolehkan. Alasannya:
  3. Para ahli tanaman tersebut dapat mengetahui dengan baik tanaman yang ada di dalam tanah. Biasanya mereka melihat bagian atas yang tampak untuk mengetahui yang ada di dalam tanah.
  4. Kalaupun terjadi gharar yang ringan atau sesuatu yang tidak mungkin dielakkan, maka hal itu dimaafkan.

        radhiallahu ‘anhuma. Terdapat hal yang sangat memberatkan pemilik tanaman yang berjumlah besar itu. Karena mereka membutuhkan alat yang dapat menjaga tanaman tersebut setelah dicabut atau dipanen agar tidak rusak. Terkadang mereka tidak mendapatkannya. Juga akan berakibat penjual dipermainkan oleh sang pembeli, misalnya sudah dicabut ternyata tidak jadi dibeli. Ujungnya, kalau tidak ada alat untuk menjaganya dari kerusakan adalah hancurnya tanaman tersebut.

Yang rajih adalah dirinci:

– Bila yang disebutkan oleh pendapat kedua adalah terjadi dan nyata, maka tidak mengapa dan tidak termasuk jual beli yang memiliki unsur gharar.

– Bila tidak benar dan tidak nyata, maka wajib dicabut hingga terlihat oleh sang pembeli.

Ini adalah rincian dari Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar. Wallahu a’lam.

Jual Beli Buah-buahan

Dalam masalah ini ada 2 bagian:

  1. Yang disepakati oleh para ulama tentang ketidakbolehannya, yaitu jual beli buah-buahan yang belum tercipta.

Termasuk dalam masalah ini adalah:

Masalah 41: Jual beli Sistem Mu’awamah/Sinin

Yaitu menjual hasil sawah/kebun untuk beberapa tahun ke depan dalam satu akad. Hal ini terlarang, karena ada unsur gharar dan taruhan. Begitu juga menjual buah-buahan yang belum tumbuh. Insya Allah akan dirinci pada poin kedua.
Adapun dasar pelarangan sistem mu’awamah adalah hadits Jabir radhiallahu ‘anhu:

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang …. dan melarang sistem mu’awamah.” (HR. Muslim, 1536/85)

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang terlarang di sini adalah jual beli dzat buahnya. Adapun bila yang diperjualbelikan adalah sifatnya maka tidak mengapa, karena masuk dalam sistem salam.

Sistem salam adalah menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang dengan sifat yang diketahui, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui dan waktu serah terima barang yang diketahui pula. Mudah-mudahan ada pembahasan khusus tentang sistem ini pada edisi lain, insya Allah.

  1.  Yang masih diperselisihkan ulama adalah buah-buahan yang sudah tumbuh namun belum tampak matang:
  2.  Jumhur ulama berpendapat tidak boleh diperjualbelikan secara mutlak hingga nampak matang. Mereka berhujjah dengan keumuman hadits yang melarang hal ini. Di antaranya hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

        “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak matang, beliau melarang penjual dan pembeli.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadits semakna juga diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu (Muttafaqun ‘alaih) dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu (HR. Muslim, 1538/58).

  1. Ibnu Hazm berpendapat dibolehkannya jual beli buah-buahan yang belum bertangkai, walaupun dengan syarat dibiarkan di tangkainya. Adapun bila sudah bertangkai, maka tidak diperbolehkan hingga nampak matang.

        radhiallahu ‘anhuma.    Sejumlah ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (14/82-83, no. 3476), berpendapat diperbolehkan jual beli buah-buahan yang belum tampak matang dengan dua syarat:

                –    Dipanen waktu itu juga.

                –    Ada unsur kemanfaatan, seperti untuk makanan ternak atau semisalnya.

Jumhur ulama menyepakati syarat yang kedua ini, kecuali Ibnu Abi Laila dan Sufyan Ats-Tsauri.

Yang rajih adalah pendapat ketiga. Karena hukum itu berjalan bersama ‘illat (sebab)nya, ada atau tidaknya. ‘Illat (sebab) pelarangannya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu (HR. Abu Dawud no. 3372 dengan sanad yang shahih, lihat Shahih Abu Dawud no. 3372), yaitu bahwa para shahabat dahulu berjual beli buah-buahan sebelum nampak matang. Tatkala datang waktu panen, sang pembeli datang untuk mengambil buah-buahannya. Ternyata buah tersebut sudah rusak terkena hama, maka terjadilah keributan di antara mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda sebagai musyawarah yang beliau tawarkan:

“Kalau tidak (mau berhenti), hendak-nya kalian jangan jual beli buah-buahan kecuali bila nampak matang.”

Dengan adanya dua persyaratan di atas, tidak ada lagi keributan yang dikha-watirkan. Wallahul muwaffiq.

Masalah 42: Membeli buah-buahan yang belum nampak matang dari penjual di kiosnya

Masalah ini tidak termasuk pembahasan di atas. Karena masalah di atas adalah buah-buahan yang belum nampak matang yang masih ada di pohonnya. Adapun bila sudah ada di kios atau di tangan penjual, maka boleh diperjualbelikan, baik buah-buahan yang sudah matang ataupun belum. Hujjahnya adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu:

        “Bagaimana pendapatmu bila Allah menahan buah tersebut? Bagaimana salah seorang kalian menghalalkan harta saudaranya tanpa hak?!” (Muttafaqun ‘alaih)

Faedah: Ketentuan matangnya buah-buahan tergantung jenis buahnya juga. Misalnya, tanda matangnya korma adalah memerah atau menguning.

Masalah 43: Jual beli buah-buahan yang telah matang

Jumhur ulama berpendapat diperbo-lehkan, baik langsung dipanen atau dibiarkan di pohonnya untuk beberapa waktu. Karena tidak termasuk larangan hadits di atas.

Jual Beli Barang yang Belum Diterima

Para ulama –kecuali ‘Atha` dan ‘Utsman Al-Butti– bersepakat bahwa seseorang yang membeli makanan lalu menjualnya kepada orang lain sebelum makanan tadi dia terima adalah haram. Dengan dasar hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

        “Bila engkau membeli makanan maka janganlah engkau jual hingga engkau terima sepenuhnya.” (HR. Muslim no. 1529)

 

Masalah 44: Apakah larangan di atas khusus untuk makanan saja?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1.  Larangan tersebut umum meliputi semua barang dagangan, baik berupa makanan, atau aqar (tanah dan rumah), atau sesuatu yang berpindah (kendaraan), atau lainnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Abdillah, Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Muhammad bin Al-Hasan, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu ‘Utsaimin.
  2.  Larangan tersebut untuk barang-barang yang ditakar atau ditimbang. Adapun yang selain itu diperbolehkan. Ini adalah pendapat ‘Utsman, Sa’id bin Al-Musayyib, Al-Hakam bin ‘Utbah, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq dan pendapat yang masyhur dari madzab Hambali.
  3.  Larangan tersebut umum, kecuali aqar (rumah dan tanah). Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
  4.  Larangan tersebut hanya pada makanan dan minuman. Ini adalah pendapat Malik, Abu Tsaur dan yang dirajihkan oleh Ibnul Mundzir.

Yang rajih adalah pendapat pertama, dengan beberapa dalil berikut:

  1.  Hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang dagangan di tempat dibelinya, hingga dipindahkan oleh pedagang ke tempat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3499 dengan sanad yang hasan)

Lafadz bersifat umum, mencakup semua barang yang diperjualbelikan.

  1.  Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:

“Bila engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau jual hingga engkau menerimanya.” (HR. Ahmad, 3/402, dengan sanad yang dha’if, namun menjadi hasan dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu di atas)

Lafadz mencakup semua barang yang diperjualbelikan. Wallahul muwaffiq.

Perkecualian dalam Jual Beli

Maksudnya adalah menjual barang dengan mengecualikan sesuatu darinya. Masalah ini memiliki dua bagian:

  1.  Sesuatu yang dikecualikan adalah perkara yang diketahui. Misalnya, menjual 10 baju kecuali satu baju yang berwarna merah.

Dinukil adanya kesepakatan ulama bahwa masalah ini diperbolehkan, karena tidak ada unsur gharar di dalamnya.

  1.  Sesuatu yang dikecualikan tidak diketahui (majhul). Ada perbedaan pendapat dalam hal ini:
  2.  Jumhur ulama berpendapat tidak diperbolehkan
  3.  Malik membolehkannya

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, dengan dasar hadits Jabir radhiallahu ‘anhu:

        “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perkecualian dalam jual beli, yakni mengecualikan sesuatu yang majhul (tidak diketahui).” (HR. Muslim, 1536/85)

Juga ada alasan bahwa tidak diketahuinya sesuatu yang dikecualikan akan berakibat tidak diketahuinya barang yang diperjualbelikan. Sehingga hal ini termasuk dalam ‘jual beli sesuatu yang tidak diketahui’. Dan ini tidak diperbolehkan karena ada unsur gharar dan taruhan.

Misalnya seseorang menjual rumah yang memiliki 4 kamar. Lalu dia mengecuali-kan satu kamar tanpa ditentukan kamar yang mana. Hal ini akan mengakibatkan tidak diketahuinya kamar yang hendak diperjualbelikan. Wallahul muwaffiq.

Najsy dalam Jual Beli

Najsy ialah menaikkan harga barang dari seseorang yang tidak ingin membelinya.

Ada beberapa alasan seseorang melakukan hal tersebut, di antaranya:

  1.  Menguntungkan sang penjual. Untuk hal ini, biasanya sudah ada kesepakatan sebelumnya.
  2.  Merugikan sang pembeli. Terkadang sang pembeli sangat membutuhkan barang tersebut, sehingga dia rela merogoh koceknya semahal apapun.
  3.  Menampakkan kekayaannya di depan para saudagar besar.
  4.  Hanya ingin main-main.

Semua tujuan di atas adalah haram. Para ulama bersepakat bahwa pelakunya telah bermaksiat dengan perbuatan itu.

Bentuk najsy yang terlarang cukup banyak, di antaranya:

  1.  Sang penjual memberitahu dengan berdusta bahwa dia membeli barang tersebut dengan harga lebih mahal dari yang sebenarnya. Misalnya sang penjual berkata: “Saya membeli barang ini Rp. 1000, hendaknya kamu beri laba kepadaku.” Padahal dia membelinya dengan harga Rp. 500.
  2.  Pelakunya adalah sang penjual sendiri. Gambarannya: Penjual menaruh barang kepada seseorang. Lalu dia mendatanginya layaknya pembeli, dan menaikkan/meninggikan harganya untuk kemaslahatannya.

        radhiallahu ‘anhuma.    Sang pelaku memuji dan menyanjung barang tersebut setinggi langit, hingga sang pembeli tertipu.

  1.  Sang penjual menaikkan harga barang setinggi mungkin sebagai persiapan menghadapi ‘perang tawar-menawar barang’. Lalu sang penjual menurunkan sedikit harganya setelah ‘perang sengit’. Padahal dia telah memperoleh keuntungan yang besar. Hal ini diharamkan menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  2.  Sang penjual berdusta bahwa dia kulakan barang tersebut lebih mahal dari penawaran sang pembeli.
  3.  Iklan barang di berbagai media cetak atau elektronik dengan sifat yang berlebihan dan ada unsur dusta, sehingga membuat konsumen sangat tertarik untuk membelinya walau dengan harga yang sangat mahal.

Semua jenis najsy di atas adalah haram, termasuk dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari najsy.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bersambung syarat ke 5

 

 

hukum jual beliJual beli