Ketentuan-Ketentuan Pakaian Wanita

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, apabila dia keluar, setan menghiasinya (pada pandangan lelaki, -pen.).” ( HR. at- Tirmidzi no. 1176, beliau berkata, “Hadits ini hasan sahih.”)

Suatu kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang wanita, lalu beliau masuk ke rumah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha lantas menunaikan hajatnya. Kemudian beliau keluar menemui para sahabatnya seraya bersabda,

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

“Sesungguhnya wanita datang (menghadap) dalam bentuk setan. Apabila salah seorang dari kalian melihat wanita dan mengaguminya, hendaknya ia mendatangi istrinya. Sebab, apa yang ada pada wanita tersebut seperti apa yang ada pada istrinya.” (HR. Muslim no. 1403/9, Abu Dawud no. 2151, dan at-Tirmidzi no. 1161 dari Jabir radhiyallahu ‘anhu) Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku nanti suatu fitnah (ujian/cobaan/godaan) yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi (fitnah) wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan,

اتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Waspadalah kalian terhadap (godaan) dunia dan (ujian) wanita, sebab awal mula godaan yang terjadi pada bani Israil adalah karena wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Riwayat-riwayat di atas dan banyak lagi yang semisalnya, menjelaskan kepada kita bahwa wanita adalah aurat yang harus ditutupi fisiknya. Mereka dijadikan alat oleh setan, jin, dan manusia untuk merusak anak Adam. Di sisi lain, mereka adalah ujian yang sangat dahsyat bagi kaum Adam yang mampu meluluhlantakkan keteguhan seorang anak Adam yang kuat imannya sekalipun, kecuali orang yang dirahmati Allah Subhanahu wata’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus memperingatkan kaum Adam agar waspada dan berhati-hati dari ujian yang ditebarkan oleh para setan melalui kaum wanita. Karena sebab-sebab di atas dan yang lainnya, Islam secara khusus memberikan rambu-rambu ketat bagi kaum wanita agar setan tidak meperalat mereka untuk menyesatkan bani Adam.

Di antara rambu-rambu tersebut adalah ketentuan khusus bagi wanita dalam masalah pakaian. Berikut ini rinciannya.

1. Pakaian wanita di luar rumah atau di hadapan lelaki yang bukan mahramnya.

Mahram-mahram wanita ditegaskan dalam al-Qur’an surah an-Nur ayat 311. Selain yang tersebut dalam ayat itu tidak termasuk mahram. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan kaum hawa tatkala di luar rumah atau di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, di antaranya ialah wanita dilarang melakukan tabarruj.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَـٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Dalam Lisanul ‘Arab (3/33) dijelaskan bahwa tabarruj adalah seorang wanita menampilkan perhiasannya serta menampakkan wajah dan keindahan tubuhnya di hadapan lelaki. Begitu pula (menampakkan) segala sesuatu yang bisa membangkitkan syahwat mereka (lelaki) dan berlenggak-lenggok di dalam berjalan. (Ini semua termasuk tabarruj, -pen.) selama bukan untuk suaminya.

Di zaman sekarang ini, tabarruj menjadi salah satu ikon fitnah yang sangat mudah dijumpai baik di perkotaan maupun pedalaman. Termasuk tabarruj adalah:

• Wanita yang berpakaian mini baik tampak bagian atasnya saja, seperti rambut, leher, bagian dada, lengan, dan semisalnya, lebih parah lagi yang tampak bagian antara dada dan lutut; dan lebih parah lagi tampak bagian kehormatannya; maupun tampak bagian bawahnya, seperti kaki, betis, atau pahanya.

• Wanita yang berpakaian ketat hingga tampak keindahan lekuk-lekuk tubuhnya, walaupun menutupi anggota fisiknya. Lebih parah lagi ketika dia mengenakan pakaian ketat dengan warna kain yang sama dengan kulitnya seolah-olah tidak berbusana.

• Wanita yang berpakaian panjang menutupi seluruh tubuh, namun tipis menerawang hingga tubuh dalamnya kelihatan. Para wanita seperti inilah yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan neraka.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا (وَذَكَرَ): وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَ

“Dua jenis ahli neraka aku belum pernah melihat mereka (sebelumnya)…” lalu beliau menyebutkan, “Dan wanita wanita yang berpakaian namun telanjang, menyimpangkan (orang yang melihatnya), berlenggak-lenggok (jalannya), dan kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium aromanya, padahal aroma surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian….” (HR. Muslim no. 2128)

2. Syarat-syarat pakaian wanita di luar rumah atau di hadapan lelaki yang bukan mahram.

Apabila salah satu saja tidak terpenuhi, pakaiannya tidak syar’i dan termasuk tabarruj yang merupakan perbuatan dosa atau pakaian fitnah yang dicela. Persyaratan tersebut adalah:

a. Pakaian tersebut menutupi seluruh anggota tubuhnya.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, serta janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (an-Nur: 31)

Demikian pula firman-Nya,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا (٥٩)

Hai Nabi, katakanlah kepada istri istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Hal itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab: 59)

Para ulama bersepakat bahwa wanita merdeka berkewajiban menutup seluruh anggota tubuhnya, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang berstatus budak. Sebagian ulama tidak membedakan antara wanita merdeka dan wanita budak dalam hal kewajiban menutup seluruh anggota tubuhnya.

Ini adalah pendapat Abu Hayyan al-Andalusi rahimahullah dalam tafsirnya, al-Bahr al-Muhith (7/250), al-Hafizh Ibnul Qaththan rahimahullah dalam Ahkam an-Nazhar, Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (3/218—219), dan yang dianggap kuat oleh al-‘Allamah al-Albani rahimahullah dalam Jilbab al-Mar’atul Muslimah (hlm. 92—96).

Para ulama juga berbeda pendapat tentang wajah dan kedua telapak tangan. Ada yang berpendapat wajib ditutup dan ada pula yang berpendapat tidak wajib. Pembicaraan tentang masalah ini sangat panjang. Namun, yang terpenting adalah beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya:

• Ulama yang tidak mewajibkan menutup wajah dan kedua telapak tangan sangat menganjurkan kaum wanita terutama di zaman sekarang ini untuk menutupnya, demi mencapai keafdalan dan upaya meredam fitnah.

• Tidak ada perhiasan/riasan pada wajah dan kedua telapak tangan berdasarkan keumuman ayat,

وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَا

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (an-Nur: 31)

Apabila terdapat perhiasan/riasan, wajib ditutup dengan dalil ayat di atas, terutama pada wanita masa kini yang menghiasi wajah dan tangan mereka dengan ragam hiasan dan warna, tidak ada seorang muslim pun yang ragu akan keharamannya. Kecuali celak mata dan semir kuku dengan daun pacar, demikian diingatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Jilbab al-Mar’atul Muslimah (hlm. 89).

Maka dari itu, sudah semestinya para ulama, dai, dan tokoh masyarakat menganjurkan dan memotivasi kaum hawa untuk menutup seluruh tubuh mereka dengan jilbab dari ujung rambut sampai ujung kaki, terutama di zaman sekarang ini, untuk meredam fitnah dan mencapai keafdalan menurut kesepakatan seluruh ulama dari ragam pendapat yang ada. Mereka harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dengan memakaikan jilbab kepada para istri, putri, dan saudari mereka.

Sangat disayangkan, kenyataan yang ada justru sebaliknya. Banyak pihak yang meremehkan masalah jilbab dengan alasan ada ulama yang berpendapat tidak wajib. Bahkan, pada umumnya mereka memerangi jilbab dan hijab sehingga tanpa sadar menjadi corong musuh-musuh agama yang ingin melenyapkan syariat jilbab dan hijab.

b. Tidak boleh memakai pakaian perhiasan.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (an-Nur: 31)

Keumuman ayat ini mencakup pakaian lahir, jika penuh perhiasan yang membuat pandangan lelaki tertuju padanya. Demikian uraian asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Jilbab (hlm. 119). Beliau membawakan penjelasan al- Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya al-Kabair (hlm. 131),

“Termasuk tindakan yang menyebabkan wanita dilaknat adalah menampakkan perhiasan, emas, dan berlian di balik cadarnya; memakai minyak wangi misik, anbar, dan parfum saat keluar rumah; memakai (pakaian) dengan ragam warna, sarung sutra, kain-kain pendek dipadu dengan baju panjang berlengan luas dan panjang; ini semua adalah tabarruj yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Pelakunya dimurkai di dunia dan akhirat. Karena perilaku-perilaku yang biasa dilakukan kaum wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

‘Saya pernah melihat neraka, ternyata saya menyaksikan mayoritas penghuninya adalah wanita’.”

Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Apakah diperbolehkan seorang wanita keluar rumah dengan pakaian yang penuh hiasan/aksesoris?”

Mereka menjawab, “Seorang wanita tidak diperbolehkan keluar rumah dengan pakaian penuh perhiasan yang menarik perhatian. Sebab, hal itu dapat menggoda kaum lelaki dan memfitnah agama mereka. Bahkan, bisa jadi mendorongnya untuk merusak ‘kehormatan’ wanita tersebut.” (Fatawa al-Lajnah 17/100)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang wanita yang memakai abaya (sehelai pakaian terusan yang menutup kepala hingga kaki, mirip dengan mukena tertentu) penuh motif dan hiasan.

Beliau menjawab, “Kewajiban semua wanita untuk mewaspadai tabarruj dengan pakaian indah (penuh hiasan), baik itu abaya maupun yang lainnya. Selain itu, ia wajib menutup (aurat) dan tidak menampakkan perhiasannya sedikit pun. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ

‘Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya, hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami atau ayah mereka.”

Juga firman-Nya,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.”

Para ulama menafsirkan ayat ini dengan menampakkan keindahan dan hal-hal yang menimbulkan fitnah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam), mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” Wallahu waliyyut taufiq. (al-Mausu’ah al-Baziyah, 3/1540—1541)

Yang perlu diingatkan di sini, pakaian wanita yang berwarna selain putih atau hitam tidaklah termasuk perhiasan. Sebab, wanita boleh berpakaian selain warna hitam, karena hitam bukan syarat pakaian muslimah, walaupun lebih afdal memakai pakaian hitam.

Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Apakah hijab muslimah khusus dengan warna hitam atau umum pada semua warna?”

Mereka menjawab, “Pakaian wanita muslimah tidak khusus berwarna hitam. Mereka boleh memakai pakaian warna apa saja selama menutup auratnya, tidak tasyabuh (menyerupai) dengan lelaki, tidak ketat yang membentuk tubuhnya, tidak tipis (transparan/menerawang), dan tidak pula mengundang godaan.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 17/108)

3. Pakaiannya harus tebal, tidak tipis transparan

Upaya menutup aurat tidak akan tercapai kecuali dengan pakaian tebal. Adapun pakaian menerawang yang memperlihatkan tubuh wanita secara transparan, justru akan semakin menambah fitnah. Selain itu, hal ini jelas termasuk tabarruj yang dikecam, berpakaian namun telanjang.

Abdullah bin ’Amr radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ، عَارِيَاتٌ، عَلَى رُءُوسِهِنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ، الْعَنُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ

“Akan ada di generasi akhir umatku, wanita-wanita berpakaian tapi telanjang. Kepala mereka seperti punuk-punuk unta, laknatlah mereka! Karena mereka adalah wanita-wanita terlaknat.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam ash- Shaghir hlm. 232, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Jilbab hlm. 125)

Ibnu Abdil Barr rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud beliau adalah kaum wanita yang memakai pakaian tipis yang membentuk (tubuh) dan tidak menutup (aurat). Secara istilah, mereka berpakaian, namun hakikatnya telanjang.” (Tanwirul Hawalik 3/103 karya as-Suyuthi dan lihat pula Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 17/106)

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah dalam kitabnya az-Zawajir (1/127) menganggap pakaian tipis transparan yang menampakkan warna kulit dan tubuh sebagai dosa besar, dan berhujah dengan dalil di atas.

4. Pakaiannya harus panjang lagi longgar, tidak sempit atau ketat.

Tujuan pakaian adalah menghindari dari ketergodaan, dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan pakaian lebar dan longgar. Adapun pakaian sempit atau ketat, walaupun menutupi kulit, namun tetap menampakkan lekuk sebagian atau seluruh tubuh, yang ini jelas mengundang godaan, seolah-olah telanjang. Apalagi dengan kain yang sewarna dengan kulitnya, lebih besar lagi dosanya bila dipadu dengan pakaian mini lagi transparan. Hadits pada poin sebelumnya juga sebagai dalil untuk poin ini karena termasuk makna “berpakaian tapi telanjang.”

Termasuk dalam ancaman hadits tersebut adalah pantolan ketat atau jeans yang dikenakan kaum wanita, di samping tasyabuh dengan orang kafir, juga membentuk lekuk tubuh.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Tidak diperbolehkan bagi wanita memakai pakaian yang tasyabuh dengan lelaki atau tasyabuh dengan wanita kafir. Begitu pula tidak diperbolehkan memakai pakaian ketat yang menampakkan lekuk tubuh secara detail dan menimbulkan fitnah. Pantalon yang padanya terdapat semua larangan di atas, maka tidak boleh dipakai.” (al-Muntaqa, 3/474)

Dalam kitab yang sama (3/475) beliau juga menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi wanita memakai pakaian ketat di hadapan wanita yang lain atau mahramnya. Sebab, seorang wanita diperintahkan menutupi auratnya dari semua pihak kecuali suaminya.

Ummu Salamah as-Salafiyah dalam kitabnya, al-Fatwa fi Zinati binti Hawa (hlm. 61—68), menyebutkan lima alasan diharamkannya pakaian ini.

1. Tasyabuh dengan orang kafir karena model pakaian seperti ini datang dari mereka.

2. Membuka/menampilkan aurat.

3. Mayoritas pemakainya adalah wanita yang sudah tidak punya rasa malu dan wanita fasik.

4. Menghamburkan uang hanya demi memenuhi selera mendapatkan ragam model dan bentuk pakaian tersebut.

5. Mayoritas pemakainya begitu bangga dengan pakaian, model, dan harganya.

Al-‘Allamah al-Albani rahimahullah menyebutkan fenomena wanita masa kini dalam hal berpakaian yang harus diperingatkan, di antaranya:

1. Sebagian muslimah bersemangat menutupi bagian rambut dan dadanya, namun memakai pakaian ketat atau mini yang tidak sampai betisnya, atau menutupi bagian paha sampai kakinya dengan kaos kaki sewarna dengan kulitnya (stoking).

2. Ada pula yang memakai pakaian mini sampai betis lalu memakai kaos kaki yang membentuk betisnya dan hanya menggunakan kerudung (khimar) tanpa jilbab. (Jilbab hlm. 133—134)

Masih banyak lagi fenomena lain yang serupa atau lebih parah di zaman sekarang. Tragisnya, masyarakat muslim menganggapnya sebagai busana muslimah dan simbol Islam, padahal hakikatnya adalah busana fitnah yang merupakan makar besar musuh-musuh Islam. Wallahul musta’an.

5. Tanpa berparfum

Banyak sekali hadits yang melarang wanita memakai parfum ketika keluar rumah walaupun menuju masjid untuk shalat berjamaah.

Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ، فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Wanita mana pun yang memakai parfum lalu melewati suatu kaum supaya mereka mencium aromanya maka dia adalah pezina.” (HR. Ahmad 4/400, 413, Abu Dawud no. 4173, dan at-Tirmidzi no. 2786; dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Jilbab hlm. 137)

Zainab ats-Tsaqafiyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kaum wanita,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا

“Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, janganlah dia memakai parfum.” (HR. Muslim no. 443)

Apabila pergi menuju ke masjid untuk beribadah (shalat berjamaah) saja seorang wanita dilarang memakai parfum, lalu bagaimana halnya dengan keluar ke mal, jalan umum, dan tempat keramaian lainnya?! Tentu larangannya lebih keras lagi, terutama apabila keluar rumah di malam hari karena fitnahnya lebih dahsyat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ

“Siapa pun wanita yang memakai parfum, dia tidak boleh menghadiri jamaah shalat isya bersama kami.” (HR. Muslim no. 444 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah dalam az-Zawajir (2/37) menyebutkan bahwa keluarnya wanita dari rumahnya dengan memakai parfum dan berhias termasuk dosa besar walaupun diizinkan oleh suaminya.

6. Tidak boleh menyerupai pakaian lelaki

Sebelumnya telah dibahas beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini dan ketentuan-ketentuannya. Dari Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, dia berkata, ada yang bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Sesungguhnya ada seorang wanita memakai sandal (yang biasa dipakai lelaki).” Beliau radhiyallahu ‘anha menjawab,

الرَّجُلَةَ مِنَ النِّسَاءِ  لَعَنَ رَسُولُ ا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang menyerupai pria.” (HR. Abu Dawud no. 4099, dinyatakan sahih oleh al- Albani dalam Jilbab hlm. 146 dengan penguat-penguatnya)

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan dalam al-Kabair (hlm. 129) dan Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah dalam az-Zawajir (1/126) memasukkan perbuatan wanita yang menyerupai pria sebagai dosa besar.

Al-Albani rahimahullah menerangkan setelah membawakan riwayat dari keterangan sejumlah ulama di atas menyatakan, “Dari apa yang telah diuraikan sebelumnya, menjadi pasti bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan berpakaian menyerupai model pakaian lelaki. Jadi, tidak halal bagi wanita mengenakan rida (semacam pakaian atas kain ihram), sarung, dan pakaian pria lainnya, seperti yang dilakukan sebagian wanita muslimah zaman ini. Mereka memakai apa yang disebut ‘jaket’ dan ‘pantalon’ walaupun secara kenyataan lebih menutupi (kulitnya)….” (Jilbab hlm. 150)

Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang wanita memakai baju putih?”

Jawab, “Tidak boleh bagi seorang wanita memakai pakaian putih apabila pakaian putih di negaranya menjadi simbol dan kekhususan kaum lelaki, karena ada unsur tasyabuh dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang tasyabuh dengan pria!” (Fatawa al-Lajnah 17/94—5)

Al-Lajnah ad-Daimah juga ditanya, “Apa hukum seorang wanita meletakkan kain abayanya di pundak?”

Jawab, “Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita meletakkan abayanya di kedua pundaknya ketika keluar rumah karena ada unsur tasyabuh dengan lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang berpakaian seperti pakaian lelaki dan (melaknat) lelaki yang berpakaian seperti pakaian wanita.” (Fatawa al- Lajnah 17/107)

7. Tidak boleh menyerupai pakaian wanita kafir

Telah dijelaskan sebelumnya dalildalil berikut ketentuan-ketentuannya dalam masalah ini.

8. Tidak boleh memakai pakaian kemasyhuran

Hal ini telah dijelaskan juga sebelumnya tentang dalil-dalil berikut ketentuan-ketentuannya. (lihat penjabaran luas dan syarat ini dalam Jilbab al-Mar’ah Muslimah karya al-Albani)

Ditulis oleh Ustadz Muhammad Afifuddin

pakaianwanita