Kebodohan Merusak Kebersamaan

Orang-orang yang cerdas dan berilmu niscaya mengetahui betapa pentingnya kebersamaan. Oleh karena itu, mereka benar-benar menjaga kebersamaan dalam jamaah kaum muslimin dan penguasa (pemerintah)-nya. Adapun orang-orang yang bodoh, sama sekali tidak mengerti betapa pentingnya kehidupan berjamaah dengan satu penguasa. Bahkan, mereka tidak mengerti mana yang lebih banyak antara satu dan sepuluh. Yakni, mana yang lebih besar; korupsi, kolusi, atau nepotisme (KKN) ataukah pertumpahan darah kaum muslimin dalam perang saudara.

Seorang yang berilmu mengetahui bahwa dengan mengikuti bimbingan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut penerapannya yang dicontohkan salafus shalih, pasti kaum muslimin akan terbimbing ke jalan yang terbaik. Maka dari itu, ia akan menghadapi penguasa yang zalim dengan petunjuk dan bimbingan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun orang-orang yang bodoh berjalan bersama emosi dan hawa nafsunya, tanpa meminta bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka merasa lebih pandai dan lebih cerdas dari para nabi dan para ulama yang merupakan para pewarisnya. Merekalah kaum reaksioner Khawarij, yang selalu menyebabkan petaka dan bencana di setiap zaman. Mereka tidak memperbaiki keadaan—seperti pengakuan mereka, tetapi justru menghancurkan kebersamaan.

Baca juga: Pelajaran dari Sejarah Munculnya Khawarij

Banyak tulisan mereka yang sampai kepada tangan penulis, dalam bentuk surat, selebaran, ataupun makalah-makalah. Hampir seluruhnya berisi “dalil-dalil” dan “bukti-bukti” tentang kafirnya penguasa, yang kemudian berujung menghalalkan darah mereka. Tentu saja, dengan nama samaran, alamat palsu, dan penerbit yang tidak jelas. Namun, seperti CD yang diputar ulang, isinya tetap sama seperti ucapan Khawarij yang pertama, “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia kafir.”

Tentu saja, jawaban kita Ahlus Sunnah seperti jawaban Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan para sahabat yang lain, “Kalimat yang haq, tetapi yang dimaukan adalah kebatilan.” Maksudnya, ayat-ayat dan hadits-hadits dalam tulisan mereka adalah kalimat-kalimat yang haq dan kita tidak membantahnya. Namun, apa yang dimaukan dengannya?

Diriwayatkan dari Ubaid bin Rafi’ bahwa ketika kaum Khawarij mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah,” Ali radhiallahu anhu pun berkata, “Kalimat yang haq, tetapi yang mereka maukan adalah kebatilan. Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada kami suatu kaum sehingga kami pun mengenalinya. (Mereka) adalah sekelompok orang yang berbicara kebenaran, tetapi tidak melewati ini—sambil mengisyaratkan ke tenggorokannya. Mereka adalah makhluk-makhluk yang paling dibenci Allah ….” (HR. Muslim, “Kitab az-Zakah” 7/173)

Baca juga: Khawarij, Kelompok Sesat Pertama dalam Islam

Kalau saja mereka menulis dalil-dalil tersebut dalam rangka memperingatkan dan mengancam, kami pun sepakat. Sebab, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan dalam masalah wa’id (ancaman), “Biarkanlah ancaman seperti apa adanya agar manusia menjadi takut.”

Namun, ketika men-ta’yin (menentukan si Fulan atau si Allan) kafir, tentu kita harus merincinya. Sebab, pada dalil-dalil itu, bisa jadi yang dimaksud adalah kufur ashghar (kafir kecil) atau kufur akbar (kafir besar), kafir amali atau kafir i’tiqadi, dan lain-lain. Yang kita bahas kali ini adalah kebodohan mereka dalam penerapan dalil-dalil tersebut dan akibat dari kebodohan mereka.

Adapun kebodohannya, sangat jelas sekali. Mereka menerapkan dalil-dalil terhadap orang-orang yang masih shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat, dan pergi haji. Bukankah di antara hukum Allah subhanahu wa ta’ala yang mendasar adalah ibadah tersebut? Berarti mereka—paling tidak—masih berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala dalam perkara-perkara yang sangat penting tersebut, yang merupakan dasar-dasar keislaman. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kita untuk memerangi penguasa yang masih shalat.

Baca juga: Sosok yang Suci Bukan Syarat Penguasa Negeri

Diriwayatkan dari Auf bin Malik radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ، وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik penguasa kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan (kebaikan, pent.) mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek penguasa kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.”

Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?”

Beliau bersabda, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari penguasa kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, bencilah perbuatannya, tetapi jangan mencabut tangan kalian dari ketaatan.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/1481 cet. Daru Ihyaut Turats al-Arabi, Beirut cet. 1; dari jalan Yazid bin Yazid, dari Zuraiq bin Hayyan, dari Muslim bin Qaradhah, dari Auf radhiallahu anhu)

Baca juga: Kedudukan Penguasa dalam Syariat

Ibnu Allan rahimahullah wa ghafarallahu lahu (semoga Allah merahmati dan mengampuni beliau) berkata, “Ucapan beliau ‘selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian’ adalah larangan memerangi mereka selama mereka masih menegakkan shalat. Shalat merupakan tanda-tanda keislaman mereka karena perbedaan antara kekafiran dan keislaman adalah shalat. Hal itu karena kekhawatiran akan timbulnya fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslimin, yang tentu lebih parah kemungkarannya daripada bersabar terhadap kejelekan dan kemungkaran yang muncul dari penguasa tersebut.” (Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin 1/473 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut)

Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata, “Mereka (Khawarij) adalah sejahat-jahat makhluk. Sebab, mereka membawa ayat-ayat yang turun tentang orang kafir kemudian diterapkan kepada kaum muslimin.” (Riwayat al-Bukhari rahimahullah, “Kitab Istitabatil Murtaddin” 8/51)

Maka dari itu, jangan teperdaya dengan banyaknya ucapan dari para ulama salaf, Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits, yang mereka nukilkan dalam tulisan-tulisan mereka. Semua itu hanya sesuatu yang dipakai untuk menutupi kebatilan mereka. Para ulama berbicara tentang bahayanya berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala dalam bentuk ancaman. Kemudian, mereka menyimpulkannya dengan pengkafiran kaum muslimin dan penghalalan darah secara ta’yin!

Baca juga: Hujah Lemah Paham Takfiriyah

Terlebih lagi, kebanyakan mereka berusia muda dan bodoh karena minimnya kedewasaan mereka. Jadi, mereka hanya mengandalkan semangat dan ‘otot’ saja, tanpa dilandasi oleh ilmu serta pertimbangan yang matang. Hal seperti ini pun digambarkan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai berikut.

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَاهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ لاَ يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya dan bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Imam al-Ajurri rahimahullah berkata tentang Khawarij, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama yang dahulu maupun sekarang bahwa Khawarij adalah kaum yang sangat jelek. Mereka bermaksiat kepada Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam walaupun mereka melakukan shalat, puasa, dan bersungguh-sungguh beribadah.”

Akibatnya sangat fatal sekali. Dengan kebodohannya, mereka mengafirkan penguasa berikut aparaturnya, pendukungnya, dan semua yang tidak mengafirkan mereka. Kemudian, mereka menghalalkan darahnya serta membolehkan pemberontakan dan praktik-praktik teror. Ini sangat fatal karena mereka menjadikan citra Islam demikian menakutkan di mata manusia. Akhirnya islamofobia menjalar di masyarakat.

Baca juga: Mewaspadai Fitnah Takfir

Sungguh, para pengacau Khawarij memikul dosa besar atas rusaknya gambaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini. Padahal sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diutus membawa Islam ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya: 107)

Karikatur orang-orang kafir Denmark memang sangat menyakitkan. Namun, apa pemicu perbuatan mereka kalau bukan perbuatan para teroris banci?!

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya berperang melawan orang-orang kafir, tetapi mereka tetap berwibawa di hadapan kawan dan lawan. Mengapa? Karena perang mereka sangat gentle. Memerangi kafir harbi dan tidak memerangi kafir dzimmi, mu’ahad, dan utusan-utusan. Berhadapan muka, bukan dari belakang. Membunuh tentara mereka dan tidak membunuh warga sipil, wanita, dan anak-anak.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berjalan bersama pasukannya. Kemudian, beliau melihat orang-orang mengerumuni sesuatu. Beliau mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata didapati seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid radhiallahu anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

انْطَلِقْ إِلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ فَقُلْ لَهُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَمَّ يَأْمُرُكَ يَقُولُ: لَا تَقْتُلَنَّ ذُرِّيَّةً وَلَا عَسِيفًا

“Pergilah kepada Khalid dan katakanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya, Rasulullah melarangmu membunuh dzurriyyah (wanita dan anak-anak) dan pekerja (warga sipil)’.” (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

قُلْ لِخَالِدٍ: لاَ تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلاَ عَسِيْفًا

“Katakan kepada Khalid, ‘Jangan ia membunuh wanita dan pekerja’.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan ath-Thahawi. Lihat ash-Shahihah karya Syaikh al-Albani rahimahullah, 6/314)

Baca juga: Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad

Dengan kata lain, kebodohan kaum reaksioner Khawarij telah menyuburkan berbagai bentuk kerusakan, di antaranya: meruntuhkan kebersamaan kaum muslimin, pertumpahan darah sesama muslim, kekacauan, dan yang lebih parah lagi adalah rusaknya citra Islam. Tidak mengherankan apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggambarkan mereka dengan gambaran-gambaran yang sangat jelek dan mengerikan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai anjing-anjing neraka, sejelek-jelek bangkai di bawah naungan langit, dan lain-lain.

Diriwayatkan dari Abu Ghalib rahimahullah bahwa ia berkata,

“Pada saat aku berada di Damaskus, tiba-tiba didatangkanlah tujuh puluh kepala dari tokoh-tokoh Haruriyah (Khawarij) dan dipasang di tangga-tangga masjid. Pada saat itu, datanglah Abu Umamah—sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam—kemudian masuk ke masjid. Beliau shalat dua rakaat, lalu keluar menghadap kepala-kepala itu. Beliau memandangnya beberapa saat sambil meneteskan air mata. Kemudian, beliau berkata, “Apa yang dilakukan oleh iblis-iblis ini terhadap ahlul Islam?” (tiga kali diucapkan). Beliau berkata lagi, “Anjing-anjing neraka.” (juga tiga kali diucapkan).

Kemudian, beliau berkata,

هُمْ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمْاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوْهُ

“Mereka adalah sejelek-jelek bangkai di bawah naungan langit. Sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka.” (tiga kali)

Baca juga: Cara Menasihati Penguasa

Kemudian, beliau menghadap kepadaku seraya berkata, “Wahai Abu Ghalib, sesungguhnya engkau berada di negeri yang banyak tersebar hawa nafsu dan banyak kekacauan.”

Aku menjawab, “Ya.”

Beliau berkata, “Semoga Allah melindungimu dari mereka.”

Aku katakan, “Tetapi, mengapa engkau menangis?”

Beliau menjawab, “Karena kasih sayangku kepada mereka. Sesungguhnya mereka dahulu adalah golongan Islam (di atas Islam yang benar).”

Aku bertanya kepadanya, “Apakah yang kau sampaikan itu sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau sesuatu yang kau sampaikan dari pendapatmu sendiri?!”

Beliau menjawab, “Kalau begitu, berarti aku sangat lancang jika aku menyampaikan apa yang tidak aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya—hingga beliau menyebutnya sampai tujuh kali.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari’ah hl. 156)

Baca juga: Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena

Diriwayatkan pula dari Said bin Jahman, beliau berkata, “Saya masuk menemui Ibnu Abi Aufa dalam keadaan beliau telah buta. Aku memberikan salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku. Kemudian, dia bertanya, “Siapakah engkau ini?”

Aku menjawab, “Saya Said bin Jahman.”

Dia bertanya lagi, “Apa yang terjadi pada ayahmu?”

Aku menjawab, “Dia dibunuh oleh sekte Azariqah (salah satu sekte Khawarij).”

Ibnu Abi Aufa lantas mengatakan tentang Azariqah, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memerangi Azariqah. Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami,

أَلآ إِنَّهُمْ كِلاَبُ أَهْلِ النَّارِ

“Ketahuilah bahwa mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka.”

Aku bertanya, “Apakah sekte Azariqah saja atau seluruh Khawarij?”

Beliau menjawab, “Seluruh Khawarij.” (as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim rahimahullah hlm. 428; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah)

Sebaliknya, kita melihat orang-orang yang cerdas dan berilmu, yaitu para sahabat radhiallahu anhum ketika mengalami masa-masa fitnah. Di antaranya adalah Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu anhu yang—konon katanya[1]—diusir oleh Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Beliau lalu pergi ke Syam. Ternyata di Syam pun terjadi perselisihan dengan gubernurnya, yaitu Muawiyah radhiallahu anhu. Ia pun keluar dari Syam dan tinggal di desa terpencil yang bernama Rabadzah. Apa sikap beliau? Apakah ia bergabung bersama Khawarij memerangi penguasa untuk membela pribadinya?

Baca juga: Etika Terhadap Penguasa

Sungguh, itulah dugaan kaum reaksioner Khawarij kepada Abu Dzar radhiallahu anhu. Akan tetapi, Abu Dzar tidak sebodoh yang mereka sangka. Mereka datang ke Rabadzah dan mengatakan kepada beliau, “Kibarkanlah bendera untuk kami! Niscaya kami akan menjadi tentaramu melawan Khalifah Utsman!”

Abu Dzar pun menjawab, “Demi Allah, kalaupun Utsman mengusirku ke timur atau ke barat, niscaya aku akan mendengar dan taat.” (ath-Thabaqat al-Kubra, Ibnu Saad, 4/227, melalui kitab Mauqif ash-Shahabah fil Fitnah karya Dr. Muhamad Amhazun 1/457)

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah rahimahullah, Abu Dzar radhiallahu anhu berkata, “Wahai ahlul Islam, jangan kalian tawarkan kejelekan kalian kepadaku! Jangan kalian jatuhkan kehormatan penguasa. Sebab, sesungguhnya barang siapa menghinakan penguasa (muslim), Allah subhanahu wa ta’ala akan menghinakannya.” (al-Mushannaf, 15/227 melalui kitab Mauqif ash-Shahabah fil Fitnah 1/457)

Jangan kita mengatakan bahwa sikap tersebut khusus karena penguasanya adalah seorang sahabat yang mulia, Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Jangan bodoh atau berpura-pura bodoh! Bukankah pelajaran yang kita ambil adalah dari keumuman lafaznya, yaitu “penguasa muslim”? Bahkan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan akan ada penguasa yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia, tidak mengikuti As-Sunnah. Namun, beliau shallallahu alaihi wa sallam tetap menasihati untuk bersabar dan menahan diri selama masih shalat (lihat kembali di sini).

Baca juga: Menyikapi Penguasa yang Kejam

Sungguh, kita tidak sedang membela para penguasa. Tidak pula menyamakan penguasa kita dengan Utsman bin Affan. Jauh sekali perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, kita mengajak kaum muslimin untuk menghitung dengan hitungan hikmah dan As-Sunnah. Agar kita tidak terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar, menyalakan api peperangan sesama kaum muslimin, mengacaukan keamanan yang akan merusak kehidupan kaum muslimin, dan lain-lain, dengan mengatasnamakan dakwah dan jihad.

Wallahul musta’an.


Catatan Kaki

[1] Saya katakan, “Konon katanya,” karena ternyata riwayatnya tidaklah benar. Abu Dzar radhiallahu anhu tidaklah diusir, tetapi menyendiri atas kemauannya sendiri karena perbedaan pendapat yang terjadi antara beliau dan beberapa sahabat yang lain.

(Ustadz Muhammad Umar as-Sewed)

ketaatan kepada pemerintahkhawarijmenasihati penguasapenguasapenguasa yang kejamsikap terhadap penguasa