Dalam sebuah hadits yang agung, tersebut sabda Khairul Anam shallallahu ‘alaihi wa salam,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 45)
Sebagai pembawa ajaran akhlak yang paling luhur, beliau shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri berada pada puncak kemuliaan akhlak. Hal ini sebagaimana persaksian Rabbnya ‘azza wa jalla,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
“Dan sungguh engkau di atas akhlak yang agung.” (al-Qalam: 4)
Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam , istri beliau Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Maknanya, menurut al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berpegang dengan al-Qur’an dalam perintah dan larangan yang ada di dalamnya. Beliau menjadikan aturan al-Qur’an sebagai perilaku dan akhlak beliau. Beliau meninggalkan tabiat asli beliau (apabila tidak sesuai dengan al-Qur’an). Jadi, apa saja yang diperintahkan oleh al-Qur’an, beliau lakukan. Sebaliknya, apa saja yang dilarang oleh al-Qur’an, beliau tinggalkan.
Hal ini bersamaan dengan tabiat asli beliau berupa akhlak yang agung yang Allah subhanahu wa ta’ala jadikan ada pada diri beliau, seperti sifat malu, dermawan, pemberani, mudah memaafkan, sangat penyabar, dan seluruh akhlak yang indah. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mempersaksikan, sebagaimana ternukil dalam ash-Shahihain,
“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam selama sepuluh tahun. Tidak pernah beliau berkata ‘uf’[1] kepadaku sama sekali. Tidak pula beliau berkata terhadap sesuatu yang telah aku lakukan, ‘Mengapa kamu lakukan itu?’ Tidak pula berkomentar terhadap sesuatu yang belum kulakukan ‘Mengapa kamu tidak melakukannya?’.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam adalah manusia yang paling bagus akhlaknya. Aku tidak pernah menyentuh sutra dan sesuatu yang lain, yang lebih halus daripada telapak tangan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam. Belum pernah pula aku mencium wangi misik dan tidak pula minyak wangi lain, yang lebih harum daripada keringat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.” (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 8/150)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjanjikan kecintaan beliau dan kedekatan majelis dengan beliau di hari kiamat kelak bagi orang yang terbaik akhlaknya. Sahabat yang mulia, putra dari sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, menyampaikan berita ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ وَأَقْرَبِكُمْ مِنّيِ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقًا
“Sungguh, orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat majelisnya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. at-Tirmidzi, ash-Shahihah no. 791)
Lebih dari itu, berperilaku dengan akhlak yang baik menyebabkan seorang hamba dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu memberitakan,
كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ كَأَنَّمَا عَلَى رُؤُوْسِناَ الطَّيْرُ، مَا يَتَكَلَّمُ مِنَّا مُتَكَلِّمٌ، إِذْ جَاءَ أُنَاسٌ فَقَالُوْا: مَنْ أَحَبُّ عِبَادِ اللهِ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: أَحْسَنُهمْ خُلُقًا
“Kami tengah duduk-duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, seakan-akan di atas kepala-kepala kami ada burung yang hinggap[2]. Tidak ada seorang pun dari kami yang berbicara. Tiba-tiba ada orang-orang yang datang lalu bertanya, ‘Siapakah di antara hamba-hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya?’ Nabi menjawab, ‘Yang paling bagus di antara mereka akhlaknya’.” (HR. ath-Thabarani, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 432 dan Shahih al-Jami’ no. 179)
Bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencintai pelakunya, sementara Dia subhanahu wa ta’ala mencintai akhlak yang tinggi dan membenci yang sebaliknya?!
Dari Sahl bin Sad radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai akhlak yang tinggi dan membenci akhlak yang rendah/hina.” (HR. al-Hakim, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1378 dan Shahih al-Jami’ no. 1889)
Kebaikan Islam seseorang pun dikaitkan dengan kebagusan akhlaknya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
خَيْرُكُمْ إِسْلاَمًا أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا إِذَا فَقُهُوْا
“Sebaik-baik keislaman seseorang dari kalian adalah yang paling bagus dari kalian akhlaknya, jika mereka faqih.” (HR . al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 3312)
Makna “ jika mereka faqih”, diterangkan oleh al-Munawi rahimahullah, “Jika mereka memahami perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala (taat dalam perintah tersebut) dan larangan-larangan-Nya (menjauhi apa yang dilarang-Nya), serta berjalan di atas manhaj al-Kitab dan as-Sunnah.” (Faidhul Qadir, 3/500)
Satu lagi yang menggiurkan dari amalan ini, seperti yang diberitakan oleh Abud Darda radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنَ الْخُلُقِ الْحَسَنِ
“Tidak ada suatu amalan pun yang paling berat dalam timbangan (seorang hamba) daripada akhlak yang bagus.” (HR . Ahmad, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah 2/564)
Nah, bertolak dari keutamaan dan keagungan akhlak yang baik tersebut, seorang muslimah harus bersemangat untuk berhias diri dengannya. Dia bergaul dengan manusia dengan keluhuran akhlak dan kebagusan budi pekertinya, sebagaimana perintah sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam yang tersampaikan lewat dua sahabat yang mulia, Abu Dzar Jundab ibnu Junadah dan Muadz ibnu Jabal radhiallahu ‘anhuma,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang bagus.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmdizi dan al-Misykat no. 5083)
Maknanya, kata al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah, “Pergaulilah manusia dengan pergaulan yang Anda suka mereka bergaul denganmu seperti itu.”
Kemudian Ibnu Daqiqil ‘I ed rahimahullah membawakan hadits tentang keutamaan akhlak, lalu berkata, “Akhlak yang baik adalah sifat para nabi, para rasul, dan orang-orang terbaik dari kalangan mukminin. Mereka tidak membalas kejelekan dengan kejelekan. Mereka justru memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berlaku jelek kepada mereka.” (Syarhu al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, hlm. 53)
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi (2/1654) disebutkan penjelasan hadits di atas,
“Bercampur dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik. Maksudnya, mempergauli mereka dengan pergaulan yang indah dan semisalnya, seperti berwajah cerah berseri (ketika bertemu saudara), rendah hati, lembut, ramah, tidak kaku, mencurahkan kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut diharapkan akan beroleh kesuksesan di dunia. Di akhirat kelak dia akan beruntung dan selamat.”
Oh ya, apa sebenarnya hakikat ‘akhlak yang mulia’ yang sedang kita bicarakan?
Kata al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Hakikat hasanul khulq (akhlak yang baik) adalah mencurahkan kebaikan, menahan gangguan, dan wajah berseriseri (bermuka manis).” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim)
Al-Imam al-Mujahid Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah menyifati akhlak yang baik dengan, “Wajah berseri-seri, mencurahkan segala kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu orang lain.” (Tafsir al-Qurthubi)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyatakan, akhlak yang baik adalah bergaul dengan manusia dengan pergaulan yang indah, wajah cerah berseri, mencintai mereka, kasih sayang kepada mereka, bersabar terhadap mereka dalam apa yang tidak disukai, tidak merasa besar diri, tidak melanggar kehormatan mereka, menjauhi sikap kaku keras, marah, dan menuntut balas.
Di antara akhlak mulia ini ada yang merupakan tabiat seseorang, artinya dia terlahir dianugerahi sifat demikian. Ada pula yang diperoleh dengan mengupayakan agar dirinya bersifat demikian, melatih jiwanya dan mencontoh orang lain yang bersifat seperti itu.
Demikian dikatakan oleh al-Qadhi rahimahullah sebagaimana dinukilkan dalam al-Minhaj.
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Akhlak yang baik adalah mencurahkan segala kebaikan, menahan diri dari mengganggu orang lain, berwajah cerah, dan tawadhu’ (rendah hati). Berita yang disebutkan dalam hadits mengandung anjuran yang besar agar seseorang berakhlak dengan akhlak yang baik. Sebab, akhlak yang baik dikaitkan dengan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada pelakunya.
Sepantasnya setiap muslim berambisi besar untuk meraihnya. Dalam berita yang datang (dari Rasul) juga ada isyarat bahwa akhlak yang baik itu bisa diupayakan dan dilatih. Sebab, jika tidak demikian, niscaya perangai ini hanya khusus dimiliki orang yang memang terlahir dengan tabiat demikian. Konsekuensinya, tidak ada maknanya dorongan dan anjuran untuk bersifat dengannya….” (Faidhul Qadir)
Keterangan di atas cukuplah menjelaskan kepada kita tentang maksud akhlak yang baik menurut pandangan syariat.
Seperti yang telah dinyatakan di atas, seorang muslimah harus berhias diri dengannya. Dia tidak boleh tidak peduli terhadap akhlaknya, padahal agamanya mengutamakan urusan akhlak. Sampai-sampai dalam senandung doanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pernah meminta,
اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي
“Ya Allah, Engkau telah membaguskan penciptaanku, maka mohon baguskanlah (pula) akhlakku.” (HR . Ahmad, dinyatakan sahih dalam Irwaul Ghalil no. 74)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak yang mungkar.” (HR . at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
(Insya Allah Bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Kalimat kasar/hardikan yang paling ringan.
[2] Diibaratkan demikian karena tenang dan diamnya mereka.