(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Merinci pembicaraan kita dalam edisi yang lalu, berikut ini kita mencoba menyebutkan beberapa kesalahan yang ada pada suami.
1. Tidak memedulikan pengajaran diniyah (agama) untuk istri
Mendidik istri adalah tanggung jawab suami, sebagai perwujudan firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (at-Tahrim: 6)
Termasuk bentuk menjaga keluarga dari api neraka adalah menjaga istri dengan memberikan pengajaran agama kepadanya. Seperti kata Ali ibnu Abi Thalib z, “Didik dan ajarilah mereka.” Ibnu Abbas c berkata, “Amalkanlah ketaatan kepada Allah l, takutlah berbuat maksiat kepada Allah l, dan perintahkanlah keluarga kalian untuk berzikir, niscaya Allah l akan menyelamatkan kalian dari api neraka.” Qatadah mengatakan, “Engkau memerintahkan mereka agar taat kepada Allah l dan melarang mereka bermaksiat. Engkau menegakkan mereka dengan perintah Allah l. Engkau menyuruh dan membantu mereka mengerjakan perintah Allah l. Apabila melihat mereka berbuat maksiat, hendaknya engkau melarang dan memperingatkan mereka.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 8/133)
Karena suami yang bersikap ‘masa bodo’ atau pura-pura bodoh ini, dijumpai adanya istri yang tidak mengetahui cara shalat yang benar. Ada yang tidak mengerti hukum haid dan nifas. Bahkan, ada yang tidak mengetahui cara bergaul dengan suaminya yang sesuai dengan syariat. Demikian pula bagaimana cara yang baik dan Islami dalam mendidik anak-anaknya, dan seterusnya. Yang lebih parah, ada istri yang terjatuh dalam kesyirikan tanpa mereka sadari, seperti mendatangi dukun dan tukang sihir, memercayai khurafat, takhayul, jimat-jimat, dan sebagainya.
Untuk urusan masak-memasak, istri sampai mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk belajar masakan Eropa, Jepang, atau lainnya karena suami menuntutnya harus pandai dari sisi ini. Namun, bagaimana cara shalat yang benar, yang didahului oleh wudhu yang sempurna, suaminya tidak peduli. Suami yang seperti ini jelas tidak bertanggung jawab, padahal di hari akhir nanti setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya. Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ … وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya … Dan suami adalah pemimpin atas keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat an-Nasa’i disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعاَهُ، أََحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ، حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya, hingga seorang suami akan ditanyai tentang keluarganya.” (Disahihkan oleh al-Imam al-Albani t dalam ash-Shahihah no. 1636)
Rasulullah n sendiri mementingkan pengajaran ilmu kepada wanita sehingga menyempatkan waktu beliau n yang diberkahi untuk mengajari wanita sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut.
Abu Sa’id al-Khudri z berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah n, lalu berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيْثِكَ، فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِكَ فِيْهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللهُ. فَقَالَ: اجْتَمِعْنَ فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذا، فِي مَكَانِ كَذَا. فاَجْتَمَعْنَ فَأَتَاهُنَّ فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ
“Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah pergi membawa haditsmu. Maka dari itu, berikanlah untuk kami satu hari khusus yang kami dapat mendatangimu untuk belajar kepadamu dari ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu.”
Beliau pun bersabda, “Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu, di tempat ini (beliau menyebutkan waktu dan tempat tertentu).”
Mereka pun berkumpul pada hari dan tempat yang telah dijanjikan. Rasulullah mendatangi mereka dan mengajarkan kepada mereka dari ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada beliau. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Beliau n juga tidak mengecilkan pengajaran ilmu syar’i terhadap para istri. Oleh karena itu, pernah beliau n menikahkan seorang wanita dengan seorang pria dengan mahar berupa ayat Al-Qur’an, sementara Al-Qur’an adalah sumber ilmu.
Dikisahkan dalam hadits Sahl ibnu Sa’id z bahwa ada seorang wanita yang menghibahkan dirinya1 kepada Rasulullah n, namun beliau n tidak menginginkan wanita tersebut. Akhirnya, salah seorang yang hadir di tempat itu meminta agar beliau n menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah n lalu bertanya, “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Pergilah kepada keluargamu dan lihatlah. Mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah n.
Laki-laki itu pun pergi. Tidak berapa lama ia kembali dan mengatakan, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.
Rasulullah n bersabda, “Lihatlah lagi dan carilah, walaupun hanya cincin dari besi.”
Laki-laki itu pergi lagi. Tidak berapa lama ia kembali. Ia mengatakan, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan meskipun hanya cincin dari besi. Tetapi, ini ada izar (sarung) saya. Setengahnya untuknya (sebagai mahar).”
Kata Rasulullah n, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya, tidak ada sama sekali izar ini pada istrimu. Jika ia memakainya, berarti engkau tidak memakainya sama sekali.”
Laki-laki itu pun duduk hingga berlalu waktu yang lama, lalu ia bangkit. Rasulullah n melihatnya berbalik pergi. Beliau n lalu menyuruh seseorang memanggilnya. Ketika telah berada di hadapan Rasulullah n, beliau bertanya, “Ada yang engkau hafal dari Al-Qur’an?”
“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
“Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah n.
“Iya,” jawabnya.
“Jika demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur’an yang engkau hafal,” kata Rasulullah n. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Apabila suami tidak bisa memberikan pengajaran agama secara langsung kepada istrinya karena keterbatasan yang ada, dia bisa menempuh cara lain agar tertunaikan kewajiban yang satu ini. Di antaranya, membawa istrinya ke majelis-majelis ilmu yang mungkin diadakan di masjid, atau di rumah, ataupun di tempat lain. Dia bisa memberikan dorongan kepada istrinya agar mencintai ilmu dan majelis ilmu. Dia menyiapkan buku-buku agama yang bisa dibaca oleh istrinya atau kaset-kaset ceramah, CD ilmiah, dan semisalnya sesuai dengan kemampuan yang ada.
2. Mencari-cari kesalahan dan menyelidik aib/cacat istri
Rasulullah n melarang seorang suami yang sekian lama meninggalkan istrinya (bepergian keluar kota) untuk kembali ke rumah dan keluarganya secara tiba-tiba tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Apatah lagi jika pulangnya malam hari. Jabir bin Abdillah c berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ يَطْرُقَ الرُّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Rasulullah n melarang seorang suami yang bepergian meninggalkan keluarganya untuk kembali mendatangi keluarganya pada malam hari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mengapa demikian aturannya? Karena, jika suami pulang pada malam hari tanpa memberi kabar sebelumnya, dikhawatirkan ia akan mendapatkan aib keluarganya. Mungkin istrinya dilihatnya berpenampilan yang tidak sedap dipandang mata karena belum mandi dan tidak berpakaian rapi. Bisa jadi, berpakaian ala kadarnya sebagaimana keadaan istri ketika suami tidak berada bersamanya di rumahnya. Mungkin, rumahnya kotor dan berantakan karena belum sempat dibersihkan dan dirapikan, atau keadaan-keadaan lainnya yang tidak disukainya.
Apalagi jika suami melakukannya bertujuan agar bisa menangkap basah istrinya, mengetahui aib, cacat, cela, dan kekurangannya. Padahal Rasulullah n menyatakan siapa yang mencari-cari aurat/keburukan saudaranya sesama muslim, niscaya Allah l akan mencari-cari aibnya. Barang siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah l niscaya Allah l akan membukanya walaupun ia berada di tengah-tengah rumahnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar c, ia berkata, “Rasulullah n naik mimbar lalu berseru dengan suara yang tinggi. Beliau n bersabda:
ياَ مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَّبَعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang-orang yang berislam dengan lisannya namun iman belum menembus ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Janganlah menjelekkan dan mencari-cari cela mereka. Barang siapa mencari-cari cela saudaranya sesama muslim, niscaya Allah akan mencari-cari celanya. Barang siapa yang dicari-cari celanya oleh Allah, niscaya Allah akan membeberkannya walaupun ia berada di tengah-tengah tempat tinggalnya.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan dalam al-Misykat no. 5044 dan Shahih Sunan at-Tirmidzi)
3. Menzalimi istri dengan menjatuhkan hukuman yang tidak semestinya
Di antara bentuk hukuman yang tidak semestinya adalah sebagai berikut.
a. Memukul istri padahal belum ditempuh jalan nasihat dan hajr (boikot).
Allah l berfirman:
“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, nasihatilah mereka dan tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa: 34)
Ayat di atas menunjukkan bahwa jika seorang istri berbuat nusyuz kepada suaminya, seperti tidak mau taat dalam urusan kebaikan yang diperintahkan oleh suami, hendaknya yang pertama kali dilakukan oleh suami adalah menasihati istri. Jangan langsung memukulnya. Jika nasihat tidak mempan, suami naik ke tahap berikutnya, yaitu mendiamkan si istri dan memunggunginya di tempat tidur.
Aturan ini juga dinyatakan oleh Rasulullah n dalam hadits berikut:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُْمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنََّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فيِ الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Ketahuilah, berpesan-pesan baiklah kalian kepada para wanita (istri)2, karena mereka hanyalah tawanan di sisi kalian. Tidaklah kalian menguasai dari mereka sedikitpun selain itu3, melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata4. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
b. Menampar wajah istri, mencerca, dan menjelekkannya.
Mu’awiyah bin Haidah z berkata, “Aku pernah bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّح وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?” Rasulullah n menjawab, “Engkau memberi makan istrimu jika engkau makan, dan engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau memukul wajahnya, jangan engkau menjelekkannya5, dan jangan menghajr/memboikotnya selain di dalam rumah6.” (HR. Abu Dawud, disahihkan asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 3/86)
4. Mengurangi nafkah istri
Nafkah yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya adalah suatu kewajiban yang tersebut dalam Al-Qur’an, sunnah serta ijma’/kesepakatan ulama. Allah l berfirman:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 233)
Pengertian ma’ruf adalah yang dianggap baik menurut syariat, tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, namun sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima oleh wanita semisalnya. Tentunya hal ini sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya. (Tafsir Ibni Katsir, 1/371)
Jika seorang istri diuji dengan mendapatkan suami kikir yang menahan haknya dalam nafkah tanpa kebolehan syar’i, ia diperkenankan mengambil harta suaminya sekadar yang mencukupinya dengan ma’ruf, meskipun suami tidak tahu. Hindun x, seorang sahabiyah yang mulia, pernah mengadu kepada Rasulullah n:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan (suaminya, -red.) adalah seorang yang kikir7. Ia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan anakku, melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya8.” Rasulullah n bersabda, “Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas, kata al-Imam an-Nawawi t, memberi faedah wajibnya menafkahi istri. (al-Minhaj, 11/234)
Andai para suami menyadari bahwa nafkah yang diberikannya kepada istri dan anak-anaknya adalah sedekah, karena Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ
“Apabila seseorang menafkahi keluarganya dengan mengharapkan pahala, itu adalah sedekah baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah n bersabda:
أَفْضَلُ دِيْنَارٍ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُِ عَلَى عِيَالِهِ
“Seutama-utama dinar adalah dinar yang diinfakkan (dibelanjakan) oleh seseorang untuk keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Lebih rincinya, Rasulullah n menyatakan:
دِيْناَرًا أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْناَرًا أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارًا تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارًا أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk istri/keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk istri/keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)
5. Bersikap keras, kaku, dan tidak lembut kepada istri.
Rasulullah n bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya9.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam ash-Shahihah no. 284 dan asy-Syaikh Muqbil t dalam ash-Shahihul Musnad, 2/336—337)
Di antara bentuk sikap lembut seorang suami terhadap istrinya adalah memberikan kegembiraan kepadanya dengan permainan dan hiburan yang diperbolehkan syariat. Nabi n bersabda:
كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ لَهْوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ أَرْبَعُ خِصَالٍ … –مِنْهَا: مُلَاعَبَةُ الرَّجُلِ أَهْلَهُ
“Segala sesuatu yang tidak termasuk zikrullah adalah sia-sia atau melalaikan, selain empat hal… —di antaranya, permainan/senda gurau suami dengan istrinya.” (HR. an-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’, ath-Thabarani dalam al-Kabir, sanadnya sahih sebagaimana dalam ash-Shahihah no. 315)
Untuk menunjukkan kelembutan dan cintanya kepada Aisyah x, Rasulullah n pernah mengajak Aisyah adu cepat dalam berlari. Kata beliau kepada sang istri:
تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ. قُلْتُ: فَسَابَقَنِيْ فَسَبَقْتُهُ
“Marilah, aku akan berlomba (lari) denganmu.” Aisyah berkata, “Lalu beliau berlomba denganku. Aku pun dapat mendahului beliau.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan selainnya. Disahihkan dalam Irwa’ul Ghalil no. 1502)
Memanggil istri dengan nama atau sebutan yang menyenangkan hatinya termasuk bentuk kelemahlembutan terhadapnya. Rasulullah n, sang suami teladan, telah mencontohkannya. Suatu ketika, beliau memanggil Aisyah x dengan sebutannya:
ياَ حُمَيْرَاءُ، أَتُحِبِّيْنَ أَنْ تَنْظُرِيْ إِلَيْهِمْ؟
“Wahai Humaira’10 (wanita yang putih kemerah-merahan), apakah engkau suka melihat mereka?” (HR. an-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’, disahihkan dalam Adabuz Zafaf hlm. 272)
Pernah pula Rasulullah n memanggil sang istri dengan menyingkat namanya:
يَا عَائِشُ، هَذَا جِبْرِيْلُ يُقْرِئُكِ السَّلاَمَ
“Wahai Aisy, ini Jibril datang menyampaikan salam untukmu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
(Insya Allah bersambung)
Catatan Kami:
1 Ini adalah kekhususan bagi Nabi n.
2 Maknanya, Nabi n menyatakan, “Aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan kepada para istri. Maka dari itu, terimalah wasiatku ini.” Demikian dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi.
3 Maksudnya selain istimta’ (bersenang-senang), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
4 Seperti berbuat nusyuz (tidak taat kepada suami), buruk pergaulannya dengan suami, dan tidak menjaga kehormatan dirinya. (Tuhfatul Ahwadzi)
5 Maksudnya, mengucapkan ucapan yang buruk kepada istri, mencaci-makinya, atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu,” atau ucapan semisalnya. (Aunul Ma’bud, “Kitab an-Nikah, bab Fi Haqqil Mar’ah ‘ala Zaujiha”)
6 Memboikot istri dilakukan ketika istri tidak mempan dinasihati atas kemaksiatan yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut.
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka berilah nasihat kepada mereka, hajr/boikotlah mereka di tempat tidur….” (an-Nisa: 34)
Pemboikotan ini bisa dilakukan di dalam atau di luar rumah, seperti yang ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik z tentang kisah Rasulullah n meng-ila’ istrinya (bersumpah untuk tidak ‘mendatangi’ istri-istrinya) selama sebulan dan selama itu beliau n tinggal di masyrabahnya (kamar yang tinggi; untuk menaikinya perlu tangga). (HR. al-Bukhari)
Penerapan hal ini tentunya melihat keadaan. Jika memang diperlukan boikot di luar rumah maka dilakukan. Namun, jika tidak, cukup di dalam rumah. Bisa jadi, boikot dalam rumah lebih mengena dan lebih menyiksa
perasaan si istri daripada boikot di luar rumah. Bisa juga sebaliknya. Akan tetapi, yang dominan adalah boikot di luar rumah lebih menyiksa jiwa, khususnya jika yang menghadapinya adalah kaum wanita karena lemahnya jiwa mereka. (Fathul Bari, 9/374)
Al-Imam an-Nawawi t berkata berkenaan dengan kisah Rasulullah n meng-ila’ istri-istrinya, “Suami berhak memboikot istrinya dan memisahkan diri dari istrinya ke rumah lain apabila ada sebab yang bersumber dari si istri.” (al-Minhaj, 10/334)
7 Hindun x tidaklah menyatakan bahwa suaminya bersifat pelit dalam seluruh keadaan. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya bahwa suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan anaknya. Dengan demikian, tidak berarti bahwa Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Betapa banyak tokoh pemuka masyarakat yang melakukan hal tersebut kepada istri/keluarganya dan lebih mementingkan (baca: dermawan kepada) orang lain. Demikian disebutkan dalam Fathul Bari (9/630).
8 Dalam riwayat Muslim, Hindun x bertanya, “Apakah aku berdosa jika melakukan hal tersebut?”
9 Nabi n menyatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya,” karena para wanita/istri adalah makhluk Allah l yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
10 Humaira adalah bentuk tashghir dari hamra’ yang bermakna wanita yang putih kemerah-merahan.