Kesan Indah dalam Teguran

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkisah:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ

“Seorang Arab badui datang. Ia lantas buang air kecil di salah satu sudut masjid. Orang-orang berusaha untuk menghalangi, namun Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melarang mereka. Setelah ia selesai dari hajatnya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyediakan seember air. Kemudian, air tersebut diguyurkan ke tempat (buang air kecil) tersebut.”

Derajat Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 221) dan Muslim (no. 284 & 285).

Dalam riwayat Abu Dawud (ash-Shahihah, 380) ditambahkan lafadz yang menyebutkan, “Lalu orang badui tersebut berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah rahmat untuk diriku dan Muhammad. Janganlah engkau merahmati orang lain selain kami.’ Nabi Muhammad menyatakan, ‘Sungguh, engkau telah mempersempit sesuatu yang luas’.”

Makna Hadits

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini, “Pada umumnya, watak asli orang-orang Arab dari pedalaman (badui) adalah kaku dan jahil terhadap hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang ada di dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu ini adalah salah satu contohnya. Seorang Arab badui masuk ke Masjid Nabi di kota Madinah. Saat itu, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang berada di dalam masjid. Orang badui tersebut lalu berjalan menuju salah satu sudut masjid, kemudian duduk dan buang air kecil. Perbuatan itu dianggap sebagai kesalahan besar oleh para sahabat. Mereka pun berteriak ingin menghalanginya. Akan tetapi, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam malah melarang mereka, karena kelemahlembutan dan perhatian beliau terhadap orang jahil. Dengan hal ini, beliau sekaligus memberi pengajaran kepada umat agar mereka menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara hikmah dan lemah lembut. Bisa jadi, jika orang badui tersebut dilarang, ia akan bangkit berdiri (sebelum selesai hajatnya) dan benda najis justru akan mengenai pakaian dan badannya, serta tercecer pada beberapa tempat di dalam masjid. Bahkan, ia akan mengalami gangguan karena menghentikan hajatnya secara terpaksa.

Setelah menyelesaikan hajatnya dan hilanglah hal-hal yang dikhawatirkan di atas, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat menghilangkan bekas kencingnya dengan membersihkan tempat tersebut. Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tempat itu diguyur dengan menggunakan seember air.

Al-Imam Muslim rahimahullah menambahkan riwayat, “Setelah itu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang badui tersebut, ‘Sesungguhnya, masjid tidaklah pantas untuk membuang air atau kotoran. Masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shalat, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana yang disabdakan beliau.

Di dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat untuk membiarkannya. Setelah itu, beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, kalian diutus untuk memberi kemudahan. Kalian tidaklah diutus untuk menimbulkan kesusahan.” (Tanbihul Afham 1/87—88)

Asy-Syaikh Alu Bassam menerangkan alasan sikap lemah lembut Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang badui tersebut, yaitu agar nasihat dan pelajaran lebih mudah diterima saat beliau sampaikan. (Taisirul ‘Allam 1/88)

Menumbuhkan Mental Seorang Penasihat

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya pembahasan ini, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, telah sering diabaikan semenjak dahulu. Hanya sedikit yang tersisa. Kewajiban ini adalah urusan besar. Dengannya, urusan menjadi tegak dan kokoh, karena jika keburukan telah banyak menyebar, siksa akan dirasakan oleh orang baik dan orang jahat. Apabila mereka tidak mencegah perbuatan zalim, telah dekat masanya Allah subhanahu wa ta’ala akan menurunkan siksa secara merata. Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya berhati-hati akan ditimpakan kepada mereka ujian atau azab yang pedih. Semestinya, para pencari akhirat dan pengejar ridha Allah subhanahu wa ta’ala memerhatikan kewajiban ini karena manfaatnya sangat besar. Lebih-lebih saat sebagian besar amar ma’ruf nahi mungkar telah hilang. Hendaknya ia mengikhlaskan niat dan tidak merasa takut terhadap orang yang ia ingkari karena kedudukannya amat tinggi.

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (al-Hajj: 40)

Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-Ankabut: 69)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 2—3)

Ketahuilah, pahala yang diperoleh itu sesuai dengan kadar kesulitan. Hendaknya, ia tidak meninggalkan kewajiban ini dengan alasan persahabatan, hubungan kasih sayang, sengaja mengelak, mencari muka, atau mempertahankan kedudukan. Sebab, persahabatan dan hubungan kasih sayang menghadirkan kehormatan dan hak. Sebagai bentuk haknya, ia memberinya nasihat, membimbingnya kepada kemaslahatan akhirat, dan menyelamatkan dirinya dari mudarat.

Teman dan kekasih adalah orang yang berusaha memperbaiki urusan akhiratnya meskipun menyebabkan dunianya berkurang. Adapun musuh adalah orang yang berupaya melenyapkan atau mengurangi urusan akhiratnya meskipun dengan itu ia memperoleh gambaran manfaat di dunia. Sesungguhnya, Iblis lah musuh kita, sedangkan para nabi adalah kekasih kaum mukminin karena usaha mereka untuk kemaslahatan akhirat dan hidayah mereka.

Kita memohon, agar Allah Yang Mahamulia mencurahkan taufik kepada kita, orang-orang tercinta, dan kaum muslimin secara keseluruhan sehingga memperoleh keridhaan-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan kedermawanan dan rahmat-Nya untuk kita. Wallahu a’lam.

Pelaksana amar ma’ruf nahi mungkar sendiri semestinya bersikap lemah lembut agar lebih memungkinkan meraih tujuan. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah berpetuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberikan untuknya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka (di muka umum), ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.”

Di antara bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang diremehkan oleh sebagian besar kaum muslimin adalah ketika seseorang menyaksikan orang lain menjual barang dagangan yang memiliki cacat atau semisalnya. Ia tidak mengingkarinya, tidak juga memberitahu si pembeli tentang cacat tersebut. Ini adalah kesalahan fatal. Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang mengetahuinya wajib mengingkari si penjual dan memberitahu si pembeli. Wallahu a’lam. (Syarah Shahih Muslim 2/24)

Agar Teguran Dirasakan Indah

Seorang muslim, pelaku dakwah, mesti mempertimbangkan banyak sisi dalam menjalani kehidupan pribadi seorang muslim, terutama dalam mengajak atau menegur. Berikut ini beberapa hal yang dapat kami sajikan.

  1. Teguran dan nasihat harus dilandasi asas kelembutan. Dengan demikian, pihak yang dinasihati atau ditegur akan benar-benar merasakan niat baik dari pihak yang memberi nasihat. Dengan asas kelembutan dan kasih sayang, nasihat dan teguran akan mudah diterima, mengena dalam hati, dan membuahkan berkah.
    Abu Umamah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, “Ada seorang pemuda menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan saya untuk berbuat zina?’ Para sahabat pun spontan bersuara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Mendekatlah kemari!’ Pemuda itu lalu mendekat dan duduk di hadapan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya, ‘Relakah engkau jika hal itu terjadi pada ibumu?’ Ia menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya sebagai tebusanmu.’ Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tentu demikian juga orang lain. Mereka tidak rela hal itu terjadi pada ibu mereka. Relakah engkau jika perbuatan tersebut terjadi pada putrimu?’ Ia menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya sebagai tebusanmu.’ Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tentu demikian juga orang lain. Mereka tidak rela hal itu terjadi pada putri mereka. Relakah engkau jika perbuatan tersebut terjadi pada saudara perempuanmu?’

(Ibnu Auf menambahkan, Rasulullah juga menyebut bibi [dari ayah dan ibu])
Pemuda itu selalu menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya untuk tebusanmu.’
Kemudian Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan beliau di atas dada si pemuda, lalu mendoakannya:

اللَّهُمَّ طَهِّرْ قَلْبَهُ وَاغْفِرْ ذَنْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ

‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan jagalah kemaluannya.’
Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih ia benci daripada perbuatan zina.”
(HR. Ahmad 3/285, lihat ash-Shahihah, 1/645 no. 370)

Perhatikanlah! Kita dapat menyaksikan cara yang ditempuh oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengobati “penyakit” sang pemuda. Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan cinta. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengambil sikap kasar, tidak pula menghadapinya dengan hati keras. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam justru berbicara melalui akal sehat si pemuda, berusaha menguatkan ruh kebaikan pada dirinya, dan memadamkan api syahwat darinya.

Pembaca…
Pada kesempatan lain, seseorang datang menemui Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku!” Rasulullah bertanya, “Apakah yang membuat dirimu binasa?” Ia menjawab, “Aku telah menggauli istriku pada siang hari bulan Ramadhan, padahal aku sedang berpuasa.” Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar ia memerdekakan seorang budak. Orang itu berkata, “Aku tidak punya.” Lantas, Rasulullah memerintahkannya untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia mengatakan, “Aku tidak akan mampu.” Kemudian, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin. Ia berkata, “Aku tidak mampu.” Orang itu lalu duduk. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu datang membawa sekeranjang kurma lalu bersabda, “Terimalah ini dan bersedekahlah dengannya!”

Ia berkata,

أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللهِ؟ وَاللهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنِّي

“Apakah untuk orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua gunung ini tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada kami.”

Rasulullah pun tertawa hingga terlihat geraham beliau. Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikanlah untuk makan keluargamu sendiri!”

Hadits di atas, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1936) dan Muslim (no. 1111), hendaknya menjadi pegangan setiap muslim dalam hidupnya. Dalam kelembutan, ada samudra kebaikan. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa, bukan tertawa biasa. Sebab, geraham beliau pun terlihat. Mengapa? Orang itu datang sambil mengatakan, “Binasalah aku!” Akan tetapi, ia pulang membawa keberuntungan. Bagaimana, jika salah seorang dari kita yang mengalaminya? Mungkin dengan mudah kita menyalahkan orang tersebut. Mungkin dengan ringan kita akan memperolok-olok dirinya. Atau bahkan, kita akan menghinanya hanya karena ia terjatuh dalam kesalahan. Hendaknya seorang muslim tidak merasa senang ketika saudaranya terjatuh dalam kesalahan. Sebaliknya, ia justru berusaha memperbaiki saudaranya sebagaimana halnya ia ingin dirinya baik.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan jika ia memiliki tiga perangai: lemah lembut dalam mengajak dan melarang, bersikap adil dalam mengajak dan melarang, serta berilmu tentang apa yang diajak dan dilarangnya.” (al-Wara’, al-Imam Ahmad hlm. 166)

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ وَيُعْطِي عَلَيْهِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahalembut. Ia mencintai kelembutan dalam setiap hal. Ia akan memberikan (kebaikan) pada kelembutan sesuatu yang tidak Ia berikan pada kekerasan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sebagai bentuk kelembutan, ia menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya yang muslim dengan memberi nasihat atau teguran secara baik dan tidak menceritakan kesalahannya ke sana-kemari. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah memberikan petuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberinya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka, ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.” (Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi 2/24)

Lain halnya jika saudaranya melakukan kesalahan secara terang-terangan, merasa bangga, mengulanginya setelah ditegur, dan memberikan dampak buruk yang besar, ia dapat menegurnya secara terbuka agar khalayak umum dapat berhati-hati dan menghindarinya. Wallahu a’lam.

  1. Yang harus diperhatikan juga dalam amar ma’ruf nahi mungkar adalah penguasaan tentang kondisi orang, tabiat, watak masyarakat, dan waktu. Dengan demikian, cara penyampaian dan metode pelaksanaan akan sesuai dengan kadar dan kemampuan. Cara penyampaian kepada orang awam tentu berbeda dengan cara penyampaian kepada orang yang terpelajar. Demikian juga antara orang pandai dan orang jahil.

Abbas al-Anbari berkisah, “Aku pernah berjalan bersama Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) di kota Basrah. Lalu aku mendengar seseorang berkata kepada orang lain, ‘Wahai anak zina!’ Orang itu pun membalas, ‘Apa anak zina!?’ Aku pun berhenti, sementara Abu Abdillah terus berjalan. Lalu, al-Imam Ahmad menoleh ke arahku, ‘Wahai Abul Fadhl, ayo terus jalan!’ Aku mengatakan, ‘Kita telah mendengar (apa yang mereka ucapkan), kita wajib (mengingatkan).’ Al-Imam Ahmad segera menjawab, ‘Peristiwa tadi tidak termasuk’.” (al-Amru bil Ma’ruf, al-Khallal hlm. 114)

Saat itu, al-Imam Ahmad tidak mengingatkan pelaku (yang mengucapkan kata-kata kotor) karena orang itu berasal dari kalangan rendahan.

  1. Saat menegur atau menyampaikan nasihat, pertimbangkanlah baik buruknya, maslahat dan mafsadahnya. Akankah memunculkan kebaikan, ataukah justru melahirkan kemungkaran yang lebih parah?

Ibnul Qayyim rahimahullah (I’lamul Muwaqqi’in 3/4) menjelaskan, “Sesungguhnya, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan syariat untuk umatnya dalam hal mengingkari kemungkaran, dengan tujuan munculnya kebaikan yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Apabila konsekuensi dari mengingkari satu bentuk kemungkaran adalah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi dan lebih dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tidak diperkenankan untuk mengingkarinya meskipun Allah subhanahu wa ta’ala membencinya dan membenci pelakunya. Siapa saja yang memerhatikan berbagai peristiwa yang pernah terjadi dalam Islam, baik besar maupun kecil, ia pasti menemukan bahwa ajaran semacam ini telah diabaikan.

Demikian juga kurangnya kesabaran dalam mengingkari kemungkaran sehingga ia berusaha menghilangkannya dengan tergesa-gesa. Akhirnya, usahanya justru menimbulkan kemungkaran yang jauh lebih parah. Sungguh, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan kemungkaran terbesar di Makkah, namun beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat mengubahnya.

Bahkan, sekalipun Makkah telah dibukakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beliau dan menjadi negeri Islam, ditambah keinginan kuat beliau untuk mengubah letak Ka’bah dengan mengembalikannya pada posisi fondasi Ibrahim. Akan tetapi, itu semua beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam urungkan, padahal beliau mampu. Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir hal itu akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah, yaitu penolakan dari Quraisy, sementara mereka baru saja masuk ke dalam Islam dan baru beberapa saat terlepas dari kekafiran.”

Faedah Hadits

Hadits ini mengandung beberapa faedah. Kami menukilkannya dari penjelasan asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarah Bulughul Maram, dengan beberapa perubahan.

  1. Orang jahil tidak dapat diajak berbicara sebagaimana orang pandai, namun mereka disikapi dengan kelembutan. Orang Arab badui tersebut menyangka bahwa sudut masjid yang lapang itu seperti tempat lapang biasa, dapat digunakan untuk buang air kecil.
  2. Keumuman watak masyarakat pedalaman adalah kejahilan. Sama halnya dengan masyarakat pedalaman, orang yang tidak aktif menghadiri majelis ilmu dan majelis ulama, seringnya akan mengalami kejahilan.
  3. Bertindak segera dalam mencegah kemungkaran. Sebab, para sahabat cepat-cepat mencegah kemungkaran dan melarang orang badui tersebut.
  4. Apabila satu bentuk kemungkaran tidak hilang melainkan dengan memunculkan kemungkaran yang lebih besar, untuk sementara boleh tidak diingkari. Artinya, kemungkaran itu didiamkan hingga tiba waktu yang tepat. Dalilnya adalah sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para sahabat yang hendak menghentikan hajat orang badui tersebut. Penjelasannya telah diterangkan di atas.
  5. Tanah akan menjadi suci dengan menuangkan air di atasnya, tidak perlu menggalinya, seperti yang dikerjakan oleh sebagian orang. Cukup dengan menuangkan air pada tempat yang terkena najis, tanah pun menjadi suci. Namun, jika najis itu berbentuk benda, seperti tinja, benda najis tersebut dihilangkan baru kemudian dituangkan air pada tempatnya.
  6. Untuk menyucikan najis yang mengenai tanah tidak ditentukan jumlah tuangan air atasnya.
  7. Air seni manusia hukumnya najis. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perintah untuk menyucikannya. Ada riwayat yang menjelaskan ancaman siksa untuk orang yang tidak membersihkan atau menyucikan diri dari air seni.
  8. Salah satu syarat sah shalat adalah kesucian tempat. Masjid adalah tempat melaksanakan shalat. Jika kesucian tempat bukan termasuk syarat shalat, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintah para sahabat untuk menuangkan air pada tempat tersebut.
  9. Tidak diperbolehkan meletakkan benda najis dalam masjid. Demikian juga membuang sampah di masjid meskipun sampah tersebut benda yang suci karena masjid harus dibersihkan dari kotoran dan sampah.
  10. Menjaga kesucian masjid adalah wajib hukumnya.
  11. Indahnya akhlak, metode pengajaran, dan hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  12. Bagusnya cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi penjelasan. Beliau membimbing, tidak pantas benda kotor dan najis berada di dalam masjid. Masjid dibangun untuk melaksanakan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti shalat, zikir, dan yang semisalnya.
  13. Aktivitas keduniaan tidak seharusnya dilakukan di dalam masjid. Masjid tidak boleh digunakan untuk kegiatan jual beli, mengumumkan kehilangan barang, atau melakukan profesi usaha. Contoh mudahnya, seorang penjahit diharamkan bekerja menjahit di dalam masjid karena masjid dibangun hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Semoga ringkasnya pembahasan ini tidak mengurangi manfaat yang diperoleh. Mudah-mudahan semakin bertambahnya ilmu dan pengalaman, beriring dengan perjalanan waktu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai hamba yang selalu berhias dengan sifat hikmah dan kelembutan. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai