Kiamat Adalah Urusan Gaib

Kita semua telah mengetahui bahwa manusia dan jin adalah sumber kejelekan, kecuali mereka yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun telah menyatakan dalam sekian banyak khotbahnya. Di antaranya dalam hadits Jabir radhiallahu anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim rahimahullah,

نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

“Kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya, serta berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kami dan segenap amal kami.”

Kejelekan adalah dosa-dosa yang diperbuat oleh seorang hamba ketika ia menyelisihi syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Semua dosa itu bersumber dari pilihan dan keinginan seorang hamba itu sendiri, ketika ia menyimpang dari syariat Allah subhanahu wa ta’ala.

Apabila seorang hamba tetap menjaga dan menumbuhkan fitrahnya di atas agama Allah subhanahu wa ta’ala, tentu ia tak akan pernah berpikir untuk melakukan kejelekan dan menyelisihi agama-Nya subhanahu wa ta’ala.

فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ

“(Sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” (ar-Rum: 30)

Baca juga: Menjaga Kesucian Fitrah Manusia

Salah satu dari beragam bentuk kejelekan yang diperbuat manusia adalah menyebarkan pemahaman salah kaprah mengenai zuhud. Pemahaman yang telah teracuni pemikiran orang-orang sufi.

Kalangan sufi memahami bahwa zuhud adalah meninggalkan hasil usaha yang halal, meninggalkan amalan yang bermanfaat, berdiam diri menanti uluran tangan para dermawan, dan mengenakan pakaian koyak dan bertambal. Inilah zuhud ala sufi, sarat dengan sikap takalluf (memaksakan diri).

Tak jauh berbeda, dalam hal makan pun mereka sangat membatasi diri. Bahkan, terkadang mereka tak makan berhari-hari. Kalaupun makan, sekadar roti tawar dengan garam, padahal ia mampu untuk makan secara layak dan baik.

Gambaran gaya hidup ala sufi semacam itu tentu saja menyelisihi As-Sunnah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka dia bukan golonganku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memakan daging, bahkan beliau shallallahu alaihi wa sallam sangat menyukai paha kambing. Namun, anehnya, sebagian sufi enggan walaupun hanya minum dari air yang bersih dan segar. Mereka malah sengaja meminum air yang kotor (tidak higienis) karena takut tidak mampu mensyukuri Allah subhanahu wa ta’ala. Tentu ini merupakan alasan yang lemah.

Apakah dengan meninggalkan air yang segar akan membuatnya mampu mensyukuri berbagai nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan, seperti nikmat penglihatan, pendengaran, kesehatan, dan selainnya? Justru ketika ia melakukan hal tersebut, ia telah terjatuh pada perbuatan dosa. Dia telah melakukan perbuatan yang membahayakan kondisi tubuhnya sendiri.

Baca juga: Hidup Kumuh Ala Sufi

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمًا

“Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (an-Nisa: 29)

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)

Islam adalah agama yang adil dan pertengahan. Tidak bersikap ekstrem, tidak pula meremehkan sesuatu dalam permasalahan dunia.

Sikap Islam sangat jelas: yaitu bersikap pertengahan, antara sikap tamak kaum Yahudi dan sikap tawakal yang kebablasan (baca: malas) ala rahib kaum Nasrani.

Maka dari itu, zuhud, jika masih berada dalam batasan ittiba’ (meneladani) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ia adalah hal yang terpuji dalam Islam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah pemuka bagi orang-orang yang zuhud dalam masalah dunia, demikian pula Abu Bakr dan Umar, serta banyak dari kalangan sahabat radhiallahu anhum. (Lihat Haqiqatu ash-Shufiyah fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, Bab: al-Farqu baina az-Zuhdi wa at-Tashawwuf, karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali)

Baca juga: Siapakah Sufi?

Ada begitu banyak manusia yang bersemangat dalam mengamalkan agama, tetapi tidak sedikit pula yang terjatuh pada penerapannya yang salah. Ini semua disebabkan oleh kekeliruan mereka dalam memahami agama.

Sebagian orang memilih beragama Islam hanya karena mengikuti mayoritas manusia atau mengikuti figur tertentu, tanpa melihat apakah figur tersebut berada di atas kebenaran ataukah tidak.

Ada pula orang yang beragama karena dipompa semangat beramal, namun tidak disertai ilmu yang mendasari amalannya. Oleh sebab itu, muncullah berbagai penyimpangan di tengah umat. Kondisi umat menjadi rentan terhadap berbagai isu. Mereka mudah diombang-ambingkan oleh berbagai berita yang beredar.

Mengenai masalah kiamat, Islam telah memberikan tuntunan kepada para pemeluknya, bahwa kiamat adalah sesuatu yang pasti terjadi. Namun, hanya Allah subhanahu wa ta’ala semata yang mengetahui waktu terjadinya.

Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat

Kekhawatiran bahwa kiamat akan terjadi dalam waktu dekat, pernah pula dialami pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Saat terjadi gerhana matahari, Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan sangat takut. Menurut yang meriwayatkan hadits tersebut, “Takut apabila saat itu terjadi kiamat.” (HR. al-Bukhari no. 1059)

Sebagaimana yang telah kita ketahui, Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun tahu bahwa kiamat tidak akan terjadi saat itu, berdasarkan tanda-tanda yang ada. Kehidupan pada zaman itu tidak lantas berakhir. Namun, lantaran dahsyatnya rasa takut terhadap kiamat, manusia biasa pun kadang akan lupa terhadap kenyataan yang ada, saat peristiwa yang menakutkan itu (kiamat) terjadi. (Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, at-Ta’liq ala Shahih Muslim, 1/481)

Penamaan hari tersebut dengan “kiamat” pun masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa disebut “kiamat” lantaran pada hari itu manusia berdiri (bangkit) dari kuburnya. Allah subhanahu wa ta’ala berdirman,

يَوۡمَ يَخۡرُجُونَ مِنَ ٱلۡأَجۡدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمۡ إِلَىٰ نُصُبٍ يُوفِضُونََ

“(Yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia).” (al-Ma’arij: 43)

Ada pula yang berpendapat, disebabkan adanya perkara-perkara di Padang Mahsyar, tempat mereka berdiri saat itu.

Baca juga: Dahsyatnya Mahsyar

Pendapat lain, karena pada saat itu manusia berdiri menghadap Rabbul Alamin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dalam kitab Shahih-nya, hadits dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma secara marfu’,

يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“(Yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb semesta alam.” (al-Muthaffifin: 6)

Dia berkata,

يَقُومُ أَحَدُهُمْ فِي رَشْحِهِ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ

“Salah satu dari mereka berdiri di dalam keringatnya yang telah mencapai kedua telinganya.” (HR. Muslim no. 2862)

Disebutkan oleh pendapat lain, bahwa dinamakan “kiamat” karena pada hari itu para malaikat dan ruh berdiri dalam shaf (barisan). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَيَوۡمَ يَقُومُ ٱلرُّوحُ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ صَفّٗاۖ

“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf.” (an-Naba: 38)

[Al-Irsyadu ila Shahihil I’tiqad, Syaikh Shalih bin Fauzan, hlm. 302—303]

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menyebutkan, dalam al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, saat memberikan penjelasan mengenai hadits Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu (hadits Jibril alaihis salam), mengungkapkan bahwa Hari Kiamat adalah berakhirnya (kehidupan) dunia dan dimulainya (kehidupan) akhirat. Maknanya adalah batas waktu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tentukan bagi kehidupan ini.

Mengimani terjadinya Hari Kiamat merupakan salah satu rukun iman. Barang siapa meragukan atau menolak (mendustakan)nya, sungguh dia telah kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

زَعَمَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَن لَّن يُبۡعَثُواْۚ قُلۡ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبۡعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلۡتُمۡۚ وَذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

“Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak demikian, demi Rabbku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.’ Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (at-Taghabun: 7)

Baca juga: Beriman Adanya Kebangkitan Setelah Kematian

Seorang hamba tidak cukup hanya menyatakan beriman terhadap Hari Kiamat, sementara dia sendiri tidak beramal dan bersiap untuk menyambutnya. Dia harus beramal saleh, melakukan berbagai kebajikan, dan bertobat dari segala bentuk kemaksiatan. Dia benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi hari itu. Inilah yang dimaksud dengan beriman kepada Hari Akhir.

Adapun seseorang yang hanya menyatakan keimanan kepada Hari Akhir, tetapi tidak menyiapkan diri untuk menghadapinya, maka keimanannya tidaklah berfaedah sedikit pun.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui waktu terjadinya Hari Kiamat, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberitahukan hal tersebut kepada satu makhluk pun. Tidak kepada malaikat, tidak pula kepada para rasul.

Sebab, tidak ada gunanya manusia mengetahui waktu terjadinya Hari Kiamat. Faedah mengimani Hari Kiamat hanyalah agar manusia mempersiapkan diri dengan beramal kebajikan.

Adapun mengenai kepastian waktu terjadinya Hari Kiamat, Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَاۖ  قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّيۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقۡتِهَآ إِلَّا هُوَۚ

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu ada pada Rabbku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia.’” (al-A’raf: 187)

Baca juga: Mengingat Mati

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَا ٤٢ فِيمَ أَنتَ مِن ذِكۡرَىٰهَآ ٤٣ إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَىٰهَآ ٤٤ إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخۡشَىٰهَا ٤٥ كَأَنَّهُمۡ يَوۡمَ يَرَوۡنَهَا لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا عَشِيَّةً أَوۡ ضُحَىٰهَا ٤٦

“Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Hari Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Untuk apa engkau perlu menyebutkannya (waktunya)? Kepada Rabbmulah (dikembalikan) kesudahannya (ketentuan waktunya). Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (Hari Kiamat). Pada hari ketika mereka melihat Hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (an-Nazi’at: 42—46)

Firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٌ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدًاۖ  وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٍ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang Hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Baca juga: Menyoal Urusan Gaib

Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun boleh—bahkan tidak mungkin—memastikan waktu terjadinya Hari Kiamat, hanya berdasarkan perhitungan (hisab) atau dugaan kuat. Namun, ternyata hal ini dilakukan oleh sebagian pendusta dan pengamat yang fasih berbicara. Ini merupakan sikap memaksakan diri yang sejatinya tidak Allah subhanahu wa ta’ala bebankan atas mereka.

Barang siapa melakukan hal itu (memberi pernyataan tentang kepastian Hari Kiamat), maka dia adalah pendusta. Sebab, tidak mungkin ada seseorang yang mengetahui kepastian waktunya (kiamat), padahal Allah Yang Mahatahu telah menyembunyikan ilmu tentangnya. Ini termasuk urusan gaib yang hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Jadi, seseorang tidak boleh membuat suatu dugaan atau memperkirakan waktu terjadinya Hari Kiamat.

Dalam terminologi Islam, seseorang yang suka mengabarkan perkara-perkara yang bersifat gaib dengan menduga, memperkirakan, atau menerka; ia dikategorikan sebagai al-arraf atau kahin (dukun).

Baca juga: Awas, Dukun & Tukang Ramal, Penciduk Agama dan Harta (bagian 1)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa al-arraf adalah istilah umum yang mencakup semua jenis orang yang suka mengabarkan berbagai urusan gaib, baik melalui praktik perdukunan, perhitungan, garis-garis yang dibuat di pasir, membaca garis telapak tangan, maupun selainnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا

“Barang siapa mendatangi seorang dukun, lantas dia bertanya tentang sesuatu, kemudian membenarkan perkataannya; maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR. Muslim. Lafazh فَصَدَّقَهُ tidak ada pada Shahih Muslim, tetapi ada pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya)

Baca juga: Awas, Dukun & Tukang Ramal, Penciduk Agama dan Harta (bagian 2)

Oleh sebab itu, mendatangi dukun adalah perbuatan dosa yang diharamkan meskipun ia tidak membenarkan ucapan dukun tersebut.

Mu’awiyah bin al-Hakam radhiallahu anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam perihal dukun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menjawab,

لَا تَأْتِهِمْ

“Jangan engkau mendatangi mereka.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang Mu’awiyah bin al-Hakam untuk mendatangi mereka walaupun sekadar mendatanginya. Berdasarkan hadits ini, mendatangi dukun adalah perkara yang diharamkan, meskipun ia tidak bermaksud membenarkan ucapannya[1].

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Rincian tentang hukum mendatangi dukun, bisa dilihat kembali pada Rubrik Manhaji edisi 52 dengan judul Dukun Sahabat Setan.

 

Ditulis oleh Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

dukungaibhal gaibhari kiamatkiamatperdukunanurusan gaib