Keyakinan dan pemikiran yang menyimpang dapat menguasai akal siapa pun dan mengurangi kecerdasannya, sampai dia mendapatkan sebab atau jalan yang diberkahi yang menerangkan kepadanya hakikat kebenaran dan membimbingnya untuk mengikuti kebenaran itu. Inilah keadaan Ratu Saba’ dan para pengikutnya. Mereka memiliki otak yang cerdas, tetapi mereka justru melakukan peribadatan kepada sesuatu yang tidak mampu memberi kemanfaatan dan kemudaratan. Setelah terjadi dialog dengan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, Ratu Saba’ akhirnya mau kembali kepada fitrahnya, yaitu beribadah kepada Allah.
Kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengatakan,
قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٢٧ ٱذۡهَب بِّكِتَٰبِي هَٰذَا فَأَلۡقِهۡ إِلَيۡهِمۡ ثُمَّ تَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَٱنظُرۡ مَاذَا يَرۡجِعُونَ ٢٨
“Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, dan berpalinglah dari mereka, kemudian perhatikan apa yang mereka bicarakan.” (an-Naml: 27—28)
Berangkatlah Hud Hud dengan surat tersebut, lalu dia jatuhkan di kamar Ratu Saba’. Setelah membacanya, Ratu Saba’ menganggap ini adalah masalah besar dan mengkhawatirkannya. Diapun segera mengumpulkan para pembesarnya dan berkata, sebagaimana dikisahkan,
قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّيٓ أُلۡقِيَ إِلَيَّ كِتَٰبٞ كَرِيمٌ ٢٩ إِنَّهُۥ مِن سُلَيۡمَٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ٣٠ أَلَّا تَعۡلُواْ عَلَيَّ وَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣١
“Hai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sehelai surat yang mulia, sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan (dimulai) dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Naml: 29—31)
Sebuah surat yang ringkas dan sarat dengan semua tujuan yang diinginkan. Allah menceritakan bahwa ratu itu berkata lagi,
قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَفۡتُونِي فِيٓ أَمۡرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمۡرًا حَتَّىٰ تَشۡهَدُونِ ٣٢
“Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku ini. Aku tidak pernah memutuskan suatupersoalan sebelum kalian hadir.” (an- Naml: 32)
Yakni, berilah saya nasihat buah pikiran. Ini menunjukkan kecerdasan dan bagusnya tata tertib yang dibuatnya dengan mengadakan musyawarah bersama para pembesar kerajaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan pembicaraan mereka,
قَالُواْ نَحۡنُ أُوْلُواْ قُوَّةٖ وَأُوْلُواْ بَأۡسٖ شَدِيدٖ وَٱلۡأَمۡرُ إِلَيۡكِ فَٱنظُرِي مَاذَا تَأۡمُرِينَ ٣٣
Mereka berkata, ‘Kita adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dan keberanian yang hebat. Dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang anda perintahkan’.” (an-Naml: 32)
Maknanya, “Kami siap melaksanakan apa yang baginda perintahkan, berperang atau berdamai. Kami kembalikan urusan ini kepada titah baginda.”
Setelah mempertimbangkan semuanya, ratu memilih berdamai, tapi dengan bentuk yang serius. Ia berkata,
وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥
“Saya akan mengirimkan hadiah kepadanya sekarang. Lalu aku akan melihat bagaimana jawaban yang dibawa para utusan kita.” (an-Naml: 35)
Maksudnya, dengan hadiah ini, kalau benar dia seperti raja-raja lain yang tidak ada ambisinya selain dunia, boleh jadi hadiah itu akan merusak kehormatannya dan melumpuhkan semangat (kemauannya). Kita bisa berdamai dengannya jauh sebelumnya. Kalau bukan demikian, maka jelaslah urusannya.
فَلَمَّا جَآءَ سُلَيۡمَٰنَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٖ فَمَآ ءَاتَىٰنِۦَ ٱللَّهُ خَيۡرٞ مِّمَّآ ءَاتَىٰكُمۚ بَلۡ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمۡ تَفۡرَحُونَ ٣٦
“Apakah kamu menolongku dengan harta? Padahal apa yang diberikan Allah kepadaku jauh lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Bahkan kamu merasa bangga dengan hadiahmu itu.” (an-Naml: 36)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menjelaskan kepada para utusan itu, bukan dunia yang menjadi tujuan dan cita-citanya. Tujuan dan cita-citanya tidak lain adalah menegakkan agama ini dan masuknya hamba-hamba Allah itu ke dalam Islam. Setelah itu beliau berpesan secara langsung kepada para utusan itu, tidak membutuhkan tulisan. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pembicaraan mereka,
ٱرۡجِعۡ إِلَيۡهِمۡ فَلَنَأۡتِيَنَّهُم بِجُنُودٖ لَّا قِبَلَ لَهُم بِهَا وَلَنُخۡرِجَنَّهُم مِّنۡهَآ أَذِلَّةٗ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٣٧
“Kembalilah kepada mereka. Sungguh kami akan menyerang mereka dengan bala tentara yang tidak bisa mereka hadapi. Dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu dalam keadaan terhina dan menjadi tawanan yang hina.” (an-Naml: 37)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tahu mereka tentu akan takluk dan menyerah. Kemudian beliau ‘alaihissalam berkata kepada para pembesarnya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya,
قَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَيُّكُمۡ يَأۡتِينِي بِعَرۡشِهَا قَبۡلَ أَن يَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣٨ قَالَ عِفۡرِيتٞ مِّنَ ٱلۡجِنِّ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَۖ وَإِنِّي عَلَيۡهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٞ ٣٩
“Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang menyerah kepadaku?”
Ifrit dari kalangan jin berkata, “Saya akan membawanya kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesungguhnya aku benar-benar kuat dan terpercaya.” (an-Naml: 39)
Ketika itu posisi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam masih berada di daerah Syam yang jaraknya ke Yaman sekitar dua bulan perjalanan pulang dan pergi. Kemudian berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya,
أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن يَرۡتَدَّ إِلَيۡكَ طَرۡفُكَۚ
“Saya akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip.” (an-Naml: 40)
Menurut sebagian mufassir, laki-laki itu adalah orang saleh yang telah diberi Ismul A’zham (salah satu dari Nama Allah Yang Mahaagung), yang apabila seseorang berdoa kepada Allah dengan menyebut nama ini maka pasti Allah mengabulkannya. Dan dia pun memohon kepada Allah. Tiba-tiba muncullah singgasana itu sebelum Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengedipkan matanya.
Ada pula yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab itu, mempunyai sebab yang telah ditundukkan Allah untuk Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, yaitu sebab-sebab yang mendekatkan perhubungan jarak yang jauh.
Bagaimanapun juga, ini adalah kekuasaan yang besar yang dengan sekejap mata telah mendatangkan singgasana yang besar milik Ratu Saba’ itu. Oleh karena itu, ketika melihat singgasana itu muncul di hadapannya, beliau segera memuji Allah subhanahu wa ta’ala sebagai rasa syukur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيّٞ كَرِيمٞ ٤٠
“Ini termasuk karunia Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya. Barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barang siapa mengingkari, maka sesungguhnya Rabbku Mahakaya lagi Maha Pemurah.” (an-Naml: 40)
Kemudian beliau berkata kepada pembesar di sekitarnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya,قَالَ نَكِّرُواْ لَهَا عَرۡشَهَا “Ubahlah singgasananya,” yakni tambah dan kurangilah dari bentuk aslinya.
نَنظُرۡ أَتَهۡتَدِيٓ أَمۡ تَكُونُ مِنَ ٱلَّذِينَ لَا يَهۡتَدُونَ ٤١
“Kita lihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenalnya?”
Sebelumnya beliau memuji kecerdasan pikiran ratu tersebut. Beliau ingin agar ratu itu menyadari hakikat yang sebenarnya. Setelah ratu itu tiba, beliau bertanya kepadanya, (sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan)
أَهَٰكَذَا عَرۡشُكِۖ
“Seperti inikah singgasanamu?”
Beliau tunjukkan kepadanya. Tatkala melihat singgasana itu, ratu segera mengenalnya, tapi ragu-ragu karena terdapat beberapa perubahan di sana sini. Namun, ia tetap menjawab,
قَالَتۡ كَأَنَّهُۥ هُوَۚ
“Seakan-akan inilah dia.”
Ia tidak berani memastikan itulah singgasananya, karena sudah mengalami beberapa perubahan, namun juga tidak mengingkari itu adalah singgasananya karena memang dia mengenalnya. Nabi Sulaiman semakin mengenal kecerdasan ratu tersebut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kejadian itu,
وَأُوتِينَا ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهَا وَكُنَّا مُسۡلِمِينَ ٤٢
“Dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (an-Naml: 42)
Kalau ini adalah ucapan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita, maka maksudnya adalah sesungguhnya kami telah diberitahu tentang kecerdasan ratu ini dan kami tahu sebelum kejadian ini. Lalu terbuktilah apa yang kami yakini setelah kami mengujinya.
Kalau ucapan ini dari Ratu Saba’, maka maksudnya ialah, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya tentang Raja Sulaiman, yang sesungguhnya kekuasaannya adalah kerajaan nubuwah, dan risalah serta kekuatan yang sangat hebat sebelum kejadian ini.
وَكُنَّا مُسۡلِمِينَ ٤٢
“Kami adalah orang-orang yang berserah diri,” artinya kami tunduk terhadap perkataannya sesudah kami tahu siapa Sulaiman sebenarnya.
Seakan-akan dapat dikatakan: dengan akal yang cerdas dan pemikiran yang jernih, bagaimana mungkin terjerumus sehingga beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala dan bagaimana mungkin akal yang sehat seperti ini bergabung dengan peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala yang sama sekali tidak memberi manfaat apalagi mudarat? Dan tidak lain hanya mencelakakan orang-orang yang menyembahnya?
Jawaban atas pertanyaan tadi adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَصَدَّهَا مَا كَانَت تَّعۡبُدُ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ إِنَّهَا كَانَتۡ مِن قَوۡمٖ كَٰفِرِينَ ٤٣
“Dan apa yang diibadahinya selama ini selain Allah, telah menghalanginya (untuk beriman). Sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir.” (an-Naml: 43)
Memang demikianlah kenyataannya. Keyakinan dan pemikiran yang menyimpang dapat menguasai akal siapa pun dan mengurangi kecerdasannya, sampai dia mendapatkan sebab atau jalan yang diberkahi yang menerangkan hakikat kebenaran kepadanya dan membimbingnya untuk mengikuti kebenaran itu.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mempunyai istana dari kaca yang bentuknya seakan-akan aliran sungai. Siapa pun yang memandangnya akan menyangka itu adalah sebuah anak sungai karena beningnya kaca lantai tersebut. Ketika dikatakan kepada ratu itu,
قِيلَ لَهَا ٱدۡخُلِي ٱلصَّرۡحَۖ
“Masuklah ke dalam istana.” Dia mengira lantai istana itu adalah kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata,
قَالَ إِنَّهُۥ صَرۡحٞ مُّمَرَّدٞ مِّن قَوَارِيرَۗ
“Sesungguhnya ini adalah istana licin terbuat dari kaca.”
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa akhirnya Ratu Saba’ menyadari dan berkata,
قَالَتۡ رَبِّ إِنِّي ظَلَمۡتُ نَفۡسِي وَأَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَيۡمَٰنَ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٤٤
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah Rabb semesta alam.” (an-Naml: 44)
Beliau akhirnya tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan diikuti oleh kaumnya. Ada sebagian mufassir mengatakan beliau dipersunting oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai istri. Wallahu a’lam.
Di zaman Nabi Sulaiman para setan ditundukkan Allah kepada beliau. Sampai berita kepada beliau bahwa para setan ini selama berkumpul dengan manusia telah menyebarkan sihir. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dan mengancam mereka serta mengambil buku yang berisi ilmu sihir itu dan menguburnya.
Sepeninggal beliau, setan-setan itu mendatangi manusia dan berkata, ”Sesungguhnya kerajaan Sulaiman menjadi hebat dan kuat karena didukung oleh kekuatan sihirnya. Keluarkanlah buku yang penah dipendamnya.”
Kemudian para setan itu menyebarkan berita menyesatkan manusia bahwa ilmu sihir ini asalnya dari Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Mereka tuduh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai tukang sihir.
Berita ini juga disebarluaskan oleh sekelompok orang Yahudi. Namun Allah subhanahu wa ta’ala membersihkan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dari segala tuduhan itu, bahkan menerangkan bahwa sihir itu adalah ilmu yang hanya memberikan mudarat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh para setan pada masa kerajaan Sulaiman. Dan tidaklah Sulaiman itu kafir.” (al-Baqarah: 102)
Yakni dengan mengajarkan sihir dan meridhainya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan,
وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ
“Akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (al-Baqarah: 102)
Ini merupakan keagungan al-Qur’an yang senantiasa memerintahkan manusia agar beriman dengan para rasul, dan menyebut mereka dengan sifat-sifat mereka yang baik, sekaligus membersihkan mereka dari tuduhan-tuduhan manusia yang mengingkari risalah mereka.
Allah pernah menguji Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan meletakkan di kursinya sebagai teguran baginya atas beberapa kekeliruan beliau dan mengembalikannya kepada ketundukan yang sempurna kepada Rabbnya. Oleh karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Kemudian dia bertaubat,” kepada Allah dengan hati dan lisan serta jasadnya lahir dan batin. Allah berfirman menceritakan hal ini:
قَالَ رَبِّ ٱغۡفِرۡ لِي وَهَبۡ لِي مُلۡكٗا لَّا يَنۢبَغِي لِأَحَدٖ مِّنۢ بَعۡدِيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ ٣٥
“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi.” (Shad: 35)
Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan pemohonan beliau dan memberikan apa yang dimintanya berupa ampunan dosa dan semua yang disebutkan tadi.
Allah subhanahu wa ta’ala memuji Nabi Dawud dan Sulaiman e dengan memberikan ilmu dan hikmah kepada keduanya. Terutama Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dengan tambahan pengertian terhadap suatu permasalahan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَدَاوُۥدَ وَسُلَيۡمَٰنَ إِذۡ يَحۡكُمَانِ فِي ٱلۡحَرۡثِ إِذۡ نَفَشَتۡ فِيهِ غَنَمُ ٱلۡقَوۡمِ وَكُنَّا لِحُكۡمِهِمۡ شَٰهِدِينَ ٧٨
“Dan (ingatlah) kisah Dawud dan Sulaiman ketika keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kaumnya.” (al-Anbiya’: 78)
Yakni, kambing-kambing itu masuk ke dalam kebun-kebun mereka dan memakan tumbuhan dan tanaman yang ada di dalamnya. Nabi Dawud ‘alaihissalam pada mulanya memutuskan sesuai dengan ijtihad dan perkiraannya bahwa kambing-kambing itu harus menjadi milik si petani. Karena menurut dugaan beliau, sesuatu yang merusak pertanian itu harus diganti sesuai dengan nilainya.
Kemudian kasus itu diserahkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memutuskan bahwa pemilik kambing harus menggantikan tugas pemilik kebun dalam memberikan pengairan dan pengurusan terhadap tanaman yang ada di kebun itu sampai kembali seperti sedia kala sebelum dirusak oleh kambing-kambing itu. Dan pemilik kambing menyerahkan hasil-hasil dari peternakan kambingnya seperti susu, bulu, lemak dan sebagainya kepada si pemilik kebun, sebagai imbalan karena dia juga mengambil manfaat dari hasil kebun si petani dalam masa-masa tersebut.
Keputusan Sulaiman ‘alaihissalam ini lebih dekat kepada kebenaran serta lebih bermanfaat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itulah Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
فَفَهَّمۡنَٰهَا سُلَيۡمَٰنَۚ وَكُلًّا ءَاتَيۡنَا حُكۡمٗا وَعِلۡمٗاۚ
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada keduanya telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (al-Anbiya’: 79)
Sama dengan kejadian ini juga adalah ketika Dawud dan Sulaiman ‘alaihimassalam memutuskan perkara antara dua orang wanita yang masing-masing membawa seorang bayi. Tiba-tiba bayi wanita yang lebih tua diterkam oleh serigala. Wanita itu mengatakan kepada yang lebih muda bahwa anaknyalah yang diterkam serigala itu, dan yang selamat adalah bayinya. Sedangkan wanita yang lebih muda menolak pengakuan tersebut, ”Bahkan yang benar adalah serigala itu menerkam bayi wanita yang lebih tua.”
Akhirnya keduanya mengadukan perkara mereka kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Beliau tidak melihat yang lebih benar perkataannya selain pengakuan wanita yang lebih tua sehingga memutuskan bahwa anak itu menjadi haknya karena merasa iba kepadanya.
Adapun wanita yang lebih muda mungkin oleh Allah subhanahu wa ta’ala nanti akan diberi rezeki lagi seorang anak sebagai gantinya.
Namun kasus tersebut akhirnya sampai kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Beliau berkata, “Ambilkan pisau, supaya saya belah dua bayi ini untuk kalian berdua.”
Ternyata wanita yang lebih tua merelakannya. Adapun yang lebih muda berkata—ketika melihat bahwa tetap hidupnya bayi itu meskipun di tangan orang lain masih lebih baik daripada dia mati—,“Dia adalah anaknya, wahai Nabi Allah.”
Mendengar hal ini, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam segera memahami bahwa naluri keibuan wanita yang lebih muda ternyata lebih kuat dan jelas. Sehingga beliau memutuskan bahwa bayi itu sesungguhnya bukanlah milik wanita yang lebih tua karena melihat bagaimana wanita itu merelakan bayi itu dibelah dua, padahal kalau bayi itu betul-betul putranya tidak mungkin seorang ibu akan tega melakukan hal yang demikian.
Dari sini Nabi Sulaiman ‘alaihissalam melihat bahwa yang mendorong hal itu dilakukan wanita yang lebih tua tidak lain karena iri dan dengki. Jelas di dalam kisah ini bahwa mengeluarkan suatu keputusan yang tepat dalam sebuah kasus seperti di atas dengan bukti dan hal-hal yang mendukung serta saksi terhadap permasalahan tersebut merupakan pemahaman yang Allah berikan secara khusus kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
(Diambil dari Taisir al-Lathif al-Manan fi Khulashah Tafsir al-Qur’an karya asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits