Kitab Fadha’il A’mal dalam Timbangan As-Sunnah

Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh, kelompok yang ‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan akan mengetahui Kitab Fadha`il al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab tersebut di sisi mereka setara dengan kitab Shahih (al-Bukhari dan Muslim).

Membicarakan Fadha`il al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad Zakaria al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok Sufi yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh.

Hubungan yang erat di antara keduanya adalah karena Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan rutinitas harian mereka. Kitab tersebut dibaca pada beberapa waktu sehabis shalat fardhu atau dijadikan sebagai taklim akhir malam sebelum tidur, tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Bisa pula tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin.

Hal ini menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red.). Sebab, apa yang mereka dengarkan tentu akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.

Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan as-Sunnah. Kami juga menganggap perlu memperingatkan umat dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasan kitab tersebut.

Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Banyak pula penukilan perkataan kaum Sufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.

Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata dalam kitabnya, al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’ah at-Tabligh (hlm. 11—12),

“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighi adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka, Muhammad Zakaria al-Kandahlawi. Mereka memiliki perhatian yang demikian besar terhadap kitab ini. Mereka mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi, baik bagi orang India maupun bangsa ajam (non-Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka.

Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan banyak sekali hadits palsu serta lemah. Jadi, hakikatnya, ini adalah kitab yang jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin yang awam, sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.”[1]

 

Adapun secara rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa subbahasan sebagai berikut.

Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya

Sebagaimana yang telah kita sebutkan, kitab ini memuat banyak hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya.

Namun, sangat disayangkan, takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya. Kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, -red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadikan sebagai hujah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan. Akhirnya, terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan.

Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia, tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan.

  1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il al-A’mal, “Bab Fadhilah adz-Dzikr”[2] hadits dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ فَإِذَا فِيْهِ مَكْتُوبٌ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا عَمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا آدَمُ إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا خَلَقْتُكَ [3]

Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke atas langit kemudian berdoa, “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad, ampunilah dosaku.”

Allah berfirman kepadanya, “Siapakah Muhammad (yang engkau maksud)?”

Adam menjawab, “Mahaberkah nama-Mu ketika engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu. Ternyata di situ tertulis ‘Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah’. Aku pun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu daripada orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.”

Allah berfirman kepadanya, “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah nabi terakhir dari keturunanmu. Kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”

Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa penerjemahan takhrij hadits yang disebutkan al-Kandahlawi.

Dia berkata setelah itu, “Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam ash-Shaghir, al-Hakim, Abu Nu’aim, al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam ad-Durr. Dalam Majma’ az-Zawa`id (disebutkan), diriwayatkan ath-Thabarani dalam al-Ausath dan ash-Shaghir, dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal. Aku berkata, ‘Hadits ini dikuatkan oleh hadits lain yang masyhur, “Kalau bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini’.” Al-Qari berkata dalam al-Maudhu’at, “Hadits ini palsu.”

Cobalah Pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakikatnya telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun, ucapan ini tidak diterjemahkan sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa hadits ini bisa diamalkan.

Rincian kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab at-Tawassul mulai hlm. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya al-’Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Beliau menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.

  1. Disebutkan pula pada bab yang sama[4] dalam kitab tersebut, hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan bersedih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?”

Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si Fulan yang telah meninggal dunia.”

Rasul bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?”

Ia menjawab, “Telah kulakukan, wahai Rasulullah.”

Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?”

Ia menjawab, “Ya.”

Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.”

Abu Bakr bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup mengucapkan kalimat itu?”

Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”

Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya. Padahal al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi Raqqad, dihukumi tsiqah (dianggap tepercaya, -red.) oleh al-Qawariri, namun dihukumi lemah oleh al-Imam al-Bukhari dan yang lainnya[5]. Demikian yang terdapat dalam Majma’ az-Zawa`id[6].”

Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab sehingga tidak pernah dibaca oleh para pembacanya.

  1. Disebutkan pula pada bab yang sama[7] hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barang siapa mengucapkan

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Allah akan menuliskan baginya dua juta kebaikan.”

Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan komentarnya yang mengatakan, “Diriwayatkan oleh ath-Thabarani, demikian disebutkan dalam at-Targhib dan Majma’ az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”

Hal yang seperti ini sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini.

Kedua: Hadits Lemah, Palsu, Bahkan Tidak Ada Asalnya

Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang umatnya meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ‌

“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus sahabat radhiyallahu ‘anhum)

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam “Muqaddimah” Shahih-nya)

Ketika  menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh, Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah mengatakan,

“Mereka membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Barang siapa menisbahkan (sesuatu) kepadaku, hendaklah mengucapkan kebenaran atau kejujuran. Barang siapa mengada-ada sesuatu atasku yang tidak aku ucapkan, hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Ahmad dari Abu Qatadah)[8]

Berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang hal ini.

  1. Disebutkan dalam “Bab Fadhilah Shalat”, hlm. 288, hadits yang berbunyi,

“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)

Dalam kitab al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian (yang artinya), “Shalat itu menghitamkan wajah setan dan sedekah itu akan mematahkan punggungnya.”

Hadits ini sangat lemah. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb al-Hafizh. Ad-Daraquthni berkata tentangnya, “Matruk (ditinggalkan haditsnya).”

Di samping itu, ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Lemah sekali.”

Hadits ini dihukumi sangat lemah oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ ash-Shagir no. 3560.

  1. Disebutkan dalam “Bab Fadhilah adz-Dzikr” hlm. 432, ia berkata, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

 “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”

Padahal hadits ini palsu sebagaimana diterangkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah (1/173). Adapun riwayat yang sahih dengan lafadz,

لَقِيَامُ رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً

Seseorang berdiri di jalan Allah sesaat lebih afdal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-Albani dalam ash-Shahihah (4/1901).

  1. Demikian pula yang disebutkan dalam “Bab Fadhilah al-Qur`an” (hlm. 644) bahwa barang siapa mengkhatamkan al-Qur`an di siang hari, malaikat akan mendoakannya hingga malam hari; dan barang siapa menamatkannya di awal malam, para malaikat mendoakannya hingga pagi hari.

Padahal hadits ini pun lemah sebagaimana telah diterangkan oleh al-’Allamah al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah (10/4591).

Ketiga: Membawa Pemahaman Sufi

Kitab ini banyak sekali menukil pemikiran kaum Sufi yang dapat menjerumuskan kaum muslimin dalam berbagai penyimpangan, seperti kerusakan akidah, sikap ekstrem dalam beribadah, dan semisalnya.

Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi, karena Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat Sufi: Naqsyabandiyah, Jusytiyah, Sahrawardiyah, dan Qadiriyah.[9]

Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Sufi.

Disebutkan pada “Bab Fadhilah Shalat” (hlm. 316—317), al-Kandahlawi berkata,

Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a[10], seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa sehingga tertidur sebelum menyelesaikan zikir malam itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik, sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berzikir.

Gadis tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair.

Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat isya.

 Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Allah ‘azza wa jalla telah melarang kita berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah dan memerintah kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan.

Jadi, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan giat, sehingga ibadah tersebut dikerjakan dengan khusyuk dan sesempurna mungkin. Apabila ia mengantuk, dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang.

Beliau bertanya, “Tali apa ini?”

Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab[11]. Jika lesu (berdiri untuk shalat), dia bergantung dengannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika lesu, hendaklah ia tidur.”

Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلىَّ وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ ‌

“Jika salah seorang kalian mengantuk saat sedang shalat, hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Sebab, jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, sungguh dia tidak mengetahui, bisa jadi dia hendak beristighfar, tetapi tanpa sadar justru mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaihi)

 

b. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakan shalat malam adalah yang beliau sebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ‌

“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud u. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud alaihis salam, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Disebutkan pula dalam kitab ini, hlm. 484, dari Syaikh Waliyullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil,

“Ayah saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali.

Syaikh Abu Yazid Qurthubi berkata, ‘Saya mendengar bahwa barang siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka.’

Setelah mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab[12] tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri.

Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf[13]. Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun, saya agak meragukan kebenarannya.

Suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya, “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.”

Melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk mem-acakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.

Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.”

Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua manfaat (1) Saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya; (2) Saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”

Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya:

  • Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (Silakan baca kembali Majalah Asy-Syariah I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir Berjamaah)
  • Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Sebab, tidak seorang pun dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga atau neraka, kecuali yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya,

عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٖ فَإِنَّهُۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ رَصَدٗا ٢٧

“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)

Penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il al-A’mal karya Muhammad Zakaria tersebut. Karena itu, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini.

Hendaknya kaum muslimin mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti kitab Shahih al-Bukhari pada “Kitab ar-Raqa‘iq”, “Kitab al-Adab”, dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada “Kitab adz-Dzikr” dan “Kitab al-Bir wash Shilah wal Adab”, dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti kitab Riyadhus Shalihin, karya an-Nawawi; kitab al-Kalim ath-Thayyib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[14]. Masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.

Wallahu a’lam.

 

 

 

[1] al-Qaulul Baligh, hlm. 11—12

[2] Hlm. 497, versi bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban 1421 H.

[3] Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, disempurnakan oleh penulis dari referensi lainnya.

[4]  Hadits no. 32, hlm. 503

[5] Al-Imam al-Bukhari tidak hanya menghukuminya lemah, tetapi lebih dari itu, munkarul hadits. Apabila al-Imam al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa al-Imam al-Bukhari berkata, “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, biografi Aban bin Jabalah al-Kufi)

[6] Fadhilah Dzikr, hlm. 504.

[7] Hlm. 507, hadits ke-35

[8] Al-Makhraj minal Fitnah, hlm. 96

[9] Al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’ah at-Tabligh, Hamud at-Tuwaijiri, hlm. 11

[10] Demikian tertulis, maksudnya radhiallahu anhu.

[11] Terjadi silang pendapat tentang Zainab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zainab bintu Jahsy, salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki nama lain Zaenab. Sebab, semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan nama Zainab. (Dalil al-Falihin, 1/287)

[12]  Nishab artinya bagian.

[13] Ahli kasyaf adalah seseorang yang mampu melihat segala hal gaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah anggapan mereka, namun hakikatnya semua itu adalah bohong belaka.

[14] Yang keduanya telah di-takhrij dan di-tahqiq hadits-haditsnya oleh al-’Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

 

jamaah tablighKitab Fadha’il A’mal