Kunci-Kunci Rejeki (bagian dua)

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Percayakah anda yang sedang bergiat mencari penghidupan untuk anak dan istri bahwa rezeki yang halal, thayyib, dan berbarakah itu mudah diperoleh oleh hamba yang dekat dengan-Nya dan tidak melupakan-Nya? Tawakkal, memusatkan pikiran dan perhatian ketika beribadah kepada Allah l, berhijrah di jalan Allah l, dan silaturahim merupakan kunci-kunci dari sekian kunci yang mendatangkan serta memudahkan rezeki dari Allah l. Untuk kejelasannya kita baca keterangan berikut ini:

 

Tawakkal

Kita sering mendengar kata tawakkal atau bahkan mengucapkannya, tapi sebenarnya apakah yang dimaksud dengan tawakkal?

Dalam Faidhul Qadir (5/311), Al-Imam Al-Munawi1 t menjelaskan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan diri dan bersandar kepada Allah k.”

Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t berkata menerangkan makna tawakkal, “Bersandarnya seorang insan kepada Rabbnya l baik secara lahir maupun batin dalam mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/369)

Di tengah sulitnya mencari penghidupan, kami sampaikan kepada pembaca yang mulia bahwa tawakkal akan memudahkan seorang hamba bertemu dengan rezekinya karena Rabbul Izzah telah menjanjikan:

“Siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)

Rasul yang mulia n telah pula mengabarkan:

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْا خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian itu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung-burung diberi rezeki. Mereka terbang dalam keadaan lapar dan pulang kembali ke sarang mereka dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad 1/243, At-Tirmidzi no. 2344, dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah no. 310)

Asy-Syaikh Al-Mubarakfuri2 t menerangkan, “Bila kalian bersandar kepada Allah l dengan kalian meyakini tidak ada yang kuasa berbuat/memberi rezeki kecuali hanya Allah k saja, tidak ada yang dapat memberi dan tidak ada yang dapat menahan kecuali Dia, kemudian kalian berupaya mencari rezeki dengan cara yang baik disertai tawakkal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung-burung yang pergi di awal siang dalam keadaan lapar dan pulang di akhir siang dalam keadaan kenyang. Al-Munawi t menyatakan burung-burung itu terbang di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang kembali di sore hari dalam keadaan perutnya penuh. Maka bukanlah penghasilan/usaha itu yang memberi rezeki tapi yang memberikan rezeki adalah Ar-Razzaq, yaitu Allah l. Rasulullah n memberikan isyarat dalam haditsnya tersebut bahwa yang namanya tawakkal bukanlah bermalas-malasan tanpa mau berusaha. Bahkan yang namanya tawakkal harus disertai dengan upaya menempuh sebab, karena burung-burung itu diberi rezeki setelah menempuh usaha dan pencarian. Karena itulah Al-Imam Ahmad3 t berkata, “Tidak ada di dalam hadits ini yang menunjukkan ditinggalkannya usaha mencari rezeki. Bahkan justru menunjukkan upaya mencari rezeki. Hanyalah yang diinginkan Rasulullah n adalah andai mereka bertawakkal kepada Allah l dalam pergi, datang, dan segala aktivitas mereka, serta yakin kebaikan itu berada di tangan Allah l, niscaya tidaklah mereka kembali dari usaha mereka melainkan dalam keadaan beroleh rezeki, dalam keadaan selamat seperti halnya burung-burung.”

Abul Qasim Al-Qusyairi t berkata, “Ketahuilah, tawakkal itu tempatnya di hati. Adapun gerakan lahir tidaklah meniadakan tawakkal yang ada di hati, tentunya setelah seorang hamba meyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah l. Jika seorang hamba kesulitan beroleh sesuatu maka itu dengan takdir-Nya, dan jika mudah beroleh sesuatu maka dikarenakan kemudahan dari-Nya.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Az-Zuhd, bab Fit Tawakkul ‘alallahi)

Al-Imam Ahmad t pernah ditanya tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di masjid dan mengatakan, “Aku tidak mau bekerja, nanti toh rezekiku akan datang juga.” Al-Imam Ahmad t menjawab, “Orang itu bodoh tidak tahu ilmu. Sungguh Nabi n telah bersabda:

إِنَّ اللهَ جَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِيْ

‘Allah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombakku.’

لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

‘Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung-burung yang terbang meninggalkan sarangnya di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang kembali ke sarangnya di sore hari dalam keadaan kenyang.’

Rasulullah n menyebutkan bahwa burung-burung itu pergi di pagi hari dan pulang di sore hari dalam mencari rezeki.”

Al-Imam Ahmad t juga mengatakan, “Adalah para sahabat mereka berdagang dan bekerja di kebun kurma mereka. Mereka inilah yang menjadi teladan.” (dinukil dari Fathul Bari, 11/305-306)

Dengan demikian tawakkal bukan berarti meninggalkan usaha. Bahkan semestinya seorang muslim berusaha dengan sungguh-sungguh mencari penghidupannya. Hanya saja ia tidak boleh bersandar dengan kemampuan dan usahanya, namun harus meyakini bahwa perkara seluruhnya milik Allah l dan rezeki itu dari Allah l semata.

 

Memusatkan Pikiran dan Perhatian Ketika Beribadah

Di saat seorang hamba sedang beribadah kepada Allah l, hendaknya ia menghadirkan hati dan fisiknya dalam keadaan khusyuk, tunduk merendah diri kepada Allah l semata, ia hadirkan keagungan Allah l dan merasa sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha kuasa. Sehingga keberadaannya seperti tersebut dalam hadits yang mulia:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Bila engkau tidak dapat menghadirkan hati dan jasmani seakan melihatnya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.” (HR. Muslim no. 93)

Barangsiapa dapat melakukan ibadah dengan gambaran seperti ini niscaya akan dimudahkan rezekinya. Abu Hurairah z mengabarkan dari Nabi n dalam sebuah hadits qudsi:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: يَا ابْنَ آدَمَ، تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِي، أَمْلَأْ صَدْرَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلاً وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ

Sesungguhnya Allah l berfirman, “Wahai anak Adam, pusatkan pikiran dan perhatianmu saat beribadah kepada-Ku niscaya Aku akan memenuhi hatimu dengan kecukupan (kaya hati) dan Aku akan tutupi kefakiranmu (sehingga engkau merasa tidak butuh kepada makhluk namun hanya butuh kepada Allah saja). Bila engkau tidak melakukannya niscaya Aku akan memenuhi tanganmu dengan kesibukan (tidak pernah merasa cukup) dan Aku tidak akan menutupi kefakiranmu (sehingga engkau mengemis-ngemis/tergantung pada makhluk).” (HR. At-Tirmidzi no. 2466 dll, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan selainnya)

Ma’qil ibnu Yasar z berkata, Rasulullah n bersabda:

يَقُوْلُ رَبُّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِي أَمْلَأْ قَلْبَكَ غِنًى وَأَمْلَأْ يَدَيْكَ رِزْقًا، يَا ابْنَ آدَمَ، لاَ تُبَاعِدْنِي فَأَمْلَأْ قَلْبَكَ فَقْرًا وَأَمْلَأْ يَدَيْكَ شُغْلاً

Rabb kalian tabaraka wa ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, pusatkan pikiran dan perhatianmu saat beribadah kepada-Ku niscaya Aku akan memenuhi hatimu dengan kecukupan (kaya hati) dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam, janganlah engkau menjauhiku niscaya Aku akan memenuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan (tidak pernah merasa cukup).” (HR. Al-Hakim dalam Mustadraknya, 4/326, At-Tirmidzi no. 2466 dll, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah, 3/347)

 

Berhijrah Di Jalan Allah l

Allah l menjadikan amalan seseorang yang berhijrah di jalan-Nya sebagai salah satu kunci dari kunci-kunci rezeki. Namun sebelumnya kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan hijrah? Al-Jurjani t menyebutkan, bahwa hijrah adalah meninggalkan negeri yang dihuni di tengah orang kafir dan pindah ke negeri Islam (At-Ta’rifat, hal. 247), sebagaimana dulunya para sahabat g berhijrah meninggalkan Makkah, sebelum Makkah menjadi negeri Islam, menuju ke Madinah.

Hijrah ini wajib dilakukan. Sehingga manakala seorang muslim bermukim di negeri kafir, janganlah ia senang untuk tetap berdiam di situ. Bahkan ia harus berhijrah ke negeri kaum muslimin. Jangan ia khawatir dengan penghidupannya di tempat yang baru tersebut karena Allah l menjanjikan untuk membukakan rezekinya.

Allah l berfirman:

“Siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (An-Nisa’: 100)

Dalam ayat yang mulia di atas, Allah l menjanjikan dua perkara kepada orang yang berhijrah di jalan-Nya:

Pertama: ia akan mendapatkan tempat pelindungan yang dapat membentenginya.

Kedua: ia akan beroleh rezeki (Tafsir Ibni Katsir, 2/286)

Ini telah dibuktikan oleh para sahabat g. Manakala mereka dulunya meninggalkan kampung halaman dan harta mereka demi memenuhi perintah Allah l dan Rasul-Nya n untuk berhijrah fi sabilillah, Allah l pun memberi ganti yang lebih berlimpah untuk mereka. Allah l kuasakan untuk mereka perbendaharaan Persia dan Romawi.

 

Silaturahim

Rahim adalah karib kerabat. Silah ar-rahim atau silaturahim berarti menyambung rahim, kata Al-Mulla Ali Al-Qari, ungkapan ini sebagai kiasan dari berbuat baik kepada karib kerabat yang ada hubungan nasab atau karena hubungan pernikahan. Berlaku lembut kepada mereka dan memerhatikan keadaan mereka. (Mirqatul Mafatih, 8/645)

Didapatkan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa silaturahim ini merupakan satu sebab lapangnya rezeki seseorang. Di antaranya Abu Hurairah z berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang senang dibentangkan rezekinya dan diakhirkan/ditangguhkan ajalnya4, hendaklah ia menyambung rahimnya (silaturahim).” (HR. Al-Bukhari no. 5985)

Hadits di atas dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahih-nya dengan bab yang berjudul Man Busitha Lahu fir Rizqi bi Shilatirrahim, artinya orang yang dibentangkan rezeki untuknya karena silaturahim.

Masih dari Abu Hurairah z, ia memberitakan sabda Rasulullah n:

تَعَلَّمُوْا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُوْنَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فيِ الْأَهْلِ، مَثْرَاةٌ فِي الْماَلِ، مَنْسَأَةٌ فِي الْأثَرِ

“Pelajarilah nasab-nasab kalian5 yang dengannya kalian menyambung hubungan rahim kalian karena silaturahim itu menumbuhkan kecintaan kepada keluarga, memperbanyak harta, dan menangguhkan ajal.” (HR. Ahmad 17/42, At-Tirmidzi no. 1979, dan selainnya, dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 276)

Ibnu Umar c, menyatakan:

مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ وَوَصَلَ رَحِمَهُ أُنْسِئَ لَهُ فِي عُمْرِهِ، وَثُرِّيَ مَالُهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ

“Siapa yang bertakwa kepada Rabbnya dan ia menyambung hubungan rahimnya niscaya akan dipanjangkan umurnya, dibanyakkan hartanya, dan keluarganya mencintainya.” (Diriwayatkan Al-Imam Bukhari t dalam Al-Adabul Mufrad no. 58, dishahihkan dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)

Sebagian orang memahami silaturahim itu sebatas memberikan materi kepada kerabat. Padahal tidak demikian, karena silaturahim itu lebih luas cakupannya. Silaturahim berarti menyampaikan kebaikan kepada karib kerabat dengan materi atau lainnya, bisa berupa bantuan tenaga bila diperlukan, mencegah bahaya/mudarat yang akan menimpa mereka, menampakkan wajah yang manis/berseri-seri, serta mendoakan kebaikan untuk mereka. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan bila karib kerabat ini seorang muslim. Namun bila mereka kafir atau fajir maka hubungan dengan mereka diputuskan karena Allah l, dengan syarat terus mencurahkan segala upaya dan kesungguhan untuk memberikan nasihat kepada mereka serta mendoakan agar mereka beroleh hidayah. (lihat Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja’a fi Shilatir Rahim)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad, yang biasa disebut dengan Abdurrauf, Al-Munawi (952-1031 H).
2 Al-Faqih Al-Muhaddits Abul Ali Muhammad Abdurrahman ibn Abdirrahim Al-Mubarakfuri.
3 Imam mulia yang masyhur, Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal Al-Adnani Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi t, seorang alim yang tiada bandingannya di masanya, panutan dalam sikap wara’, zuhud, kokoh di atas al-haq, dan sabar dalam ujian, serta pembela Sunnah Nabawiyah yang tangguh (164-241 H).
4 Ibnu At-Tin t menyatakan zhahir (teks) hadits ini seakan bertentangan dengan firman Allah l:
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak bisa meminta tangguh/diakhirkan sesaat pun dan tidak bisa pula minta dimajukan.” (Al-A’raf: 34)
Namun ayat ini dengan hadits di atas tidaklah saling bertentangan. Bahkan keduanya bisa dikumpulkan dalam salah satu dari dua sisi berikut ini:
Pertama, tambahan umur yang disebutkan merupakan kiasan dari keberkahan dalam umur (umur yang diberkahi, bukan bertambah dengan sebenarnya) dengan sebab seseorang diberi taufik untuk melakukan ketaatan dan memakmurkan/memenuhi waktunya dengan perkara yang bermanfaat bagi akhiratnya serta menjaga waktunya dari tersia-siakan. Kesimpulannya, silaturahim merupakan sebab seseorang mendapatkan taufik untuk melakukan ketaatan dan dijaga dari maksiat, sehingga sepeninggalnya ia tetap disebut-sebut dengan kebaikan, dengan seperti ini seakan-akan ia belum meninggal.
Kedua, tambahan umur yang disebutkan adalah hakiki. Benar-benar umurnya bertambah. Penambahan ini bila dinisbatkan kepada ilmu malaikat yang diserahi pengurusan umur. Adapun dalam ayat yang menyebutkan umur tidak bisa ditangguhkan dan tidak pula disegerakan dari waktunya, maka ini bila dinisbatkan kepada ilmu Allah k. Seperti misalnya dikatakan kepada malaikat, umur si Fulan seratus tahun bila ia menyambung hubungan rahimnya dan enampuluh tahun bila ia memutus silaturahimnya. Telah lewat dalam ilmu Allah l apakah di Fulan kelak menyambung hubungan rahimnya ataukah memutusnya. Apa yang ada dalam ilmu Allah l tidak akan maju/disegerakan dan tidak pula mundur/ditangguhkan. Namun yang ada pada ilmu malaikat bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Ayat berikut ini memberi isyarat demikian:
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Penghapusan dan penetapan ini bila dinisbatkan pada ilmu malaikat. Sedangkan yang ada dalam Ummul Kitab, yang ada dalam ilmu Allah l, ini tidak dapat berubah sama sekali. Ath-Thibi menguatkan sisi yang pertama. (Fathul Bari, 10/510-511)
Ketika mengomentari hadits Anas bin Malik z yang menyebutkan sabda Rasulullah n:
مَنْ أَحَبَّ ُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dibentangkan rezekinya dan diakhirkan/ditangguhkan ajalnya, hendaklah ia menyambung rahimnya (silaturahim).” (HR. Al-Bukhari no. 5985)
Al-Imam Al-Albani t berkata, “Hadits ini sesuai dengan zhahirnya, yaitu dengan hikmah-Nya, Allah l menjadikan silaturahim sebagai sebab syar’i dapat memanjangkan umur. Demikian pula akhlak yang baik dan menjadi teman/tetangga yang baik sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih. Hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang diketahui dari agama ini secara pasti bahwa umur itu telah ditetapkan. Karena ini kalau melihat kepada khatimah/penutup hidup seseorang secara sempurna, seperti bahagia atau celaka, keduanya ini telah ditetapkan atas setiap individu, apakah ia orang yang beruntung/bahagia ataukah ia orang yang sengsara/celaka. Kebahagiaan dan kesengsaraan ini digantungkan dengan sebab-sebab secara syar’i sebagaimana sabda Rasulullah n:
“Beramallah kalian, masing-masingnya akan dimudahkan kepada apa yang dia diciptakan untuknya. Siapa yang termasuk ahlus sa’adah/ orang-orang yang berbahagia maka ia akan dimudahkan untuk beramal dengan amalannya ahlus sa’adah. Dan siapa yang termasuk ahlus syaqawah/orang-orang yang celaka maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan ahlus syaqawah.”
Kemudian Rasulullah n membacakan ayat:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan surga, maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan yang sukar.” (Al-Lail: 5-10)
Maka sebagaimana iman itu dapat bertambah dan berkurang, bertambahnya dengan ketaatan dan berkurangnya dengan kemaksiatan, dan hal ini tidaklah meniadakan apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh, demikian pula umur, dapat bertambah dan berkurang dengan melihat sebab-sebab yang ada. Maka hal ini tidak bertentangan atau meniadakan apa yang telah tercatat pula di Lauh Mahfuzh.” (Sebagaimana dinukil dalam Syarhu Shahih Al-Adabil Mufrad, 1/73)
5 Maknanya, kenalilah karib kerabat kalian dari kalangan mereka yang memiliki hubungan rahim dengan kalian sehingga memungkinkan bagi kalian untuk silaturahim yaitu mendekati mereka, menyayangi mereka, dan memberikan kebaikan kepada mereka. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja’a fi Ta’limin Nasab)