(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Mencari rezeki termasuk salah satu perkara yang menyibukkan kehidupan seorang insan, terlebih lagi bila ia seorang kepala rumah tangga yang memiliki banyak tanggungan, anak dan istri yang harus dihidupinya. Tak jarang untuk mendukung ekonomi keluarga seorang istri turut bekerja, baik di dalam maupun di luar rumahnya.
Kata sebagian orang yang tertipu dengan dunia, tahun-tahun belakangan ini hidup semakin sulit, susah mendapatkan penghasilan. “Jangankan yang halal, yang haram aja susah,” kata mereka. “Jadi orang itu jangan terlalu lurus, jangan terlalu jujur, karena nanti susah dapat bagian, sempit rezekinya. Nggak apa-apa sedikit bengkok kalau pengen hidup senang,” kata yang lain. “Sama agama biasa aja lah, jangan terlalu fanatik, nanti dunianya nggak dapat.”, “Nggak apa-apa deh kita menutup mata dari sebagian hukum Islam kalau ingin ekonomi rumah tangganya baik, Allah kan Maha Tahu kesulitan kita, kan zaman semakin sulit.” Atau pernyataan lain yang senada. Wallahul musta’an.
Ungkapan dan anggapan seperti di atas sepertinya sedikit banyak turut memengaruhi pikiran kita yang ingin lebih dalam mempelajari agama dan memegangi tuntunan agama. “Kayaknya kita ikut ngaji, hidup semakin sempit. Apa-apa tidak boleh. Mau usaha ini nggak boleh, usaha itu nggak pantas. Suami saya putar-putar cari rezeki nggak dapat juga.”
Apa iya seperti itu? Benarkah berpegang dengan Islam yang benar akan menyempitkan rezeki?
Sungguh mereka yang berpikiran demikian lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Pencipta k tidaklah mensyariatkan agama-Nya kepada insan hanya sekadar membimbing kehidupan ukhrawinya saja. Bahkan ajaran-Nya juga berisi bimbingan kehidupan duniawi dan bagaimana mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Bukankah Nabi yang mulia n banyak melantunkan doa:
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.” (Al-Baqarah: 201)1
Al-Qadhi ‘Iyadh2 t berkata, “Beliau n banyak mengucapkan doa: ‘Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia…’ dst, karena doa ini mengumpulkan seluruh makna doa dari perkara dunia dan akhirat. Hasanah/kebaikan yang dipinta di sini menurut mereka adalah kenikmatan. Maka beliau n memohon kepada Allah l kenikmatan dunia dan akhirat serta penjagaan dari azab neraka.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/190)
Al-Hafizh Ibnu Katsir3 t menyatakan, “Kebaikan di dunia mencakup seluruh yang dicari/diharapkan dari dunia ini berupa kesehatan, rumah yang lapang, istri yang baik, rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang mudah, sebutan yang baik, dan selainnya. Meliputi kebaikan apa saja yang disebutkan para ahli tafsir. Tidak ada pertentangan satu sama lain, karena seluruhnya termasuk kebaikan di dunia. Adapun kebaikan di akhirat, tentunya yang paling tinggi adalah masuk surga dan yang di bawahnya adalah keamanan dari kengerian yang dahsyat di padang mahsyar, mudahnya penghisaban, dan perkara kebaikan akhirat lainnya. Sementara permintaan selamat dari neraka berkonsekuensi memohon diberi kemudahan untuk menempuh sebab-sebab keselamatan ketika hidup di dunia berupa menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dosa-dosa, meninggalkan syubhat dan yang haram.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 1/319)
Allah yang Maha Mulia, demikian pula Nabi-Nya yang mulia n, tidak membiarkan umat Islam berjalan dalam kegelapan dan kebingungan kala berupaya mencari penghidupan. Bahkan diajarkan kepada umat ini sebab-sebab datangnya rezeki, yang kalau umat ini memahaminya, berpegang dengannya dan menggunakannya dengan baik niscaya rezeki akan mudah diperolehnya sebagai anugerah dari Ar-Razzaq (Allah Yang Maha Memberi rezeki). Rezeki terbuka baginya dari segala arah serta berkah dari langit dan bumi tercurah atasnya.
Allah k berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan bertakwa niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (Al-A’raf: 96)
Karena keinginan menjelaskan hal ini kepada keluarga-keluarga kaum muslimin yang sedang berjuang mencari penghidupan yang halal, kami sengaja mengangkat permasalahan ini dalam rubrik keluarga, Mengayuh Biduk. Idenya kami dapatkan dari sebuah kutaib (kitab kecil) yang ditulis oleh Dr. Fadhl Ilahi berjudul Mafatihur Rizqi fi Dhau’il Kitab was Sunnah4.
Ketahuilah, wahai keluarga kaum muslimin! Jalan yang melapangkan rezeki seseorang itu -di samping tentunya usaha melalui pekerjaan yang halal, sebagaimana dijelaskan dalam Vol. IV/No. 46- bentuknya berupa amal shalih atau kebaikan yang bisa kita sebutkan berikut ini:
1. Istighfar dan taubat
2. Takwa
3. Tawakkal kepada Allah l
4. Menghadirkan hati di hadapan Allah l/ konsentrasi ketika beribadah
5. Mengikutkan haji dengan umrah
6. Silaturahim
7. Infak fi sabilillah
8. Memberi nafkah kepada seseorang yang menghabiskan waktunya menuntut ilmu agama
9. Berbuat baik kepada orang-orang lemah
10. Berhijrah di jalan Allah k.
1. Istighfar dan Taubat
Termasuk amalan yang paling penting sebagai pembuka rezeki seorang hamba adalah istighfar/minta ampun dan taubat kepada Allah Al-Ghaffar At-Tawwab. Namun yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya hakikat dari istighfar dan taubat? Karena kebanyakan orang memandang istighfar dan taubat cukup dengan lisan saja, dengan semata mengatakan, “Astaghfirullah wa atubu ilaih.” Tapi kalimat ini tidak ada kesannya di dalam hati, apalagi tampak pada amalan tubuh.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin (hal. 33-34), Al-Imam An-Nawawi5 t menjelaskan, “Ulama mengatakan, bertaubat itu wajib dilakukan dari setiap dosa. Bila maksiatnya antara hamba dengan Allah l, tidak ada kaitannya dengan hak anak Adam, maka harus terpenuhi tiga syarat:
1. Mencabut diri dari maksiat tersebut.
2. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan.
3. Berketetapan hati (bertekad kuat) untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Bila hilang salah satu dari tiga syarat di atas, taubat seseorang tidaklah sah.
Apabila maksiat yang dilakukan ada kaitannya dengan orang lain, maka syaratnya ada empat. Tiga yang telah disebutkan, ditambah dengan melepaskan diri dari hak orang lain yang diambil/dilanggarnya. Bila berupa harta atau semisalnya, ia kembalikan kepada pemiliknya atau minta diikhlaskan. Bila berupa tuduhan keji kepada orang lain maka dipersilakannya orang itu untuk membalasnya/memberi hukum had kepadanya atau meminta pemaafannya. Bila itu berupa ghibah, ia minta kehalalannya.”
Dalil-dalil yang menunjukkan istighfar dan taubat sebagai pintu rezeki adalah sebagai berikut:
1. Nabi Nuh q pernah berkata kepada kaumnya:
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut serta memperbanyak harta dan anak-anak kalian serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai untuk kalian…” (Nuh: 10-12)
Dari ayat-ayat yang mulia di atas, tampak bagi kita bahwa istighfar mendatangkan perkara-perkara berikut ini:
– Pengampunan dari Allah k atas dosa-dosa yang dilakukan karena Dia Maha Pengampun.
– Allah l akan menurunkan hujan yang berturut-turut/susul-menyusul sebagaimana kata Ibnu Abbas c: ﭔ adalah sebagiannya mengikuti sebagian yang lain. (Riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitabut Tafsir, Surah Nuh)
– Allah k akan memperbanyak harta dan anak-anak. Atha’ t berkata dalam tafsirnya terhadap ayat ﭖ ﭗ ﭘ : “Dia akan memperbanyak harta dan anak-anak kalian.” (Tafsir Al-Baghawi, 4/367)
– Allah l akan mengadakan kebun-kebun.
– Allah l akan mengadakan sungai-sungai yang dengannya kalian dapat mengairi kebun-kebun dan sawah ladang kalian. (Tafsir Ath-Thabari, 12/249)
Al-Imam Al Qurthubi6 t berkata, “Dalam ayat ini dan juga dalam surah Hud7 ada bukti/dalil bahwa dengan istighfar akan diturunkan rezeki dan hujan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 18/190)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya mengatakan, “Maksudnya bila kalian bertaubat kepada Allah k, beristighfar kepada-Nya, dan menaati-Nya niscaya Dia akan memperbanyak rezeki kalian, mencurahkan kepada kalian dari keberkahan langit dan menumbuhkan untuk kalian dari keberkahan bumi. Dia tumbuhkan untuk kalian tanam-tanaman, Dia deraskan susu perahan untuk kalian, serta Dia berikan kepada kalian harta dan anak-anak. Dia jadikan untuk kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat beraneka macam buah, diselingi kebun-kebun tersebut dengan aliran sungai-sungai.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 8/182)
Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab z berpegang dengan pengabaran yang ada di dalam ayat-ayat di atas ketika meminta hujan kepada Allah l. Disebutkan bahwa Umar z pernah keluar ke tanah lapang guna memintakan hujan untuk manusia, maka beliau tidak menambah selain istighfar sampai kembali ke kediamannya, lalu turunlah hujan. Ada yang berkata kepadanya, “Kami tidak mendengarmu meminta hujan kepada Allah l.” Umar menjawab bahwa ia meminta hujan dengan beristighfar, kemudian ia membaca ayat:
“Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut…” (Tafsir Ath-Thabari 12/249, Tafsir Al-Khazin 4/345)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri8 t memberikan arahan untuk beristighfar kepada setiap orang yang datang kepadanya mengadukan kemarau, kemiskinan, kemandulan/tidak beroleh keturunan dan keringnya kebun-kebun, seperti yang diriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Shabih, ia berkata, “Seorang lelaki mengadukan problem kemarau kepada Al-Hasan. Ia pun memberi bimbingan, ‘Istighfarlah kepada Allah l’, ucapnya. Yang lain datang mengeluhkan kemiskinannya. ‘Istighfarlah kepada Allah l’, kata Al-Hasan. Orang lain lagi datang seraya berkata kepada Al-Hasan, ‘Mohon berdoalah kepada Allah l agar Dia memberi rezeki seorang anak untukku.’ Al-Hasan menjawab, ‘Istighfarlah kepada Allah l.’ Yang lain lagi mengeluhkan keringnya kebun-kebun. ‘Istighfarlah kepada Allah l’, kata Al-Hasan.
Kami mengatakan kepada Al-Hasan, ‘Telah datang kepadamu beberapa orang dengan pengaduan yang berbeda-beda, namun engkau menyuruh mereka semua agar beristighfar.’
Al-Hasan menjawab, “Aku tidak berkata demikian dari pikiranku sendiri. Sungguh Allah l berfirman dalam surah Nuh:
ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan memperbanyak harta dan anak-anak kalian serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai untuk kalian…” (Nuh: 10-12) [Tafsir Al-Qurthubi, 18/196, Ruhul Ma’ani, 14/112]
2. Nabi Hud q pernah mengajak kaumnya untuk beristighfar:
(Nabi Hud berkata) “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan Dia akan menambah kekuatan kepada kekuatan kalian serta janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata menafsirkan ayat di atas, “Kemudian Nabi Hud q menyuruh mereka istighfar yang dengannya akan menghapuskan dosa-dosa yang lalu, dan mengajak mereka bertaubat dari apa yang akan dihadapi di waktu mendatang. Siapa yang memiliki sifat seperti ini maka Allah l akan melapangkan rezekinya, memudahkan urusannya, dan menjaga perkaranya. Karena itu Allah l berfirman:
“…niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut…” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/230)
3. Dalam surah Hud ayat 3, Allah l berfirman:
“Mohon ampunlah kalian kepada Rabb kalian, kemudian bertaubatlah kepada-Nya niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai waktu yang telah ditentukan …” (Hud: 3)
Dalam ayat di atas, Allah l menjanjikan kehidupan yang baik bagi orang yang beristighfar dan bertaubat. Yang dimaksud ﮱ ﯓ ﯔ adalah Dia akan memberikan keutamaan kepada kalian dengan rezeki dan kelapangan, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas c. (Zadul Masir, 3/319)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Ini merupakan buah istighfar dan taubat, yaitu Allah l akan memberikan kepada kalian perkara-perkara yang bermanfaat, seperti kelapangan rezeki dan kehidupan yang enak. Dia tidak membinasakan kalian dengan azab-Nya sebagaimana yang dilakukan-Nya atas orang-orang sebelum kalian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/5)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi9 t berkata, “Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa istighfar dan taubat kepada Allah l dari dosa-dosa yang pernah dilakukan merupakan sebab Allah l memberikan kenikmatan kepada pelakunya dengan terus-menerus sampai waktu yang telah ditentukan. Karena Allah l menyebutkan istighfar dan taubat sebagai syarat diperolehnya jaza’ (balasan) berupa kenikmatan tersebut (susunan fi’il syarat dengan fi’il jawab/jaza’).” (Adhwa’ul Bayan, 3/9)
2. Takwa
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah10 t mengatakan, “Hakikat takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah l karena iman dan mengharapkan pahala, melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Ia melakukan apa yang Allah l perintahkan kepadanya karena mengimani perintah tersebut dan membenarkan janji-Nya. Ia meninggalkan apa yang Allah l larang karena mengimani larangan tersebut (datangnya dari Allah l) dan khawatir beroleh ancaman-Nya. Sebagaimana ucapan Thalq ibnu Habib11 t, “Bila terjadi fitnah maka padamkanlah dengan takwa.” Mereka yang mendengar ucapan Thalq ini bertanya, “Apa yang dimaksud dengan takwa?” Thalq menjawab, “Takwa adalah engkau beramal ketaatan kepada Allah k di atas cahaya dari Allah k karena mengharapkan pahala Allah k, dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah k di atas cahaya dari Allah k karena takut akan hukuman Allah l.” (Ar-Risalah At-Tabukiyyah, hal. 25-26)
Dengan demikian, siapa yang tidak menjaga dirinya dari dosa berarti ia bukan seorang yang bertakwa. Siapa yang kedua matanya bersengaja melihat apa yang Allah l haramkan padanya, atau kedua telinganya bersengaja mendengar apa yang mengundang kemarahan Allah l, atau kedua tangannya bersengaja mengambil apa yang tidak Allah l ridhai, atau ia sengaja berjalan ke tempat yang Allah l benci, berarti ia tidak menjaga dirinya dari dosa.
Siapa yang menyelisihi perintah Allah l dan melakukan perkara yang Allah l larang berarti ia bukanlah dari kalangan muttaqin. Siapa yang memperhadapkan dirinya kepada kemarahan Allah l dan hukuman-Nya maka sungguh ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan muttaqin. (Mafatihur Rizki, hal. 24)
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa takwa termasuk sebab dibukakannya rezeki seorang hamba. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:
1. Allah l berfirman:
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan jadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Dalam ayat di atas Allah l menyebutkan dua balasan bagi orang yang bertakwa:
Pertama: diberikan jalan keluar yang menyelamatkannya dari setiap bencana/kesulitan di dunia dan di akhirat, sebagaimana kata Ibnu Abbas c.
Kedua: diberi rezeki yang tidak disangka-sangkanya, tak pernah ia angankan dan tak pernah diharapnya. (Tafsir Ath-Thabari, 12/130)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan, “Siapa yang bertakwa kepada Allah l dalam perkara yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, maka Allah l akan jadikan baginya jalan keluar dari perkaranya, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya, yaitu dari sisi yang tak pernah terbetik di benaknya.” (Tafsir Ibni Katsir, 8/117)
2. Dalam surah Al-A’raf ayat 96, Allah l berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan bertakwa niscaya pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di t berkata menafsirkan ayat di atas, “Seandainya mereka beriman dengan hati mereka dengan keimanan yang benar, dibuktikan dengan amalan, dan mereka bertakwa kepada Allah k secara lahir dan batin dengan meninggalkan seluruh yang diharamkan Allah l, niscaya Allah k akan bukakan untuk mereka berkah langit dan bumi. Sehingga Dia menurunkan hujan atas mereka dengan berturut-turut dan Dia tumbuhkan untuk mereka berbagai tanaman dari bumi, yang dengannya mereka dan hewan ternak mereka hidup dengan makmur serta rezeki melimpah tanpa merasakan kepayahan, kelelahan, dan keletihan…” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 298)
3. Allah l mengabarkan tentang ahlul kitab sebagai umat yang sebelum kita, namun dengan diutusnya Rasulullah n mereka dituntut untuk beriman kepada beliau dan kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau n:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari Rabb mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka…” (Al-Ma’idah: 66)
Bila ahlul kitab itu mau bertakwa dengan menjalankan hukum Taurat, Injil, dan Al-Qur’an, niscaya Allah l akan menurunkan hujan yang berturut-turut dari langit dan bumi pun mengeluarkan berkahnya, kata Ibnu Abbas c. (Tafsir Ath-Thabari, 4/240)
Al-Imam Al Qurthubi t berkata, “Yang serupa dengan ayat ini adalah:
‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan jadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.’ (Ath-Thalaq: 2-3)
1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari t dalam kitab Shahihnya (no. 6389) dan Muslim t (no. 6781) dari Anas bin Malik z, ia berkata:
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِالنَّبِيِّ n: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Doa yang paling banyak diucapkan Nabi n adalah: “Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.”
2 Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Iyadh ibn Musa ibn Iyadh Al-Yahshibi t, salah seorang imam/tokoh ulama dalam ilmu hadits di negeri Maghrib, lahir tahun 476 H, wafat pertengahan tahun 544 H dalam keadaan terusir dari negerinya karena fitnah yang dahsyat yang terjadi pada zaman beliau. Semoga Allah l merahmati beliau.
3 Al-Imam Al-Hafizh Al-Muhaddits (ahli hadits), Al-Mu’arrikh (pakar sejarah), ahli tafsir, ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasqi Asy-Syafi’i t, lahir tahun 701 H, salah seorang murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Beliau wafat tahun 774 H.
4 Pembahasan ini akan kami tulis secara bersambung agar semua sisi dapat tersampaikan secara cukup mendetail. Wallahul musta’an, dan Dia-lah yang memberi taufik.
5 Al-Imam Al-Muhaqqiq Al-Hafizh Muhyiddin Yahya ibnu Syaraf ibnu Murri ibnu Hasan ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu’ah ibnu Hizam Abu Zakariyya An-Nawawi Ad-Dimasyqi t, lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H.
6 Al-Imam Al-Mufassir Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Qurthubi t, seorang imam yang kokoh dan mendalam ilmunya, wafat di bulan Syawwal tahun 671 H.
7 Beliau mengisyaratkan kepada firman Allah l:
(Nabi Hud berkata): “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan Dia akan menambah kekuatan kepada kekuatan kalian dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
8 Al-Imam Abu Sa’id Al-Hasan ibnu Abil Hasan Yasar Al-Bashri t, maula Zaid bin Tsabit Al-Anshari z. Ibunya adalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Ummul Mukminin Ummu Salamah x, lahir dua tahun terakhir dari masa khilafah ‘Umar ibnul Khaththab z. Beliau seorang imam yang zuhud, wafat tahun 110 H.
9 Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakni Asy-Syinqithi t, lahir tahun 1325 H dan wafat tahun 1393 H. Beliau seorang alim yang sangat luas ilmunya akan kitabullah.
10 Al-Imam Syamsuddin Muhammad ibnu Abi Bakr ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t, lahir tahun 691 H dan wafat tahun 751 H. Beliau salah seorang murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Seorang yang faqih bermazhab Hambali, bahkan seorang mujtahid mutlak, ahli tafsir, fikih, nahwu, dan ilmu ushul.
11 Thalq ibnu Habib Al-Anzi Al-Bashri t, seorang tabi’in, murid Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Jabir, Ibnuz Zubair, Ibnul ‘Ash, dan selain mereka, g.