Larangan Melakukan Isbal Saat Shalat

Isbal adalah memanjangkan kain/celana hingga melampaui atau menutupi mata kaki. Seorang lelaki tidak boleh shalat dalam keadaan isbal, menyeret pakaiannya atau memanjangkan pakaian bawahnya karena sombong/mengangkat diri. Batasan panjang pakaian laki-laki memang hanya sampai di atas kedua mata kakinya, tidak boleh sama sekali turun dari batasan tersebut, baik pakaiannya itu berupa sirwal, sarung, jubah, atau yang lainnya. Berbeda halnya dengan wanita, apabila keluar rumah/di depan laki-laki yang bukan mahramnya, wanita harus menutup tubuhnya sampai ke dua telapak kakinya[1]. (al-Muhalla 2/391—392)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

“Pada hari kiamat Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena berlaku sombong.” (HR. al-Bukhari no. 5783 dan Muslim no. 5420)

Baca juga: Larangan Isbal (Menjulurkan Pakaian di Bawah Mata Kaki)

Ada larangan melaksanakan shalat dalam keadaan memanjangkan kain/celana (musbilul izar) dan ancamannya secara khusus. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang shalat dalam keadaan musbilul izar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan padanya, “Pergilah dan berwudhulah!”

Orang itu pun pergi berwudhu, lalu datang kembali. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan lagi, “Pergilah dan berwudhulah!”

Ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda perintah dia untuk berwudhu?”

Beliau pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Kemudian, beliau bersabda,

إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ، وَإِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ

“Sesungguhnya, dia shalat dalam keadaan memanjangkan kainnya. Sesungguhnya, Allah tidak menerima shalat seseorang yang memanjangkan kainnya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 638 dan 4086. Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menilai hadits ini sahih dalam tahkik dan taklik beliau terhadap al-Muhalla, 4/102)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sisi pendalilan hadits ini—wallahu a’lam—bahwasanya melakukan isbal terhadap pakaian merupakan perbuatan maksiat. Setiap orang yang melakukan maksiat diperintah untuk berwudhu dan shalat. Sebab, wudhu akan memadamkan sesuatu yang terbakar oleh maksiat.” (Tahdzibus Sunan, 6/50)

Melakukan Isbal Bukan karena Sombong

Al-Hafizh rahimahullah dalam Fathul Bari (10/325) menukilkan ucapan Ibnul Arabi rahimahullah secara ringkas sebagai berikut.

“Seseorang tidak boleh melebihkan pakaiannya dari mata kakinya lantas berkata, ‘Aku memanjangkannya bukan karena sombong.’ Sebab, larangan dalam hadits bisa jadi mencakupnya secara lafaz. Orang yang tercakup dalam lafaz secara hukum tidak boleh mengatakan, ‘Aku tidak melakukan larangan dalam hadits tersebut karena sebab yang dinyatakan dalam hadits tidak ada padaku.’ Semua ini merupakan pengakuan yang tidak bisa diterima. Bahkan, ketika dia sengaja memanjangkan bagian bawah pakaiannya, ini menunjukkan sifat takaburnya.”

Al-Hafizh rahimahullah berkata setelahnya,

“Kesimpulannya, isbal berkonsekuesi menyeret pakaian. Berikutnya, menyeret pakaian berkonsekuensi adanya sifat sombong walaupun pemakainya tidak bertujuan untuk berlaku sombong. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Ahmad bin Mani’ dari jalan lain dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

إِياَّكَ وَجَرَّ الْإِزَارِ فَإِنَّ جَرَّ الْإِزَارِ مِنَ الْمَخِيْلَةِ

“Hati-hati engkau dari menyeret kainmu karena menyeret kain termasuk kesombongan.”


Catatan Kaki

[1] Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang menyeret pakaiannya (menjulurkannya sampai tanah/di bawah mata kaki, -pent.) karena sombong (isbal), Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Mendengar hal itu, Ummu Salamah radhiallahu anha berkata,

فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟ قَالَ: يُرْخِيْنَهُ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: يُرْخِ ذِرَاعًا وَلاَ يَزِدْنَ

“Apa yang harus diperbuat oleh wanita dengan ekor-ekor (ujung/bagian bawah) pakaian mereka?”

Beliau berkata, “Hendaklah mereka menurunkannya sejengkal (dari betis, pent.).”

Ummu Salamah radhiallahu anha berkata, “Jika demikian, masih terlihat telapak kaki mereka.”

Beliau berkata, “Turunkan satu hasta dan jangan lebih.” (Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Abi Dawud, dan Shahih Ibni Majah)

Baca juga: Hukum Isbal

Ath-Thibi dalam Syarhul Misykat (9/2898) menerangkan bahwa ketika Ummu Salamah radhiallahu anha mendengar hadits ini,

إِزَارُ الْمُؤْمِنِ إِلىَ أَنْصَافِ سَاقَيْهِ، لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبِ، وَمَا أَسْفَلَ ذَلِكَ فِي النَّارِ

“Kain/pakaian seorang mukmin sampai setengah kedua betisnya. Tidak ada dosa baginya dalam apa antara dia dan dua mata kakinya. Adapun apa yang di bawah batasan tersebut (yakni dipanjangkan sampai di bawah mata kaki) akan diazab dalam neraka.” (HR. Ahmad 3/5 dan selainnya. Kata Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 410, 1/346, “Hadits ini hasan di atas syarat Muslim.”)

Ummu Salamah menyangka bahwa hukum ini mencakup dirinya (wanita). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan kepadanya bahwa hukum ini khusus bagi laki-laki, sedangkan kaum wanita menurunkan pakaian mereka satu hasta. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari menyebutkan yang semisal ini.

(Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari)

isballaranganmusbilshalat