Maimunah Bintu Al Harits, Anugrah Cinta Dalam Asa

Maimunah bintu al-Harits bin Hazn bin Jabir bin al-Hazm. Untuk apakah kiranya rentang usia apabila bukan untuk kemuliaan? Berita kedatangan Khairul Anam di tanah kelahirannya dalam nuansa kemenangan Khaibar disambut oleh seorang wanita mulia dengan sarat harapan. Ingin menyatakan ketundukannya pada Rabbnya, ingin berdamping hidup dengan Rasul-Nya….

Gema kemenangan pasukan kaum muslimin setelah merebut Khaibar terasa di Madinah. Tak selang berapa lama, pada bulan Dzulqa’dah tahun ketujuh setelah hijrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat bersiap untuk menunaikan umrah qadha yang sempat tertunda setahun lamanya karena perjanjian Hudaibiyah. Kaum muslimin bermaksud menetap di Makkah, negeri yang mereka rindukan, selama tiga hari.

Berangkatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Makkah. Sementara itu, di sana, ada seorang wanita mulia yang hendak menyongsong turunnya kebaikan dari sisi Rabbnya.

Wanita itu bernama Maimunah bintu al-Harits bin Hazn bin Jabir bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin ‘Ikrimah bin Hafshah bin Qais Ailan bin Mudhar al-Hilaliyah radhiallahu ‘anha. Ibunya bernama Hindun bintu ‘Auf bin Zuhair bin al-Harits.

Saudara-saudara perempuannya adalah wanita-wanita yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, para ibu sahabat yang mulia. Di antara mereka ada Ummul Fadhl Lubabah al-Kubra bintu al-Harits radhiallahu ‘anha, istri al-’Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu ‘anhu, ibu Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Demikian pula Lubabah ash-Shughra bintu al-Harits radhiallahu ‘anha, istri al-Walid bin al-Mughirah, yang melahirkan Pedang Allah, Khalid ibnul Walid radhiallahu ‘anhu. Demikian juga saudaranya seibu, Asma bintu Umais radhiallahu ‘anha, istri Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, yang sepeninggal Ja’far radhiallahu ‘anhu menikah dengan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, dan disusul pernikahannya dengan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu setelah Abu Bakr radhiallahu ‘anhu wafat.

Sebelum masa kedatangan Islam, Maimunah yang kala itu masih bernama Barrah disunting oleh Mas’ud bin ‘Amr bin ‘Umair ats-Tsaqafi. Namun, perjalanan dua insan ini tak bertahan lama karena harus berakhir dengan perceraian. Maimunah kemudian menjalin ikatan pernikahan dengan Abu Rahm bin Abdil ‘Uzza. Namun, jalinan ini pun harus terurai karena Abu Rahm meninggal.

Maimunah menjalani kesendirian di negeri Makkah. Dia berada di antara kaum muslimin yang menyembunyikan keimanan dalam jiwanya. Betapa inginnya Maimunah saat itu untuk mendapatkan kemuliaan sebagai salah satu di antara ibu-ibu kaum mukminin. Keinginannya pun terungkap di hadapan saudarinya, Ummul Fadhl radhiallahu ‘anha, yang segera menyampaikan kepada suaminya, al-‘Abbas radhiallahu ‘anhu.

Al-‘Abbas pun menyampaikan keinginan Maimunah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Maimunah telah menjanda. Apakah engkau suka bila kunikahkan engkau dengannya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut keinginan itu. Dalam perjalanannya ke negeri Makkah, Rasulullah mengutus Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang kala itu baru kembali dari hijrahnya ke Habasyah bersama kaum muslimin untuk mendahului beliau memasuki Makkah. Melalui Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pinangan beliau terhadap Maimunah radhiallahu ‘anha. Maimunah pun menyerahkan urusan pernikahan ini kepada al-‘Abbas radhiallahu ‘anhu.

Pada tahun itu, al-’Abbas menikahkan Maimunah radhiallahu ‘anha dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mahar 500 dirham. Maimunah radhiallahu ‘anha pun meninggalkan kesendiriannya, memasuki gerbang rumah tangga bersama seseorang yang teramat mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah wanita terakhir yang memasuki perjalanan rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun, waktu berjalan begitu cepat. Setelah tiga hari berlalu, Suhail bin ‘Amr bersama serombongan penduduk Makkah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Muhammad! Cepat keluar dari sini! Ini adalah hari terakhir bagimu.”

Mendengar ucapan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Biarkan aku sejenak di sini agar aku bisa bermalam dengan istriku. Aku akan membuat makanan untuk menjamu kalian.”

Namun, Suhail bin ‘Amr segera menukas, “Tidak!”

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa serta Maimunah radhiallahu ‘anha keluar dari negeri Makkah untuk kembali ke Madinah. Tiba di Saraf, sekitar 10 mil dari kota Makkah, beliau pun singgah. Di sana, di tenda Maimunah, beliau bermalam pengantin bersama Maimunah radhiallahu ‘anha.

Wanita mulia yang menginginkan kemuliaan. Dari kehidupan rumah tangganya, dia menimba banyak faedah dari suami tercinta. Betapa banyak deretan nama yang mengambil riwayat darinya, hingga tertulislah namanya menghiasi berbagai kitab yang merangkum hadits yang mulia.

Duhai, tibalah saat wanita mulia ini harus kembali kepada Rabbnya, meninggalkan keharuman kenangan akan segenap kebaikan.

Di antara orang-orang yang menyalati jenazahnya, tampak Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Kala itu, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berpesan, “Kalau kalian mengangkat jenazahnya, hendaknya kalian berlemah lembut dan tidak menggoncangkannya, karena dia adalah ibu kalian.”

Dibawalah Maimunah radhiallahu ‘anha di atas pundak orang-orang yang mengusungnya atas perintah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Lalu Ibnu ‘Abbas bersama kemenakan Maimunah radhiallahu ‘anha yang lain, Yazid bin al-Asham dan Abdullah bin Syaddad, disertai ‘Ubaidullah al-Khaulani, seorang yatim yang ada di rumah Maimunah radhiallahu ‘anha masuk ke dalam kubur Maimunah untuk meletakkan jenazahnya.

Pada tahun ke-51 setelah hijrah itu, Maimunah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha meninggalkan kaum muslimin untuk selama-lamanya. Dia dikuburkan di Saraf, tempat malam pengantinnya yang penuh kenangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Duhai, inilah saat berakhirnya catatan kehidupan seorang wanita mulia yang begitu berkesan, hingga ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mengatakan, “Telah pergi seorang yang paling takwa di antara kami, dan paling senang menyambung hubungan kasih sayang.”

Maimunah bintu al-Harits, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya….

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran

 


Sumber Bacaan:

  • Al-Ishabah, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/126—128)
  • Al-Isti’ab, karya al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1914—1918)
  • Siyar A’lamin Nubala, karya al-Imam adz-Dzahabi (2/238—245)
  • Tahdzibul Kamal, karya al-Imam al-Mizzi (35/312)
  • Ath-Thabaqatul Kubra, karya al-Imam Ibnu Sa’d (8/132—137)
Kisah sahabatummul mukminin