Masyarakat Madinah (bagian 2)

Semakin lama kedudukan masyarakat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin kokoh. Syariat jihad pun akhirnya turun setelah sebelumnya kaum muslimin diperintahkan untuk bersabar atas gangguan musuh-musuhnya.

 

Perintah Jihad

Kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin kokoh di Madinah. Allah subhanahu wa ta’ala menolong beliau melalui hamba-hamba-Nya dari kalangan al-Anshar serta Allah subhanahu wa ta’ala satukan hati kaum Muhajirin dan Anshar. Padahal sebelumnya mereka dalam permusuhan dan silang sengketa. Akhirnya, Ansharullah (para penolong Allah subhanahu wa ta’ala) ini membela Nabi- Nya, mencurahkan seluruh jiwa raga dan harta mereka serta mendahulukan kecintaan mereka terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya di atas kecintaan mereka terhadap orang tua, istri, dan anak-anak mereka.

Kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama bagi mereka daripada diri mereka sendiri. Ketika kaum musyrikin dan orangorang Yahudi menyerang beliau dalam satu barisan (dengan permusuhan mereka), bangkitlah para pembela Nabi menghadapi musuh-musuh tersebut. Sementara itu, Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memerintahkan untuk bersabar dan memaafkan, namun keadaan semakin genting. Akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan mereka untuk balas menyerang dalam satu pertempuran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصرِهِمۡ لَقَدِيرٌ ٣٩

“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (al-Hajj: 39)

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan perintah tersebut dimulai. Ada yang mengatakan di Makkah dan ada pula yang berpendapat hal itu bermula di Madinah. Wallahu a’lam. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka untuk berperang menghadapi orang-orang yang memerangi mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” (al-Baqarah: 190)

Jihad dan Keutamaannya

Sebenarnya jihad itu sendiri secara umum merupakan suatu kewajiban individual, berlaku bagi setiap muslim, baik dengan hati, lisan, maupun harta. Adapun jihad dengan jiwa dan raga (berperang), hukumnya fardhu kifayah[1]. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَٰرَةٖ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ ١٠ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١١ يَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ وَيُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةٗ فِي جَنَّٰتِ عَدۡنٖۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٢ وَأُخۡرَىٰ تُحِبُّونَهَاۖ نَصۡرٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَتۡحٞ قَرِيبٞۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٣

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul- Nya, serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya) Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (ash-Shaff: 10—13)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan,

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah (surga) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh….” (at-Taubah: 111)

Ketika semakin banyak yang mengaku cinta, mereka dituntut untuk membuktikan pengakuan cinta mereka itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah, red), niscaya Allah mencintai kamu….” (Ali ‘Imran: 31)

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan tanda bukti bagi orang-orang yang mencintai- Nya dengan dua hal: ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Karena sesungguhnya jihad adalah hakikat suatu ijtihad (kesungguhan) dalam memperoleh apa yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berupa iman dan amal saleh, serta menjauhkan apa yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Al-Jihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dan kekuatan dalam upaya meraih hal-hal yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhkan apa yang dibenci-Nya. Dengan demikian, jika seorang hamba meninggalkan jihad di mana dia sebenarnya mampu menunaikannya, ini menunjukkan kelemahan cintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Cinta tak mungkin diraih—umumnya demikian—kecuali dengan memikul (merasakan) berbagai hal yang tidak disukai. Padahal orang yang beriman sangatlah hebat cintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

غَدْوَةٌ أَوْ رَوْحَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَ

“Berangkat di awal siang atau di akhir siang (untuk berjihad) di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, Abu Hurairah, dan lainnya radhiallahu ‘anhum)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

“Sesungguhnya di surga ada 100 tingkat yang disediakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagi para mujahidin di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, yang jarak antara satu tingkat ke tingkat lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Maka jika kamu minta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mintalah surga Firdaus karena dia terletak di surga yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya adalah ‘Arsy Allah Yang Maha Pemurah dan dari situlah terpancarnya sungai-sungai di surga.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu,

يَا أَبَا سَعِيدٍ، مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ. فَعَجِبَ لَهَا أَبُو سَعِيدٍ فَقَالَ: أَعِدْهَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللهِ. فَفَعَلَ ثُمَّ قَالَ: وَأُخْرَى يُرْفَعُ بِهَا الْعَبْدُ مِائَةَ دَرَجَةٍ فِي الْجَنَّةِ مَا بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ. قَالَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ

“Hai Abu Sa’id, siapa yang ridha Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, dia pantas memperoleh surga.”

Abu Sa’id merasa takjub dan berkata, “Ulangi untukku, ya Rasulullah.”

Beliau mengulanginya dan berkata, “Yang lain, dengan itu seorang hamba diangkat derajatnya 100 tingkat di dalam surga, yang jarak antara dua tingkatnya seperti jarak langit dan bumi.”

Kata Abu Sa’id, “Apakah itu, ya Rasulullah?” Beliau berkata,”Jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. Muslim no. 4856)

 

Pasukan ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu

Pada bulan Rajab, bulan ke 17 setelah hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diutuslah pasukan kecil berjumlah 12 orang dari Muhajirin. Setiap dua orang dari mereka mengendarai seekor unta. Akhirnya mereka tiba di Nakhlah untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Dalam ekspedisi ini, ‘Abdullah bin Jahsy dijuluki Amirul Mukminin dan memegang sepucuk surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak boleh dibaca kecuali setelah dua hari perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan dua hari, barulah surat itu dibaca, di antara isinya menyebutkan, “Kalau engkau membaca surat ini, lanjutkan perjalanan hingga tiba di Nakhlah, antara Makkah dan Thaif. Amatilah kafilah Quraisy dan carilah berita untuk kami tentang mereka.” ‘Abdullah menyambut dengan semangat lalu menyampaikannya kepada para sahabatnya. Dia tidak memaksa mereka, siapa yang mau ikut mencari syahadah, segera berangkat, siapa yang tidak suka boleh pulang. Adapun ‘Abdullah berketetapan untuk berangkat.

Ternyata, mereka berangkat seluruhnya. Di tengah perjalanan, unta tunggangan Sa’d bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan tersesat. Keduanya terpaksa mencarinya hingga menjauh dari pasukan ‘Abdullah. Setiba di Nakhlah, lewatlah kafilah dagang Quraisy membawa kismis, kulit, dan dagangan lainnya. Di dalam kafilah itu terdapat ‘Amr bin al-Hadhrami, ‘Utsman dan Naufal (keduanya putra Abdullah bin al-Mughirah), juga al- Hakam bin Kaisan, maula (bekas budak) bani al-Mughirah.

Pasukan Islam tersebut akhirnya bermusyawarah mengingat saat itu adalah akhir bulan Rajab, salah satu bulan Haram (suci). Jika mereka menyerang, berarti melanggar kehormatan bulan haram ini. Namun, jika kaum musyrikin Quraisy dibiarkan malam ini, niscaya mereka masuk ke wilayah Haram (Makkah). Akhirnya, mereka sepakat untuk menyerang. Salah seorang pasukan muslim berhasil memanah ‘Amr bin al-Hadhrami hingga tewas. Kemudian mereka menawan al-Hakam dan ‘Utsman. Sementara itu, Naufal berhasil lolos.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengingkari Perbuatan Mereka

Pasukan kembali ke Madinah membawa tawanan dan rampasan perang yang telah dipisahkan seperlimanya (al-khumus). Ini adalah pertempuran, tawanan, dan rampasan perang pertama di dalam Islam.

Namun ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan mereka. Di sisi lain, peristiwa ini menjadikan orang-orang kafir Quraisy semakin hebat permusuhan dan penentangannya. Mereka merasa mendapat celah untuk menjatuhkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin.

Mereka menuduh kaum muslimin telah melanggar kehormatan bulan Rajab sebagai bulan Haram. Hal ini sangat menyusahkan kaum muslimin. Mereka mencela pasukan tersebut. Akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya,

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ قِتَالٖ فِيهِۖ قُلۡ قِتَالٞ فِيهِ كَبِيرٞۚ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفۡرُۢ بِهِۦ وَٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَإِخۡرَاجُ أَهۡلِهِۦ مِنۡهُ أَكۡبَرُ عِندَ ٱللَّهِۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۗ

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh…’.” (al-Baqarah: 217)

Allah subhanahu wa ta’ala dengan tegas menyatakan, bahwa apa yang diingkari itu, jika dikatakan (dosa) besar, maka kekafiran kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menghalangi manusia dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala (untuk beriman), merintangi mereka dari rumah Allah subhanahu wa ta’ala (untuk beribadah di Masjidil Haram), mengusir kaum muslimin dari tanah haram serta kesyirikan yang dikerjakan berikut fitnah yang timbul akibat kesyirikan itu, jauh lebih besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada pembunuhan yang dilakukan di bulan-bulan haram (Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab)

Di sini, Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan keadilan-Nya, tidak berat sebelah, baik terhadap musuhnya maupun para walinya. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala tidak mentolerir perbuatan kaum muslimin berperang di bulan haram ini, bahkan tetap menganggapnya (dosa) besar. Tetapi apa yang dilakukan oleh orangorang kafir jauh lebih parah dan lebih besar. Sehingga mereka (orang-orang kafir) itu lebih pantas untuk mendapat celaan dan hukuman. Apalagi dalam hal ini, para wali-Nya (kaum mukminin) melakukan pembunuhan tersebut berdasarkan takwil.

Setelah turunnya ayat ini, yang Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kelonggaran bagi kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan rampasan dan para tawanan tersebut. Akhirnya datanglah utusan dari Quraisy menebus ‘Utsman dan al- Hakam. Namun, ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan kedua sahabatnya, Sa’d bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan (yang mencari unta tunggangan mereka) belum ketahuan rimbanya. Khawatir, kalau-kalau keduanya juga terbunuh.

Setelah kedua sahabat tersebut muncul, barulah kedua tawanan itu dilepaskan dengan tebusan tadi. Adapun al-Hakam segera masuk Islam dan baik Islamnya, sedangkan ‘Utsman kembali ke Makkah dan mati dalam kekafiran.

(Bersambung)

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits


[1] Kewajiban yang apabila telah ada sebagian yang menjalankannya, maka yang lain yang tidak mengerjakannya, tidaklah berdosa. Wallahu a’lam. –red.

sirah nabawiyah