Membingkai Keteladanan Seorang Dai

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Mengemban amanat dakwah adalah amalan yang demikian agung. Tidak semua manusia bisa melakukannya. Yang bisa pun tidak semua melakukannya dengan tuntunan dan cara yang benar. Sebab, di tengah-tengah kita, terlampau banyak yang disebut dai. Terlampau mudah pula orang menggelari seseorang dengan sebutan dai.

Meski demikian, dai bukanlah profesi. Ia adalah bentuk tanggung jawab terhadap umat yang membutuhkan nasihat dan bimbingan agama. Karena itu, selain butuh keilmuan, figur dai juga memerlukan keteladanan. Setinggi apa pun keilmuan, jika nihil keteladanan, apa yang disampaikan akan sulit membekas terhadap yang didakwahi. Sebab, banyak orang awam yang demikian mudah tersentuh, bukan karena keilmuan sang dai, melainkan semata-mata akhlak yang ditampilkan.

Karena itu, seorang dai semestinya bukan tipe orang yang mudah tersulut atau gampang mengumbar emosi. Dia adalah pribadi yang tenang dan bijak, mau memahami berbagai kondisi orang yang didakwahi. Betapa banyak dakwah yang berbuah antipati, bukan karena menentang kebenaran dari apa yang disampaikan, melainkan karena tidak bisa menerima dai yang temperamental. Lebih-lebih dalam praktiknya, dai semacam ini kerap menyampaikan sesuatu yang tidak pada tempatnya atau belum waktunya, dengan redaksi yang meledak-ledak pula. Pada akhirnya, dakwah yang tidak hikmah ini, tidak mendekatkan masyarakat pada kebenaran, malah membuat umat lari. Na’udzubillah.

Maka dari itu, kesabaran dalam segala hal sangat dibutuhkan seorang dai, apalagi berdakwah sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Seorang dai terkadang dituntut “babat alas”, membuka belantara kesyirikan dan kemaksiatan yang telah mengakar menjadi ladang dakwah. Tidak hanya berkutat di pondok pesantren, ia harus mau berhadapan dengan masyarakat secara langsung. Ia harus sabar dengan sedikitnya orang yang menyambut dakwahnya. Dia tanam keyakinan, begitulah pengikut kebenaran. Ia tak kunjung menyerah walau hasil “ladangnya” baru bisa “dipanen” beberapa tahun kemudian. Atau bahkan bisa jadi setelah dirinya meninggal.

Kesabaran seorang dai tidak cukup diuji hingga di sini. Ketika dakwahnya mulai diterima, yang membuat seorang dai sering berdakwah ke sana kemari, dia dituntut pintar-pintar membagi waktu. Sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga, ia wajib memberikan bimbingan pada keluarga. Jangan sampai seorang dai seperti lilin, memberikan cahaya buat orang lain, namun dirinya sendiri meleleh.

Sebagai kepala keluarga, seorang dai juga dituntut untuk menghidupi keluarganya. Akan tetapi, terpatri dalam sanubarinya bahwa dakwah bukanlah area untuk menambang harta. Dia harus meniatkan amalannya secara ikhlas. Jadi, ia tidak sedikit pun berpikir untuk menjadikan dakwah sebagai profesi, apalagi sampai menukar manhajnya demi seonggok materi.

Maka dari itu, begitu banyak keteladanan yang harus diusung oleh seorang dai selain keilmuan yang menjadi pijakan utama. Seorang dai yang berakhlak baik namun tiada berilmu, hanya membuat umat kosong dari pemahaman. Bahkan, sangat mungkin menyimpangkan masyarakat dari jalan yang benar. Jadi, akhlak atau keteladanan yang baik yang berpadu dengan keilmuan yang benar insya Allah akan membuahkan hasil dakwah yang baik, sesudah hidayah Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

pengantar redaksi