Memenuhi Seruan Allah dan Rasul-Nya (bagian 1)

Dalam al-Qur’an yang mulia, Allah l berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang beriman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari ketaatan dalam keadaan kalian mendengar. Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang mengatakan, ‘Kami mendengar’, padahal mereka tidaklah mendengar. Sesungguhnya makhluk melata yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang tuli dan bisu lagi tidak berakal. Seandainya Allah mengetahui pada mereka ada kebaikan niscaya Allah menjadikan mereka mau mendengar. Seandainya pun Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedangkan mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila Rasul mengajak kalian kepada perkara yang bisa memberikan kehidupan kepada kalian. Ketahuilah Allah menghalangi/membatasi antara manusia dan hatinya1, dan sungguh hanya kepada-Nya kalian akan dikumpulkan.” (al-Anfal: 20—24)
Ayat yang mulia di atas berisi beberapa perkara berikut ini.
1. Perintah Allah l untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
2. Perintah istijabah/memenuhi atau tunduk kepada Allah l dan Rasul-Nya saat mendengar perintah dan larangan keduanya.
3. Larangan tasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir dan munafik dalam hal keengganan untuk taat dan memenuhi ajakan Allah l dan Rasul-Nya.
Orang kafir dan munafik memang enggan mendengar Kalamullah, sebagaimana firman Allah l,
Dan berkatalah orang-orang kafir, “Janganlah kalian mendengar al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” (Fushshilat: 26)
Orang Yahudi berkata,
Mereka mengatakan, “Kami mendengar tapi kami mendurhakai.” (al-Baqarah: 93)
Orang-orang munafik berkata,
Mereka mengatakan, “Kami mendengar,” padahal mereka tidaklah mendengar. (al-Anfal: 21)
Mereka hanyalah mendengar dengan telinga mereka namun tidak dengan hati mereka.

4. Anak Adam yang sifatnya demikian adalah makhluk Allah l yang paling jelek.
Allah l menyatakan,
“Sesungguhnya makhluk melata yang paling buruk di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak berakal.” (al-Anfal: 22)
Artinya, mereka tuli dari mendengar al-haq, bisu dari memahami dan mengucapkannya. Mereka tidak memiliki akal sehat yang bisa digunakan untuk memikirkan akibat yang akan diperoleh. Akal mereka hanya terbatas memikirkan urusan dunia dan kenikmatan sesaat. Mereka laksana binatang ternak yang tidak ada keinginannya selain mengisi perut, tidak pernah berpikir tentang masa depan yang hakiki, dan tidak membuat persiapan untuk kehidupan yang lain setelah kehidupan di dunia. Bahkan mereka lebih parah dari binatang karena binatang justru makhluk yang taat kepada Allah l dalam perkara yang Allah l ciptakan mereka untuknya.
Adapun orang-orang kafir itu mereka sebenarnya diciptakan untuk beribadah, namun mereka mengufurinya. Oleh karena itu, pantaslah Allah l mengatakan tentang mereka,
“Sungguh mereka tidak lain kecuali seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya.” (al-Furqan: 44)
Seorang muslim dituntut untuk mendengarkan Kalamullah saat dibacakan dan menyimak hadits-hadits Rasulullah n saat diperdengarkan disertai upaya untuk memahami dan mencari tahu apa yang dimaksud. Setelah ia mendengar dan memahaminya, ia berusaha mengamalkannya.
Mengapa demikian? Karena sekadar mendengar dan memahami saja tanpa mengamalkan, akan menjadi hujatan baginya pada hari kiamat. Allah l berfirman,
“Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepada kalian, tetapi kalian selalu mendustakannya.” (al-Mu’minun: 105)
Allah l juga berfirman,
“(Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri, dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” (az-Zumar: 59)
Setiap kita hendaknya memikirkan, berapa banyak kita membaca dan mendengarkan ayat dan hadits, namun kita tidak mengamalkannya. Hal itu akan menjadi hujatan bagi kita pada hari kiamat. Nabi n bersabda,
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Qur’an itu hujah yang membela/menolongmu atau mencelakakanmu.” (HR. Muslim)
Berapa jauhkah pemenuhan kita terhadap seruan Allah l yang berulang-ulang lagi beragam dalam Kitab-Nya,
“Wahai manusia!”
“Wahai anak Adam!”
“Wahai orang-orang yang beriman!”
“Wahai hamba-hamba-Ku!”
Sebagian salaf berkata, “Apabila Allah l berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ‘Wahai orang-orang yang beriman,’ curahkanlah pendengaranmu kepada apa yang disampaikan setelahnya karena hal itu adalah kebaikan yang engkau diperintah melakukannya atau kejelekan yang engkau diperingatkan darinya.”
Allah l telah mengabarkan bahwa urusan yang diperintahkan-Nya dan diajak-Nya mengandung kehidupan bagi hati, yang akan membuahkan kehidupan yang sempurna lagi bahagia bagi jasmani di dunia dan di akhirat. Allah l berfirman,
ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤﯥ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila Rasul mengajak kalian kepada sesuatu yang bisa memberikan kehidupan kepada kalian.” (al-Anfal: 24)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ﯣ ﯤ (sesuatu yang bisa memberikan kehidupan kepada kalian) maksudnya adalah al-Qur’an.” Yang lain mengatakan, “Al-Islam.” Hal ini karena al-Qur’an menghidupkan mereka dari kekufuran, sebagaimana Allah l berfirman,
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan….” (al-An’am: 122)
Ada pula yang mengatakan, perkara yang memberikan kehidupan itu adalah jihad karena dengannya diperoleh kemuliaan Islam setelah kehinaan, kekuatan setelah kelemahan.
Kemudian Allah l mengancam orang yang tidak memenuhi ajakan-Nya,
“Ketahuilah Allah menghalangi/membatasi antara manusia dan hatinya. Sungguh, hanya kepada-Nya kalian akan dikumpulkan.” (al-Anfal: 24)
Siapa yang tidak memenuhi ajakan Allah l dan Rasul-Nya niscaya Allah l akan menghukumnya dengan dipalingkan hatinya hingga dia tidak akan menerima al-haq setelah itu, seperti yang dinyatakan oleh Allah l,
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (al-An’am: 110)
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah pun memalingkan hati mereka.” (ash-Shaff: 5)
Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati dan tidak menolak perintah Allah l sejak awal pertama datang kepada kita. Apabila kita menolak, setelahnya kita akan dihalangi dari menerima perintah tersebut karena Allah l memisahkan antara seseorang dan hatinya. Ia membolak-balikkannya sekehendak-Nya. Oleh sebab itulah, Nabi n banyak berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبَّتْ قَلْبِـي عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. at-Tirmidzi no. 2141)
Dalam hadits yang sama, Rasulullah n menyatakan,
إِنَّ الْقُلُوْبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمنِ، يُصَرِّفُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari ar-Rahman, dibolak-balikkan-Nya sebagaimana yang Dia inginkan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2141)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Insya Allah bersambung)

(Disusun kembali dari khutbah Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah yang dimuat dalam kitab al-Khuthab al-Minbariyah fil Munasabat al-Ashriyah, 4/69—72)