السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Setiap mengawali pergantian tahun (Masehi), akan kita jumpai bagaimana meriahnya masyarakat dalam merayakannya. Fenomena tahun baru berikut ritus yang dilakukan masyarakat itu hanyalah secuil fakta betapa produk budaya Barat telah menjadi bagian dari ritme kehidupan umat. Di tempat lain, “dengan niat baik”, sebagian umat Islam menggelar “ritual tahun baru” guna menandingi maraknya acara-acara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Paling akhir, menjamurnya acara reality show di televisi semacam AFI dan Indonesian Idol juga “menggugah” sebagian umat Islam untuk menggelar acara serupa. Lahirlah kemudian kontes Nasyid.
Dua fenomena di atas seolah merupakan dua sisi dari sekeping uang logam. Namun jika ditelusuri lebih dalam, keduanya sama-sama cermin dari sikap latah umat ini meski niat yang melatarinya berbeda.
Lembar sejarah telah lama mencatat, lahirnya peringatan Maulid Nabi beberapa abad sepeninggal generasi terbaik umat ini, juga lahir dari “niat baik” semata. Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya seolah diabaikan begitu saja.
Tanpa sadar, umat Islam telah mempunyai “hari natal tandingan” sendiri. Yang miris, melihat faktanya, peringatan Maulud Nabi dan semacamnya pada prakteknya juga sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Bahkan boleh dikatakan menyentuh pun tidak. Setelah hari-hari yang dirayakan itu berlalu, masyarakat yang merayakannya pun tak memperoleh nilai tambah. Mereka masih awam tentang sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih untuk mengamalkannya.
Masih soal latah. Dalam hal pemahaman agama, para ‘pakar’ Islam juga lebih percaya diri menggunakan konsep-konsep yang ditawarkan tokoh-tokoh Barat. Dalil mereka bukan lagi Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi pendapat para orientalis. Pemahaman Islam yang masih murni justru ditempeli segudang julukan negatif seperti puritan, tekstual, jumud, ekstrim, dan kaku. Sementara pemahaman yang merupakan hasil olah pikir pemikir Barat merupakan langkah maju dan sikap kritis yang demokratis.
Di bidang eknomomi, para pakar kita jugalah yang paling bersemangat membela sistem ekonomi Barat. Meski terbukti, konsep ekonomi mereka tak mampu mengentaskan permasalahan yang membelit negeri ini.
Sekali lagi, itulah fenomena keminderan umat ini. Kesan bahwa apa-apa yang dari Barat (baca: Nashrani) lebih maju demikian kuat. Segala yang berbau Barat, baik berupa busana, pola hidup, maupun pemikiran ditelan mentah-mentah oleh umat. Celana jeans tentu lebih dipilih kawula muda ketimbang sirwal atau sarung. Jas lengkap dengan dasi juga menjadi prioritas utama dibandingkan dengan gamis misalnya. Para ABG barangkali juga lebih mengenal artis-artis Hollywood ketimbang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua ini adalah gambaran betapa umat ini tanpa sadar telah menjadi pengekor budaya kaum kafir. Sikap menyerupai orang kafir dalam pemikiran, budaya, pola hidup, terbukti demikian kronis menjangkiti umat ini.
Tema tasyabbuh inilah yang kami angkat untuk kajian utama edisi kita kali ini. Mengingat, tasyabbuh merupakan perilaku umat yang sering dilakukan namun tidak pernah disadari bahayanya bagi aqidah. Lebih detil, pembaca dapat menyimak beberapa rubrik lain yang juga membahas tema di atas.
Di lembar Sakinah, tepatnya dalam rubrik Mengayuh Biduk, pembaca akan disuguhi artikel tentang sikap sabar dalam melihat kekurangan pasangan (suami/ istri) masing-masing. Sebuah sikap yang barangkali sulit dijumpai di tengah kehidupan rumah tangga saat ini. Juga masih ada kajian tentang mahram susuan, sebagai kelanjutan dari artikel edisi-edisi sebelumnya. Tanpa berpanjang kata, kami dari redaksi, mempersilahkan anda untuk menyimak lembar demi lembar majalah ini.
Selamat mengkaji!