Membuat suami senang merupakan salah satu tugas seorang istri. Akan tetapi, caranya tentu bukan dengan berprinsip Asal Suami Senang. Tidak semua hal yang membuat senang suami boleh dilakukan. Apa saja yang membuat suami senang tetapi dilarang oleh syariat?
Istri mana yang tidak bahagia melihat suaminya tersenyum penuh keridhaan kepadanya dan senang padanya. Tentu semua istri yang baik tidak melepaskan upaya untuk menyenangkan dan membuat ridha suaminya[1]. Sebab, ia menyadari betapa besar hak seorang suami terhadap istrinya.
Namun, yang perlu diperhatikan dan diingat dengan baik bahwa menyenangkan suami itu ada batasnya dan tidak boleh keluar dari garis-garis syar’i. Artinya, ketika istri hendak menyenangkan suaminya, menuruti keinginan suaminya, hendaklah ia letakkan di hadapan matanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu (diberikan) dalam perkara yang baik.” (HR. al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Karena itu, seorang istri tidak boleh melakukan yang haram dengan dalih ingin menyenangkan suami dan mereguk cintanya. Kalaupun suami yang menyuruhnya, tidak ada kewajiban taat bagi si istri dalam bermaksiat kepada al-Khaliq.
Apabila suami murka karena keengganannya, hendaklah istri mengingat dan menghibur diri dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَسْخَطَ اللهَ فِي رِضَى النَّاسِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ مَنْ أَرْضَاهُ فِي سُخْطِهِ، وَمَنْ أَرْضَى اللهَ فِي سُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ مَنْ أَسْخَطَهُ فِي رِضَاهُ، حَتَّى يُزَيِّنَهُ وَيُزَيِّنَ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ فِي عَيْنِهِ
“Siapa yang membuat Allah murka karena ingin beroleh ridha manusia, Allah akan murka padanya. Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan murka/marah padanya.
Siapa yang membuat Allah ridha sekalipun manusia murka padanya, Allah akan ridha padanya.
Allah menjadikan orang yang memurkainya dalam meraih ridha Allah itu akan ridha pula padanya. Sampai-sampai Allah akan menghiasi si hamba, ucapan, dan amalannya di mata orang yang semula murka tersebut.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir, 3/132/1/1, lihat ash-Shahihah no. 2311)
Seorang istri wajib taat kepada suaminya saat suami memanggilnya ke tempat tidur dan mengajaknya jima’. Namun, saat sedang haid, istri tidak boleh memenuhi ajakan suaminya dengan dalih ‘kasihan suamiku, aku ingin menyenangkan suamiku.’ Ia harus memberitahukan keadaannya kepada suami.
Apabila suami tetap memaksa, ia tidak boleh menaatinya. Sebab, Allah ‘azza wa jalla menetapkan dalam Tanzil-Nya,
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah ”Haid adalah kotoran.”
Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari para istri (tidak menggauli mereka pada kemaluannya) saat mereka haid. Janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka sampai mereka suci dari haid tersebut.
Apabila telah suci, campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah (pada kemaluan mereka) kepada kalian.” (al-Baqarah: 222)
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maksudnya, jauhilah para istri di tempat keluarnya darah haid mereka. Jadi, yang tidak diperkenankan adalah menggauli istri pada qubulnya secara khusus. Ini diharamkan berdasarkan ijma (kesepakatan ulama).
Dikhususkannya penyebutan menjauhi istri pada tempat keluarnya darah haid, menunjukkan bahwa bermesraan dan bersentuhan tubuh dengan istri yang haid tanpa menggaulinya pada kemaluannya diperbolehkan.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 100)
Demikian pula jika suami ingin menyetubuhi pada duburnya, istri tidak boleh menaati suaminya. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukannya,
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا
“Terlaknat orang yang menggauli istrinya pada duburnya.” (HR. Ahmad, 2/444)[2]
Termasuk juga dalam hal berhias. Memang, seorang istri harus berpenampilan bagus di hadapan suaminya. Ia harus terlihat indah dengan menghiasi dirinya. Akan tetapi, ia tidak boleh berhias dengan hal yang diharamkan, sekalipun suami senang dan ridha melihatnya. Ia tidak boleh mencabut dan mengerik alis, mengikir gigi, dan menyambung rambut. Sebab, orang yang berhias seperti ini terlaknat.
‘Alqamah berkata, “Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu melaknat para wanita yang mentato dan minta ditato, wanita yang menghilangkan rambut alis, wanita yang minta dihilangkan rambut alisnya dan wanita yang mengikir giginya agar terlihat bagus, wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah.
Ucapan Abdullah bin Mas’ud ini sampai kepada Ummu Ya’qub, seorang wanita dari Bani Asad yang biasa membaca al-Qur’an. Ia mendatangi Abdullah seraya berkata, ‘Sampai kepadaku berita bahwa engkau melaknat wanita-wanita yang demikian (Ummu Ya’qub menyebutkannya satu per satu)?!’
Abdullah menjawab, ‘Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini ada dalam Kitabullah?’
‘Demi Allah, aku telah membaca lembaran-lembaran al-Qur’an, namun aku tidak mendapatkan laknat yang engkau sebutkan,’ kata Ummu Ya’qub.
Abdullah menimpali, ‘Demi Allah, apabila engkau membacanya, niscaya akan engkau dapatkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
“Apa yang dibawa oleh Rasulullah untuk kalian, ambillah; dan apa yang beliau larang, tinggalkanlah.” (HR. al-Bukhari no. 5939 dan Muslim no. 2125)
‘Aisyah dan Asma’ bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma berkisah, “Ada seorang wanita dari kalangan Anshar menikahkan putrinya. Putri tersebut ditimpa sakit hingga berguguran rambutnya. Sang ibu lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengisahkan apa yang menimpa putrinya. Ia berkata, ‘Suami putriku tidak sabar. Ia minta segera dipertemukan dengan putriku. Apakah aku boleh menyambung rambutnya?’
Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencerca wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya. Beliau menyatakan,
لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
“Semoga Allah melaknat wanita yang menyambung rambut[3] dan wanita yangminta disambungkan rambutnya.” (HR. al-Bukhari no. 5934, 5935, 5941 dan Muslim no. 2122, 2123)
Hadits ‘Aisyah di atas dari jalan Ibrahim bin Nafi’, ada keterangan bahwa suami si putri itulah yang menyuruh ibu mertuanya menyambung rambut istrinya, sebagaimana pernyataan sang ibu,
إِنَّ زَوْجَهَا أَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ فِي شَعْرِهَا
“Suami putriku menyuruhku agar aku menyambung rambut putriku.” (HR. al-Bukhari no. 5205)
Al-Imam Bukhari rahimahullah memberi judul untuk hadits di atas, Bab La Tuthi’ul Mar’ah Zaujaha fi Ma’shiyah (Bab Tidak boleh seorang istri menaati suaminya dalam perbuatan maksiat).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah berkata, “Dari penjelasan sebelum ini diketahui bahwa seorang istri dianjurkan menaati suaminya dalam seluruh urusan yang diinginkan suami. Namun, ketaatan ini dikhususkan dalam urusan yang tidak ada unsur maksiat kepada Allah. Apabila suami mengajak istrinya bermaksiat, istri wajib menolaknya. Jika suami menghukum istrinya karena menolak, suami berdosa.” (Fathul Bari, 9/366)
Jadi, ketika seorang suami tidak boleh menuruti istrinya dalam hal maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla, begitu pula sebaliknya, seorang istri tidak boleh menaati suaminya dalam bermaksiat kepada Allah.
Hal ini perlu menjadi perhatian agar mawaddah wa rahmah (rasa cinta dan kasih sayang) di antara keduanya langgeng. Mawaddah adalah nikmat dari Allah ‘azza wa jalla maka jangan dihilangkan dengan berbuat maksiat.
Sebaliknya, hilangnya mawaddah dari pasangan hidup adalah musibah. Musibah tidaklah menimpa hamba kecuali karena perbuatannya sendiri. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠
“Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena perbuatan tangantangan kalian, dan Dia memaafkan banyak dari kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya terhadap ayat di atas. “Tidak ada satu musibah pun yang menimpa kalian di dunia, wahai manusia, baik yang menimpa diri, keluarga, atau harta kalian, ‘itu disebabkan perbuatan tangan-tangan kalian’. Hanyalah musibah itu menimpa kalian sebagai hukuman terhadap kalian karena dosa-dosa yang kalian perbuat terhadap Rabb kalian.
Dan Rabb kalian memaafkan banyak dari dosa-dosa kalian. Dia tidak menghukum kalian dengan semua dosa tersebut.” (Tafsir ath-Thabari, 11/150)
Berdasarkan penjelasan di atas, kita katakan kepada seorang istri, “Janganlah engkau menaati suamimu dalam bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Janganlah engkau melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya hanya karena ingin mencari ridhanya dan menyenangkan hatinya.
Ketahuilah, engkau tidak akan dapat meraih cinta suamimu atau mengikat cintanya dengan cara itu. Kalaupun awalnya suamimu senang kepadamu dengan apa yang engkau lakukan, ketahuilah kesenangannya itu tidak akan langgeng. Ia akan berakhir dengan kemarahan dan kebencian.
“Siapa yang membuat Allah murka karena ingin beroleh ridha manusia, Allah akan murka kepadanya. Allah pun menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan marah kepadanya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Yang sering menjadi dalil dalam masalah ridha ini adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, ia berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1854)
Akan tetapi, hadits ini dha’if (lemah). Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam adh-Dha’ifah no. 1426 menyatakan bahwa hadits ini mungkar.
[2] Dalam sanad hadits ini ada perawi bernama al-Harits bin Makhlad, dia majhulul hal. Jadi, hadits ini memiliki kelemahan. Hadits-hadits lain yang melarang menjima’i wanita pada duburnya juga tidak lepas dari kelemahan.
Namun, apabila dikumpulkan, hadits–hadits ini bisa menjadi hujah yang menunjukkan pastinya keharaman jima’ pada dubur. (al-Intishar li Huquqil Mu’minat, hlm. 59)
[3] Sama saja baik dia menyambung rambutnya sendiri atau melakukannya untuk wanita lain. (Fathul Bari, 10/388)