Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman; bagian ke-2

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Beberapa Faedah

Sebelum menguraikan faedah kisah Nabi Dawud yang diceritakan dalam surat Shad, kami uraikan sedikit alur kisah itu menurut sebagian ahli tafsir yang mencantumkannya dalam kitab mereka.

Nabi Dawud ‘alaihissalaam adalah seorang nabi sekaligus raja yang sangat luas kekuasaannya. Diceritakan bahwa beliau membagi waktunya untuk mengurus kerajaan, memutuskan perkara di antara rakyatnya, dan sebagian lagi untuk beribadah, bertasbih memuji Allah ‘azza wa jalla di dalam mihrabnya.

Adalah beliau, apabila sudah berada di dalam mihrab, tidak ada seorang pun yang masuk menemui beliau sampai beliau sendiri yang keluar kepada rakyatnya.

Pada suatu hari, beliau dikagetkan oleh kedatangan dua orang yang memanjat tembok istana dan masuk ke dalam mihrabnya yang terkunci. Beliau sempat merasa takut.

Kedua orang itu berkata, “Jangan takut. Kami adalah dua orang yang sedang berselisih. Sebagian dari kami berbuat zalim, melanggar hak yang lain. Kami datang menemui Anda untuk menyelesaikan perkara ini di hadapan Anda. Kami memohon agar Anda memutuskan persoalan ini dengan benar dan adil, jauh dari kecurangan dan mau menunjuki kami ke jalan yang benar.”

Setelah itu, salah seorang dari mereka mulai menerangkan duduk perkaranya, dia berkata, “Saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing, sedangkan aku mempunyai seekor. Lalu dia memaksaku agar menyerahkan kambing yang satu itu untuk digabungkan dengan kambing-kambingnya. Dia mengalahkan dan menekanku.”

Begitu selesai dia bicara, Nabi Dawud ‘alaihissalaam segera memutuskan, “Dia memang telah menzalimi kamu, dengan memaksamu menyerahkan kambingmu yang hanya seekor agar digabungkan bersama kambing-kambingnya yang banyak. Memang, kebanyakan orang yang bekerja sama itu, suka menzalimi yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Tetapi, alangkah sedikitnya mereka ini.”

Itulah sekilas kisah yang disebutkan dalam al-Qur’an. Adapun yang dinukil oleh sebagian ahli tafsir, tidak ada yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, riwayatnya lemah dan kebanyakannya dusta, serta tidak layak dinisbahkan kepada seorang raja besar apalagi nabi yang maksum.

Kisah yang beredar dalam kitab-kitab yang ada di tangan ahli kitab penuh dengan pelecehan dan penodaan terhadap kemuliaan seorang nabi dan raja. Karena itu, kami tidak menukilkannya dalam ibrah ini.

Adapun faedah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah sebagai berikut. Peristiwa yang dialami oleh Nabi Dawud ‘alaihissalaam adalah pelajaran berharga sekaligus peringatan bagi para kepala negara, di mana saja mereka berada dan di zaman apa pun.

Hendaknya mereka memutuskan semua persoalan rakyatnya dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah k yang menciptakan dia dan rakyatnya. Para penguasa hendaknya ingat bahwa mereka pasti akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat yang dipimpinnya. Mereka juga akan dihisab, bahkan lebih berat dari yang lain.

Dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya dari Ibnu Abi Hatim dari Ibrahim Abu Zur’ah yang pernah mempelajari kitab-kitab terdahulu dan mendalami al-Qur’an. Dia ditanya oleh al-Walid bin ‘Abdul Malik, “Apakah para khalifah (penguasa) itu juga akan dihisab? Bukankah engkau telah mempelajari kitab-kitab terdahulu, mendalami pula al-Qur’an dan menjadi fakih?”

Ibrahim berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah saya harus mengatakannya?”

“Katakanlah, dengan jaminan keamanan dari Allah ‘azza wa jalla.”

“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang lebih mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla, Anda ataukah Nabi Allah Dawud ‘alaihissalaam? Sungguh, Allah ‘azza wa jalla telah mengumpulkan untuk beliau kenabian dan kekuasaan, kemudian memperingatkan beliau dalam Kitab-Nya yang mulia.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)

Oleh karena itu, apabila seorang nabi yang juga raja dan penguasa besar dihisab bahkan diperingatkan oleh Allah ‘azza wa jalla, sudah tentu yang selain beliau pasti juga dihisab. Kalau Nabi Dawud ‘alaihissalaam sudah jelas perhitungan dan kepastian kedudukan beliau di sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat Shad ayat 25,

“Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik,” bagaimana dengan orang-orang yang selain beliau yang bukan nabi?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan pula dalam sabdanya,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،

“Masing-masing kamu adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang amir (penguasa) yang berkuasa atas orang banyak adalah pemimpin dan dia akan ditanya tentang mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Tiada seorang pun hamba yang Allah jadikan dia sebagai pemimpin rakyat, lalu tidak menuntun rakyatnya dengan nasihat, melainkan dia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu)

Nasihat untuk mereka adalah dengan menjalankan semua upaya yang mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat, menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang menjerumuskan mereka ke dalam kerusakan, dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam.

Seseorang yang bertaubat dengan taubat yang benar dan jujur (nashuha), keadaannya lebih baik daripada keadaan sebelum dia terjatuh dalam kesalahan yang mendorongnya bertaubat. Sebagaimana keadaan Nabi Dawud ‘alaihissalaam dalam kisah ini.

Karena itu, dikatakan oleh sebagian ulama, taubat itu seperti kir yang membersihkan kotoran emas sehingga emas menjadi lebih murni dan cemerlang. Karena itu pula, orang yang terjatuh ke dalam dosa, janganlah berputus asa, sehingga enggan bertaubat dan memperbaiki dirinya.

Dalam surat Shaad ini, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi Dawud ‘alaihissalaam sebelum menerangkan berita tentang dua orang yang bertikai, sehingga itu saja sudah cukup untuk menepis semua tuduhan yang ditujukan kepada beliau melalui kisah palsu yang dibuat-buat oleh kaum Yahudi.

Watak Yahudi yang suka merendahkan seorang nabi, menurun kepada sebagian kelompok orang yang mengaku muslim. Syi’ah (Rafidhah, Itsna ‘Asyariah), termasuk golongan yang rendah dan menghinakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekeluarga. Mereka bersembunyi di balik topeng ‘mencintai ahli bait’, padahal mereka sangat dendam kepada ahli bait yang telah meruntuhkan dinasti Sasanid mereka.

Wallahu a’lam.

kisah para nabi