Beberapa tahun terakhir, kaum muslimin di Indonesia mengalami perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan. Akibatnya, umat yang awam banyak dibuat bingung. Yang lebih buruk, perbedaan tersebut bisa memicu perpecahan di antara kaum muslimin. Bagaimana sebenarnya tuntunan syariat dalam penentuan awal bulan Hijriah, lebih khusus Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah?
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata. Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal?
Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Lantas apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’ (tempat waktu muncul)nya sendiri, ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti?
Di sini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas. Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, tampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya.
Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dimungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Menurut mazhab yang kuat, perbedaan tersebut tidak dianggap.
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan masalah ini ketika ditanya: Apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, “Yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan mengabaikan adanya perbedaan mathla’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hlm. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya, padahal ia berasal dari daerah lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji zaman dahulu, yang seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103—105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, selama mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah mazhab jumhur ulama. Beliau berkata, “Banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih mazhab jumhur ini. Di antara mereka adalah Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (juz 25), asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar, Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam ar-Raudhatun Nadiyyah, dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya. Ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu tetap memakai ru’yah penduduk Madinah hingga puasa 30 hari atau hingga melihat hilal, red.) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh asy-Syaukani.
Mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini, ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:
صُومُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِه
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam al-Irwa’, no. 902 –red.)
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya. Hadits tersebut mencakup semua orang yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negara atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di zaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah subhanahu wa ta’ala.
Selama belum bersatunya negara-negara Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri, sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir. Karena hal ini bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hlm. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka zalim dan licik. Demi Allah, sungguh apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak….” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 7—8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh as-Sindi dan al-Albani sebagaimana akan tampak dalam penjelasan berikut. Jadi ini bukan tugas/urusan individu atau kelompok, tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah as-Shahihah (1/440):
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian, dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya, “At-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits itu, ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72), “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia (masyarakat), dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214). Katanya, “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan atas orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya jika satu orang saksi melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”
Abul Hasan as-Sindi rahimahullah mengatakan dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat at-Tirmidzi, “Tampaknya, perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk terlibat di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut. Bahkan perkara itu diserahkan kepada pemimpin dan jamaah masyarakat. Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemimpin dan jamaah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pimpinan menolak persaksiannya, maka mestinya ia tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sesuatu pun dari perkara ini. Wajib pula baginya untuk mengikuti jamaah masyarakat.”
Saya (al-Albani) katakan, “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits. Hal ini didukung oleh perbuatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia (Masruq) tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia. Lalu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُ النَّاس
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Mushannaf Abdurrazzaq, 4/157)
Saya katakan (al-Albani), “Inilah yang sesuai dengan syariat yang toleran, yang di antara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari pendapat-pendapat pribadi yang mencerai-beraikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi—walaupun itu benar dari sisi pandangnya—dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para sahabat shalat di belakang yang lain, padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu. Di antara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.
Di antara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan di antaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun, perbedaan ini dan yang lain, tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memerhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak (hisab), yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memerhatikan ilmu yang kami sebutkan ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin, karena sesungguhnya tangan Allah subhanahu wa ta’ala bersama jamaah.” (Silsilah ash-Shahihah, 1/443—445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hlm. 398)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya:
Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?
Beliau menjawab:
Alhamdulillah. Jika dia melihat hilal untuk berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia?
Dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari al-Imam Ahmad:
- Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi. Ini adalah mazhab asy-Syafi’i rahimahullah
- (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali bersama manusia. Ini yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah rahimahumullah.
- Berpuasa dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” (Riwayat at-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. (Hadits ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 224)
At-Tirmidzi rahimahullah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (at-Tirmidzi mengatakan bahwa [hadits ini] hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan, “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha-nya kalian adalah hari kalian menyembelih. Seluruh tanah Arafah adalah tempat wuquf, seluruh tanah Mina adalah tempat menyembelih, seluruh gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan seluruh tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)
Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum-hukum syar’i seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih, dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu waktu-waktu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)
Allah subhanahu wa ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣ أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٤
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 183—184)
Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya, yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suaranya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/terkenal di antara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barang siapa melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah berlaku atas dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus mengqadha puasa. Begitu pula—menurut qiyas—pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barang siapa melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tidak bersama jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah dan ber-tahallul, tidak bersama jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bersilangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah masyhurnya (diketahui secara umum) di antara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya sepuluh orang tapi tidak dikenal di antara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak, atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin. Inilah makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah tatkala kalian menyembelih.”
Oleh karena itu, al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya, “Berpuasa bersama imam (pemerintah) dan jamaah muslimin, baik dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan, “Tangan Allah subhanahu wa ta’ala bersama al-Jamaah.”
Atas dasar ini, muncullah perbedaan hukum awal bulan: Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (al-Baqarah: 185)
Allah subhanahu wa ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr). Menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah diketahui umum (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) di antara manusia, sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya, serta puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Namun siapa saja yang berada di suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib mengqadhanya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah.
(Alasannya), karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk, red.). Saat itu wajib baginya menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk mengqadhanya menurut mazhab yang sahih. Hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114—118)
Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (25/202—208). Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah, akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka berpuasa yang tampaknya tanggal 9 padahal hakikatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang tampak dan yang diketahui jamaah manusia, walaupun pada hakikatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Berdasarkan dalam kitab-kitab Sunan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan beliau mensahihkannya)
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau katakan bahwa ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggal 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), menurut kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang tampak, wuqufnya juga sah, dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”
Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ وَلَيۡسَ ٱلۡبِرُّ بِأَن تَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰۗ وَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِنۡ أَبۡوَٰبِهَاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٨٩
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara dalam hal ini. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr, diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, baik ini tampak dan masyhur di kalangan manusia, diumumkan maupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka, dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Berpuasa pada hari yang diragukan, baik itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan di antara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan, menurut kesepakatan para imam. Hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa pada hari tersebut adalah awal Ramadhan, karena pada asalnya adalah Sya’ban[1].
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua masalah:
Pertama, jika seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah—baginya—serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini—yang tidak diketahui manusia (secara umum)—, ataukah hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
(Jawaban) masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal tetap tidak boleh berbuka dengan terang-terangan menurut kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah dengan ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat di antara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang masyhur dari mazhab al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada mazhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi, seperti yang masyhur dari mazhab Abu Hanifah dan asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada zaman ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka, “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.”[2]
Hal itu karena yang namanya berbuka adalah hari di mana manusia berbuka yaitu hari ‘Ied (hari raya), sedangkan hari di mana orang tersebut—yang melihat hilal sendiri—berpuasa bukanlah merupakan hari raya yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang manusia untuk berpuasa. Karena sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (dengan sabdanya) (qurban), ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa, hari yang mereka melakukan penyembelihan. Ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat asy-Syaikh Ibnu Baz, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan al-Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 398)
Adapun (jawaban) masalah kedua, jika seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang tampak bagi manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah, walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam (penguasa) yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil. Mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya, salah, maupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak tampak dan tidak terkenal yang manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap)—padahal telah terdapat dalam kitab ash-Shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam masalah para imam:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Maka kesalahan dan peremehannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
[1] Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan ijma’ bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah adalah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma’) umat. Telah sahih dari mayoritas para sahabat dan tabi’in bahwa mereka membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya. Maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma’.” (Fathul Bari, 4/123)
[2] Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah al-Jarmi rahimahullah dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar, berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.