Beberapa hari ini kita kembali mendengar berita peperangan yang terjadi di Lebanon. Kekejaman kaum Zionis Yahudi terhadap musuh utamanya yaitu Umat Islam terjadi lagi. Kembali, darah ribuan kaum muslimin tertumpah tanpa pernah kita tahu kapan itu akan berakhir.
Peristiwa ini spontan menimbulkan reaksi umat Islam di mana-mana. Secara umum umat Islam marah dengan perbuatan keji Yahudi. Tidak sekedar melakukan demo mengutuk Yahudi dan konco-konconya, namun ada pula yang menggalang massa untuk berangkat jihad ke Lebanon membantu umat Islam di sana.
Dari peristiwa penyerangan Yahudi kepada umat Islam yang sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi, kita tentu dituntut untuk memiliki sikap. Sikap yang tentunya dibimbing oleh syariat, yang akan memberi maslahat baik bagi kita maupun bagi kaum muslimin di Lebanon sana. Bukan sikap yang sekedar didasari emosi, sekedar semangat atau lebih parah lagi bila hanya ikut-ikutan. Termasuk menyikapi kejadian di Lebanon, haruskah kita berjihad, berdemo, berdoa untuk kebaikan kaum muslimin Lebanon dan kehancuran bagi Yahudi, atau bagaimana?
Jihad dalam Islam merupakan amalan yang paling tinggi, sehingga tentu memiliki kedudukan yang mulia dan pelakunya pun merupakan orang-orang yang terpuji. Namun syariat ini memiliki aturan-aturan yang semestinya ditaati oleh umat ini bila hendak berjihad. Tentunya bukan tempat yang pas bila diuraikan secara panjang lebar bagaimana aturan jihad di tempat yang terbatas ini. Namun, satu hal yang ingin kita sampaikan di sini bahwa jihad hanya akan berhasil –dengan izin Allah I– bila para pelakunya memiliki akidah yang shahihah yang bersumber dari Rasulullah n dan para shahabatnya. Bila syarat ini tidak terpenuhi, bisa dijamin, bukan kemenangan yang akan diraih, tapi sebaliknya kehancuran yang akan didapat.
Apa jadinya bila jihad dipimpin oleh orang-orang Islam tapi berpemahaman komunis misalnya? Atau bagaimana pula dengan jihad yang dimotori oleh orang-orang yang memiliki kebencian besar terhadap para shahabat Nabi n, mencaci mereka, meyakini bahwa statemen para imam Syi’ah yang duabelas setara dengan Al-Qur`an, sebagaimana hal ini dimiliki oleh pasukan Hizbullah di Lebanon sana karena mereka berpemahaman Syi’ah?
Kita prihatin dengan kejadian yang menimpa umat Islam Lebanon. Benar bahwa kita harus membenci kaum Yahudi. Kita juga meyakini bahwa Yahudi dan orang-orang musyrik adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap umat Islam, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur`an (Al-Ma`idah ayat 82). Namun keprihatinan dan kebencian kita tidak boleh menyebabkan kita melakukan tindakan yang tidak terbimbing syariat.
Di sinilah pentingnya ilmu syar’i. Semestinya setiap muslim membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan agama yang benar, sehingga tidak bingung ketika menghadapi berbagai peristiwa yang perlu untuk disikapi. Terlebih di masa sekarang, saat kebodohan terhadap agama telah demikian menyebar. Tak cukup sekedar hati-hati dan waspada, namun ilmu syar’i menjadi syarat yang tidak bisa ditinggal bila kita ingin selalu bisa menemukan mana haq dan mana yang batil.
Pembaca yang kami hormati,
Ilmu syar’i ini pula yang akan kita gunakan dalam menghadapi bulan dan hari istimewa bagi kaum muslimin: Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Dengan berbekal ilmu yang kita pelajari, kita harapkan Ramadhan dan Idul Fitri tidak lagi sebagai rutinitas tahunan yang berlalu tanpa menyisakan apapun.
Ramadhan adalah bulan yang memiliki banyak keistimewaan di mana umat Islam dianjurkan untuk banyak melakukan ibadah. Namun, selama ini, selama sebulan umat menjalankan berbagai macam ibadah, senantiasa diakhiri dengan berbagai aktivitas untuk menyambut Idul Fitri yang terkadang tidak perlu, bahkan banyak yang sudah keluar dari bimbingan syariat. Berupaya untuk pulang ke kampung halaman, berkunjung ke tempat-tempat wisata dan arena hiburan, itu yang banyak mendapat prioritas untuk dilakukan. Sedangkan apa yang didapat selama bulan Ramadhan berupa perbaikan-perbaikan jiwa, hampir tidak ada yang peduli lagi.
Mari kita sambut Ramadhan dan Idul Fitri kali ini dengan bekal ilmu agama, agar apa yang kita amalkan bisa memberikan manfaat, terutama bagi kehidupan di akhirat kelak.