Saudara perempuan saya menikah dengan anak lelaki bibi saya (sepupu/misan). Suaminya peminum khamr. Jika mabuk, ia tidak ingat apa-apa (berbuat semaunya tanpa sadar). Suatu ketika, di saat mabuknya, ia mencekik istrinya (saudari saya) dan hampir-hampir membunuhnya jika tidak ketahuan keluarga yang lain. Saudari saya tidak sanggup lagi menanggung akibat perbuatan suaminya, ia datang ke tempat kami. Si suami pun memutuskan untuk menceraikannya. Setelah sempurna jatuhnya talak, terputuslah kabar/hubungan antara kami dan keluarga bibi kami. Saya berharap kesediaan Anda memberi jawaban atas pertanyaan berikut: Apakah pemutusan hubungan seperti ini dinamakan memutus silaturahim?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Perceraian yang terjadi antara lelaki tersebut dan saudari Anda karena si lelaki berakhlak buruk, gemar melakukan keharaman dan peminum khamar, adalah hal yang bagus. Menjauh dari pelaku kejahatan adalah sesuatu yang dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim tidak boleh berteman dengan orang fasik, yang bermudah-mudahan/meremehkan urusan agamanya karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya, terlebih lagi seorang istri terhadap suaminya. Apabila suami rusak akhlaknya dan menyimpang agamanya, hal ini akan berpengaruh kepada si istri dan anak-anaknya. Selain itu, menjauhkan dan melepaskan si istri dari suami yang demikian merupakan kelapangan bagi si istri. Urusan perceraian tersebut baik baginya, insya Allah. Semoga Allah l menggantikan yang lebih baik untuknya.
Kejadian seperti ini memberi penekanan kepada para wali wanita agar memilihkan suami yang baik dan saleh untuk mereka, serta menjauhkan mereka dari suami yang fasik dan berakhlak buruk. Hal ini karena orang seperti itu akan memberi pengaruh jelek terhadap agama dan kehidupan mereka.
Adapun memutus hubungan rahim sebagai dampak perceraian tersebut adalah hal yang buruk. Semestinya kalian tidak memutus hubungan kekerabatan kalian dan terus menyambungnya. Kalian wajib bersilaturahim dan berlaku baik kepada karib kerabat. Jika lelaki yang diceritakan itu bertaubat kepada Allah l dan meninggalkan kebiasaan minum khamrnya, hendaknya kembali dijalin persahabatan dan persaudaraan dengannya. Akan tetapi, jika terus-menerus dalam penyimpangan dan maksiatnya, serta tidak mau bertaubat, ia dihajr/diboikot karena Allah l, sampai ia mau bertaubat kepada-Nya. Keluarga si lelaki (pihak kerabat yang lain) tidak ada alasan untuk diboikot. Bahkan, mereka tidak boleh diboikot, dengan dalil firman Allah l:
“Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (al-An’am: 164)
(Majmu’ Fatawa, Shalih Fauzan al-Fauzan, 2/647—648)