Prinsip Yang Tak Pernah Sirna (bagian 1)

Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, ipar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan putra dari sahabat yang mulia ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, menyampaikan kepada kita apa yang dia dengar dari ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

‘Islam itu dibangun di atas lima (tiang ataupun rukun): syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah ta‘ala) dan Muhammad adalah hamba serta rasul-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan’.”

Penjelasan Hadits

Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya[1] dari jalan ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari Sa’d bin ‘Ubaidah as-Sulami dan Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin ‘Umar yang keduanya dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani  rahimahullah berkata, “Dalam riwayat ini didahulukan haji dari puasa, yang karenanya al-Imam al-Bukhari memberikan urutan bab dalam kitab Shahih-nya (mendahulukan haji dari puasa). Akan tetapi dalam Shahih Muslim dari riwayat Sa’d bin ‘Ubaidah dari Ibnu ‘Umar didahulukan puasa daripada haji. Dikatakan kepada Ibnu ‘Umar, ‘Apakah haji dahulu baru puasa Ramadhan?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Tidak, puasa Ramadhan dahulu baru haji. Demikian yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Dalam hal ini bisa diraba, bahwa riwayat Hanzhalah[2] yang ada dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan secara makna. Bisa jadi karena perawi tidak mendengar jawaban Ibnu ‘Umar kepada seseorang yang berkata, ‘Apakah haji dahulu baru puasa Ramadhan?’ Disebabkan banyaknya majelis Ibnu ‘Umar yang diadakan, atau perawi hadir dalam majelis tersebut namun ia lupa.

Oleh karena itu, sangat jauh pendapat sebagian orang yang mengatakan boleh jadi Ibnu ‘Umar mendengar hadits ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sisi lantas ia lupa salah satunya ketika menjawab orang yang bertanya tersebut. Selain itu, jauhnya anggapan ini karena menyandarkan lupa kepada perawi yang meriwayatkan dari sahabat lebih utama daripada menyandarkannya kepada sahabat. Bagaimana mungkin (kelupaan ini disandarkan kepada Ibnu ‘Umar) sementara dalam riwayat Muslim dari jalan Hanzhalah didahulukan puasa daripada haji. Dalam riwayat Abu ‘Awanah—dari jalan yang lain dari Hanzhalah—dia menjadikan puasa Ramadhan sebelum haji.

Oleh karena itu, beragamnya riwayat ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Umar meriwayatkannya secara makna. Juga yang menguatkan akan hal ini adalah adanya riwayat al-Bukhari dalam tafsirnya yang puasa didahulukan daripada zakat. Apakah kemudian akan dikatakan bahwa Ibnu ‘Umar mendengar hadits ini dengan tiga sisi? Hal ini jelas sangat jauh sekali. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 1/65)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya berkata, “Demikianlah, dalam riwayat ini haji didahulukan daripada puasa Ramadhan. Ini sekadar urutan dalam penyebutan bukan dalam hukum, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum haji[3]. Telah datang pula dalam riwayat lain, didahulukannya puasa daripada haji.” (Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 25)

Kedudukan Hadits

Hadits ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena di dalamnya disebutkan asas dan fondasi agama Islam. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah pokok atau dasar yang agung untuk mengenal agama Islam. Di atasnyalah agama ini berpijak dan di dalamnya terkumpul rukun-rukun Islam.” (Syarah Shahih Muslim, 1/179)

Di dalam hadits ini, amalan jihad tidak disertakan penyebutannya bersama lima perkara yang disebutkan. Sementara kita semua tahu keutamaan dan kemuliaan jihad di dalam agama ini. Di antaranya, runtuhnya kecongkakan orang-orang kafir dengan ditegakkannya jihad.

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menjelaskan, lima perkara yang disebutkan dalam hadits ini diwajibkan selama-lamanya, sedangkan jihad termasuk fardhu kifayah dan kewajibannya dapat gugur pada sebagian waktu. (Syarhul Arba’in Haditsan, hlm. 20)

Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hafizh rahimahullah dalam Fathul Bari (1/64).

Adapun Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menyebutkan dua sisi mengapa jihad tidak dimasukkan dalam hadits ini, yaitu:

  1. Jihad adalah fardhu kifayah menurut pendapat jumhur ulama, bukan fardhu ‘ain, berbeda halnya dengan lima rukun ini.
  2. Jihad tidak selamanya dilakukan sampai akhir masa, bahkan ketika nanti Nabi ‘Isa ‘alaihissalam turun ke bumi, saat itu tidak ada agama selain Islam. Maka diletakkanlah perlengkapan perang karena tidak ada jihad melawan orang kafir. Berbeda halnya dengan kelima rukun ini, karena kelimanya diwajibkan atas setiap mukmin sampai datang hari kiamat. (Jami’ul Ulum, 1/152)

Islam Diibaratkan Sebuah Bangunan

Islam dibangun di atas lima perkara yang diibaratkan seperti tiang-tiang bagi bangunan Islam. (Jami’ul Ulum, 1/145)

Abul ‘Abbas al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Lima perkara yang disebutkan dalam hadits ini adalah asas agama Islam dan kaidahnya, yang di atas asas inilah Islam itu dibangun dan ditegakkan.” (Syarhul Arba’in Haditsan, hlm. 20)

Islam yang merupakan bangunan secara maknawi juga bisa diserupakan dengan bangunan secara hakiki/inderawi. Sisi keserupaannya, bangunan fisik bila roboh sebagian tiangnya maka bangunan itu tidak bisa tegak dengan sempurna. Demikian pula bangunan secara maknawi. Sebagaimana rumah sempurna dengan tiang-tiangnya, Islam pun sempurna dengan rukun-rukunnya yang lima ini. Siapa yang menjalankan dengan baik kelima rukunnya, maka sungguh telah sempurna Islamnya dan dia menjadi muslim yang sebenar-benarnya. Ia pantas mendapatkan janji dari sisi Allah ‘azza wa jalla berupa jannah (surga) nan penuh kenikmatan. (Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 24, Jami’ul Ulum, 1/98, kaset Durus Hadits al-Arba’in oleh asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh)

Apa yang disebutkan di sini merupakan fondasi dari bangunan Islam. Sementara kewajiban lain yang tidak disertakan penyebutannya merupakan pelengkap dan penyempurna Islam, yang bila hilang salah satu darinya, bangunan Islam kurang sempurna, namun ia tetap berdiri, tidak roboh. Berbeda halnya bila yang hilang itu salah satu dari lima rukun ini. Adapun seluruh perkara yang mustahab (sunnah, tidak wajib) merupakan perhiasan bagi bangunan Islam. (Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 25, Jami’ul Ulum, 1/145)

Islam sebagai Amalan Lahir

Kata Islam bila disebutkan secara mutlak dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah maka yang dimaksud bisa Islam secara umum dan Islam secara khusus. Islam yang umum adalah ketundukan yang meliputi semua makhluk baik dengan terpaksa maupun sukarela, dan tidak ada satu pun dari makhluk yang bisa keluar darinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

أَفَغَيۡرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبۡغُونَ وَلَهُۥٓ أَسۡلَمَ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ طَوۡعٗا وَكَرۡهٗا وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُونَ ٨٣

“Maka apakah mereka mencari agama yang selain agama Allah? Padahal kepada-Nya tunduk berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan sukarela maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya lah mereka dikembalikan.” (Ali ‘Imran: 83)

Hanya agama Islam inilah yang diterima oleh Allah ‘azza wa jalla dari hamba-hamba-Nya yang mukallaf (yang telah baligh dan berakal). Karena itu, Nabi Adam ‘alaihissalam dan seluruh para nabi serta para pengikut mereka berada di atas agama Islam yang merupakan Islam yang umum. Islam inilah yang ditafsirkan dengan kalimat berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mentauhidkan-Nya, terikat kepada-Nya dengan menaati-Nya, dan berlepas diri dari kesyirikan berikut pelakunya. Adapun Islam yang khusus adalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesamaan antara Islam yang umum dengan yang khusus adalah dari sisi tauhid dan akidah, sedangkan dari sisi syariat berbeda-beda. Syariat agama yang diajarkan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam berbeda dengan yang diajarkan Nabi Musa ‘alaihissalam dan berbeda pula dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (kaset Durus Arba’in, asy-Syaikh Shalih)

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini memiliki tiga tingkatan yang masing-masingnya memiliki rukun, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan (al-Ushuluts Tsalatsah, hlm. 8). Adapun Islam sebagai tingkatan pertama dari tiga tingkatan yang ada, berkaitan dengan amalan jawarih (anggota badan) yang lahir, baik berupa ucapan maupun perbuatan (Jami’ul Ulum, 1/98), sebagaimana hal ini diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam yang masyhur.

Perlu diketahui bahwa Islam tidak sebatas lima rukun ini. Namun seluruh amalan lahir masuk dalam penamaan Islam. Yang menunjukkan hal ini adalah seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang kaum muslimin merasa aman dari lisan dan tangannya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 10, 6484 dan Muslim no. 40)

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa menahan diri dari mengganggu dan menyakiti orang lain termasuk amalan seseorang yang memeluk agama Islam.

Ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang dikatakan sebagai Islam yang baik?”

Beliau menjawab dengan menyebutkan amalan berikut, “Engkau memberi makan kepada orang lain dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal ataupun tidak engkau kenal.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 12, 28, 6236 dan Muslim no. 1013)

Dengan demikian memberi makan kepada orang lain dan menebarkan salam termasuk amalan Islam.

Syahadatain

Yang dimaksud dengan syahadatain dalam hadits ini adalah beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ditunjukkan hal ini dalam riwayat al-Bukhari, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma (no. 4514), “Islam itu dibangun di atas lima asas: iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dalam riwayat Muslim, dari Sa’d bin ‘Ubaidah dari Ibnu ‘Umar disebutkan dengan lafadz, “Islam itu dibangun di atas lima asas yaitu agar Allah ‘azza wa jalla ditauhidkan (diesakan).” Dalam lafadz lain, “Agar Allah ‘azza wa jalla diibadahi dan sesembahan yang selain-Nya dikufuri/diingkari.” Dalam riwayat Ahmad (4/364), “Agar engkau beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” Dengan demikian tahulah kita bahwa iman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam kandungan amalan Islam.

Adapun makna syahadat Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sesembahan yang haq/benar selain hanya Allah ‘azza wa jalla, dan inilah yang dimaksud dengan kalimat tauhid. Kalimat Laa ilaaha meniadakan segala apa yang disembah selain Allah ‘azza wa jalla, sedangkan kalimat illallah menetapkan ibadah itu hanya untuk Allah ‘azza wa jalla saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 59, at-Tauhid Awwalan Ya Du’at al-Islam, asy-Syaikh al-Albani, hlm. 10)

Makna syahadat Muhammadan rasulullah adalah menaatinya dalam apa yang beliau perintahkan, membenarkan apa yang beliau kabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan cerca, dan tidaklah Allah ‘azza wa jalla diibadahi kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. (Ushuluts Tsalatsah, hlm. 8—9)

Kedua syahadat ini tidak sekadar diucapkan dengan lisan, namun harus disertai pembenaran di dalam hati dan direalisasikan dengan perbuatan. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 59)

Syahadatain ini adalah tiang Islam yang paling utama. Karena, dengannya akan terjaga darah dan harta orang yang mengucapkannya, akan diterima amalan seorang hamba, akan diampuni dosa seberapa pun besarnya, serta merupakan sebab masuk surga dan selamat dari neraka.

Empat rukun yang disebutkan setelah syahadatain dibangun di atas syahadatain ini. Karena tidak sah satu pun dari empat rukun tersebut kecuali setelah adanya syahadatain.

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

(Bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari


[1] Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16

[2] Riwayat Hanzhalah yang dimaksud adalah riwayat dari jalan Hanzhalah dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

[3] Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriyah sementara haji pada tahun ke-6 Hijriyah, ada juga yang mengatakan tahun ke-9 Hijriyah.