Sabar Berpisah dengan Permata Hati
Ujian akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Bentuknya pun bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah kematian anak. Sabar adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh seorang muslim agar mendapatkan kebaikan dari ujian yang menimpanya.
Berpisah untuk selamanya di dunia dengan anak yang dikasihi memang suatu kepedihan yang tertoreh begitu dalam di lubuk hati seorang insan. Apatah lagi dia seorang ibu yang pernah merasakan mengandung si anak, melahirkan, mengasuh, dan membesarkannya. Rasanya tak sanggup membayangkan hari-hari berlalu tanpa mendengar dan melihat celoteh, tawa canda, keceriaan, tangis, dan jeritannya.
Namun, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengambil kembali milik-Nya, karena memang Dialah Pemilik yang hakiki. Dia berbuat sekehendak-Nya dengan hikmah-Nya yang agung dan dengan kemahaadilan-Nya.
قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia inginkan maka Dia lakukan, sehingga yang sepantasnya terlantun dari lisan seorang hamba yang beriman adalah kalimat istirja’, Innalillahi wa inna ilaihi raji’un dan dia berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dia diberi pahala dengan ujian/musibah yang menimpanya, diberikan ganti dengan yang lebih baik daripada musibah tersebut dan diberi taufik untuk bersabar dengan kesabaran yang indah. Wallahu al-musta’an.
Demikianlah yang seharusnya dilakukan seorang ibu bila Allah subhanahu wa ta’ala mengambil permata hatinya. Dia bersabar, ridha, dan ihtisab (meniatkan kesabaran itu untuk mendapatkan pahala dari-Nya agar Allah subhanahu wa ta’ala menghitungnya sebagai amalan saleh)!
Ujian Itu Suatu Kemestian
Tidak ada seorang mukmin pun yang hidup di muka bumi ini kecuali dia akan diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dia Yang Mahasuci berfirman dalam tanzil-Nya,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ ١٥٧
“Kami sungguh-sungguh akan menguji kalian dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa[1], dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un’. Mereka itulah yang mendapat pujian dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (Al-Baqarah:155—157)
Asy–Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Dia pasti akan menimpakan ujian kepada hamba-hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang jujur dalam imannya dan siapa yang dusta, siapa yang berkeluh kesah, dan siapa yang sabar.
Ini adalah sunnatullah terhadap hamba-hamba- Nya. Andai kelapangan dan kesenangan itu terus-menerus diperoleh orang yang beriman dan dia tidak diberi ujian, niscaya akan terjadi percampuran (orang yang benar imannya dengan orang yang dusta dalam keimanannya-pen.) yang hal itu adalah kerusakan.
Sementara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki dipisahkan/dibedakannya orang yang baik dari orang yang jelek. Inilah faedah ujian. Ujian itu bukanlah bertujuan menghilangkan iman kaum mukminin dan bukan pula tujuannya menolak mereka dari agama mereka.” Beliau rahimahullah berkata lagi, “Siapa yang diberi taufik oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk bersabar ketika ditimpa musibah, maka dia akan menahan dirinya dari sikap marah (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dia mengharapkan pahalanya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan dia tahu pahala yang diperoleh dengan kesabarannya lebih besar daripada musibah yang menimpanya.
Bahkan musibah itu bisa menjadi kenikmatan bagi dirinya. Karena, musibah tersebut menjadi sebuah jalan yang mengantarkannya kepada perkara yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya.
Orang yang berbuat demikian sungguh telah berpegang dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan dia beruntung memperoleh pahala-Nya.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 76). Untuknya dipersembahkan kabar gembira dari sabda Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala inginkan kebaikan baginya maka Allah subhanahu wa ta’ala berikan musibah padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5645)
Surga yang Dijanjikan bagi Orang yang Bersabar
Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang mau bersabar dengan musibah yang menimpanya. Janji ini teruntai lewat lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Tidak ada balasan yang diperoleh seorang hamba- Ku yang mukmin di sisi-Ku ketika Aku mengambil orang yang dikasihinya dari penduduk dunia kemudian dia bersabar (karena mengharapkan pahala dari-Ku), kecuali (dia akan memperoleh) surga’.” (HR. al-Bukhari no. 6424)
Maka, duhai ibu, betapa kecil dukamu karena perpisahan dengannya bila dibanding dengan jannah (surga) Allah subhanahu wa ta’ala yang kan engkau peroleh. Bersabar dan harapkanlah pahala dari-Nya!
Satu lagi berita yang semoga dapat menggembirakanmu dan meringankan dukamu. Abu Sinan bertutur, “Aku telah meletakkan anakku dalam kuburnya. Ketika aku masih berada dalam liang kubur tiba-tiba Abu Thalhah al-Khaulani memegang tanganku lalu ia mengeluarkan aku. “Maukah aku beri kabar gembira padamu?” tanyanya. “Tentu,” jawabku. “Telah menceritakan padaku sdh-Dhahhak bin Abdirrahman dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ: يَا مَلَكَ الْمَوْتِ قَبَضْتَ وَلَدَ عَبْدِيْ؟ قَبَضْتَ قُرَّةَ عَيْنِهِ وَثَمْرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ. قَالَ: ابْنُوا لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai Malaikat Maut, engkau telah mencabut ruh anak dari hamba-Ku? Engkau telah mencabut ruh penyejuk matanya dan buah hatinya?”
Malaikat maut menjawab, “Ya.”
Allah berfirman, “Lalu apa yang diucapkan hamba-Ku itu?” (Dan Allah Mahatahu –pen.)
“Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja’,” jawab Malaikat Maut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kalau begitu bangunkan untuknya sebuah rumah di surga dan beri nama rumah itu dengan Baitul Hamdi.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 795)
Ingat pula kisah kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha menghadapi kematian putranya, sehingga Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuk diri dan suaminya di malam itu. Allah subhanahu wa ta’ala pun dengan kemahaadilan dan kasih sayang-Nya menggantikan untuk keduanya dengan anak yang lebih baik, yang kelak melahirkan sembilan anak yang hafal al-Qur’an. Subhanallah! (HR. al-Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144)
Tangis Tidaklah Meniadakan Kesabaran
Bersabar ketika anak meninggal dunia bukanlah berarti seseorang tidak diperkenankan menangis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
… إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلاَ بِحُزْنِ الْقَلْبِ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah mengazab seorang hamba karena tetesan air matanya dan tidak pula karena kesedihan hatinya….” (HR. al-Bukhari no. 1304 dan Muslim no. 924)
Bahkan tangisan itu adalah rahmat, tanda kasih sayang di hati seorang hamba. Yang dilarang dalam hal ini bila tangis itu berupa ratapan, dengan berteriak-teriak dan mengucapkan kata-kata sebagai pertanda tidak ridha dengan ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala atau melakukan tindakan-tindakan yang diharamkan seperti memukul pipi, merobek kantung baju, dan lainnya (melakukan niyahah).
Adapun sekadar meneteskan air mata karena didorong kesedihan hati maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengalaminya. Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhuma maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkisah, “Putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seseorang untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menyampaikan pesannya, ‘Putraku telah menjelang wafatnya, maka mohon ayah datang ke tempat kami’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirim utusannya guna menyampaikan salam beliau dan mengatakan, “Sesungguhnya milik Allah subhanahu wa ta’ala lah apa yang Dia ambil dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang tertentu. Karena itu hendaklah engkau bersabar dan ihtisab-lah.”
Setelah mendapat pesan demikian, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengirim seseorang untuk menemui beliau dan bersumpah agar beliau mau mendatanginya. Beliau pun menuju rumah putrinya ditemani Sa’ad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa orang lainnya radhiallahu ‘anhum. Cucu beliau yang menjelang ajalnya itu pun diangkat kepada beliau.
Beliau mendudukkannya di pangkuan beliau sementara napas anak itu berguncang. Mengalirlah air mata beliau.
Sa’ad pun bertanya, “Ya Rasulullah, tangisan apakah ini?”
“Tangisan ini adalah rahmat yang Allah subhanahu wa ta’ala jadikan di hati hamba-hamba-Nya,” jawab beliau.
Dalam satu riwayat, “Tangisan ini adalah rahmat yang Allah subhanahu wa ta’ala tempatkan di hati-hati hamba yang Dia kehendaki dan Allah subhanahu wa ta’ala hanyalah merahmati hamba-hamba-Nya yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR. al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923)
Duhai ibu, bersabarlah dengan musibah yang menimpamu dan harapkanlah pahala dari Rabbmu Yang Maha Pengasih!!!
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Seperti meninggalnya sahabat, kerabat dan orang-orang yang dicintai termasuk dalam hal ini kehilangan anak-anak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/256; Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 76)