Sikap Keliru Ketika Sakit (bagian 1)

(ditulis oleh:  Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)

Allah l dengan keadilan dan kasih sayang-Nya menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan kesusahan, kelapangan dan kesempitan, agar menjadi jelas siapa yang bersabar dan bersyukur sehingga pantas memetik balasan kebaikan, dan siapa yang berkeluh kesah lagi kufur hingga berbuah keburukan.
Allah l berfirman:
“Dan Kami menimpakan kepada kalian kejelekan dan kebaikan sebagai fitnah/ujian.” (al-Anbiya: 35)
Di antara kesusahan yang ditetapkan-Nya bisa menimpa para hamba yang dikehendaki-Nya adalah hilangnya kesehatan. Dengan kata lain, menderita sakit. Ya, sakit yang mendera seorang hamba merupakan ujian Allah l, sebagai penambah pahala apabila disertai iman dan sabar, penghapus dosa dan dapat mengangkat derajat si hamba.
Anas ibnu Malik z berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَـم الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ kإِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَى وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya, besarnya balasan (pahala) disertai dengan besarnya ujian. Sungguh, apabila Allah k mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, ia akan meraih keridhaan-Nya pula. Sebaliknya, siapa yang marah (tidak menerima ketetapan Allah) maka ia pun beroleh kemurkaan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031, dinyatakan hasan dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah)
Abu Said al-Khudri z dan Abu Hurairah z menyampaikan dari Nabi n:
مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلاَ نَصَبٍ، وَلاَ سَقَمٍ، وَ لاَ حَزَنٍ، حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ، إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
“Tidaklah seorang muslim terus-menerus ditimpa oleh penyakit, tidak pula kepayahan, sakit, kesedihan, sampaipun dukacita yang dirasakannya, melainkan dengan itu akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya.” (HR. al-Bukhari no. 5641, 5642 dan Muslim no. 6513)
Aisyah x memberitakan ucapan Rasulullah n:
مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا، إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةً
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau tertimpa rasa sakit yang lebih dari itu melainkan Allah l akan mengangkat si sakit satu derajat sebagai balasan sakit yang dideritanya dan Allah l hapus darinya satu kesalahan.” (HR. Muslim no. 6507)
Tentu keutamaan yang telah kita sebutkan di atas hanya bisa diraih apabila si sakit ‘menanggung sakitnya’ sesuai dengan bimbingan syariat.

Kesalahan yang Biasa Terjadi
Di saat sakit, si penderita merasakan ketidaknyamanan layaknya orang sehat, hatinya pun terasa tak lapang. Mungkin karena keadaan ini, jatuhlah si sakit ke dalam beberapa kesalahan. Di antaranya:

1. Meninggalkan shalat
Ini adalah kesalahan terberat yang dilakukan oleh orang yang sakit. Dengan kondisi yang dialaminya, si sakit mungkin menyangka ia diberi uzur untuk tidak mengerjakan shalat, seperti keadaannya yang sedang diinfus atau dipasang alat-alat medis pada tubuhnya. Ia merasa tidak mungkin mengerjakan shalat dalam kondisi tersebut. Padahal, selama masih berakal, ia tidak boleh meninggalkan shalat selain ketika bertepatan dengan waktu haid atau nifasnya (apabila ia seorang wanita).
Oleh karena itu, si sakit tetap wajib mengerjakan shalat semampunya. Apabila ia bisa mengerjakannya dengan berdiri maka ia berdiri. Jika tidak, ada keringanan syariat untuknya: ia boleh mengerjakannya sambil duduk. Apabila tidak bisa juga maka sambil berbaring. Hal ini berdasar hadits ‘Imran ibnu Hushain z, Rasulullah n bersabda kepadanya saat ia menanyakan tentang shalat sehubungan dengan sakit bawasir/ambeien yang dideritanya:
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah engkau dalam keadaan berdiri. Jika tidak bisa, duduklah. Jika tidak mampu juga, shalatlah dalam keadaan berbaring.” (HR. al-Bukhari no. 1117)
Dalam ar-Raudhah an-Nadiyah (I/312) disebutkan bahwa jika si sakit beruzur (tidak mampu) mengerjakan tata cara shalat untuk orang sakit sebagaimana yang dinyatakan oleh syariat, ia mengerjakan shalat dengan cara lain sebagaimana keterangan yang ada dalam as-Sunnah. Apabila tidak mampu juga, ia melakukan apa yang ia sanggupi dan mampu (istitha’ah) melaksanakannya karena Allah l berfirman:
ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku perintahkan kalian dengan satu perkara, kerjakanlah perkara tersebut semampu kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim no. 6066)
Seandainya orang sakit dengan uzur yang ada padanya boleh meninggalkan shalat, niscaya Rasulullah n tidak akan menyuruhnya shalat dalam keadaan duduk1 atau berbaring sesuai dengan kemampuannya.
Kalau si sakit beralasan ia tidak bisa berwudhu sendiri karena tubuhnya yang lemah maka bisa dibantu dan diwudhukan oleh orang lain.
Apabila sakitnya menyebabkan ia tidak bisa terkena air, bisa bersuci dengan debu yang diistilahkan sebagai tayammum.
Apabila ia tidak bisa menghadap kiblat karena posisi tempat tidurnya tidak bisa dipindahkan, dan ia sendiri tidak bisa bergerak karena sakitnya, atau tidak diperbolehkan mengangkat tubuhnya untuk berpindah posisi menghadap kiblat apalagi turun dari tempat tidur, ia shalat menghadap ke mana saja yang ia mampu.
Demikianlah, hendaknya orang-orang yang sakit tetap memprioritaskan urusan shalatnya dan tidak menganggapnya remeh karena urusannya besar.
Abdullah ibnu Syaqiq t, seorang tabi’in yang mulia, berkata, “Para sahabat Muhammad n tidaklah memandang ada suatu amalan yang jika ditinggalkan seseorang akan menyebabkannya kafir selain shalat.” (HR. at-Tirmidzi)2
Al-Imam Ibnul Qayyim t menyatakan, kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan shalat fardhu secara sengaja termasuk dosa yang paling besar, kabair/dosa besar yang terbesar. Dosanya di sisi Allah l lebih besar daripada dosa membunuh jiwa dan mengambil harta orang lain. Lebih besar pula daripada dosa zina, mencuri, dan minum khamr. Pelakunya dihadapkan kepada hukuman Allah l, kemurkaan-Nya, dan kehinaan yang akan ditimpakan di dunia dan akhirat. (ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 7)
Al-Imam Ibnu Baz t berkata, “Sakit yang sedang diderita tidak boleh menghalangi seseorang untuk menunaikan shalat dengan alasan tidak mampu bersuci, selama akalnya masih ada. Orang yang sedang sakit tetap wajib mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuannya. Ia bersuci dengan air (berwudhu) apabila memang ia mampu. Namun, apabila tidak mampu menggunakan air, ia bisa tayammum dan mengerjakan shalat.
Saat datang waktu shalat, ia harus mencuci najis yang ada pada tubuh dan pakaiannya. Atau ia mengganti pakaian yang kena najis tersebut dengan pakaian yang bersih/suci. Jika ia tidak mampu membersihkan najis yang ada dan tidak dapat pula mengganti pakaian yang najis dengan pakaian yang suci, gugurlah kewajiban tersebut darinya. Ia shalat sesuai dengan keadaannya, berdasar firman Allah l:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
Juga berdalil sabda Nabi n:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku perintahkan kalian dengan satu perkara maka kerjakanlah perkara tersebut semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikian juga sabda Nabi n kepada ‘Imran ibnu Hushain z tatkala mengadukan sakitnya kepada beliau n,
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah engkau dalam keadaan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah. Apabila tidak mampu pula maka berbaringlah di atas rusuk.” (HR. al-Bukhari dalam Shahihnya)
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dengan sanad yang sahih, dengan tambahan,
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا
“Jika tidak mampu juga, telentanglah.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 10/307)

2. Menunda shalat hingga keluar waktunya
Sebagaimana orang yang sehat, orang yang sedang sakit pun harus mengerjakan shalat pada waktunya sesuai dengan kemampuannya. Tidak boleh ia mengulur-ulur pelaksanaan shalat hingga habis waktunya, karena Allah l berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 103)
Ulama menggolongkan perbuatan menunda shalat hingga keluar dari waktunya sebagai salah satu dari dosa besar. Dalilnya adalah firman Allah l:
“Datanglah setelah mereka satu generasi yang mereka suka menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat. Kelak mereka ini akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Al-Imam Ibnul Qayyim t menyebutkan bahwa para sahabat dan tabi’in menafsirkan penyia-nyiaan shalat dengan mengerjakannya saat waktu shalat sudah habis.
Al-Imam Ibnu Baz t berkata, “Tidak boleh meninggalkan shalat bagaimanapun keadaannya. Bahkan, seorang mukallaf wajib untuk lebih bersemangat mengerjakan shalat di hari-hari sakitnya daripada semangatnya di hari-hari sehatnya. Ia tidak boleh meninggalkan shalat wajib sampai keluar/habis waktunya sekalipun ia sedang sakit, selama akalnya masih ada. Ia tetap menunaikan shalat pada waktunya sesuai dengan kemampuannya.”
Apabila memang sangat berat bagi si sakit mengerjakan shalat pada waktunya masing-masing, ia boleh menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau shalat Maghrib dan Isya, baik dengan jamak taqdim3 maupun ta’khir (di waktu shalat yang kedua), sesuai dengan kelapangannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Menurut al-Imam Ahmad, al-Imam Malik, dan sekelompok pengikut asy-Syafi’i, seseorang boleh menjamak shalat karena sakit.” (Majmu’ Fatawa, 24/28)
Ketika al-Imam Albani t ditanya tentang shalat jamak bagi orang yang sakit, beliau menjawab, “Sesuai dengan kebutuhan. Jika memang butuh, ia boleh menjamaknya. Namun, jika tidak, ia tidak boleh menjamaknya.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, 2/351)

3. Tidak mau bersuci padahal masih bisa melakukannya
Orang yang sedang sakit tetap wajib bersuci atau berwudhu setiap kali hendak shalat, berdalil dengan sabda Rasulullah n:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.” (HR Muslim no. 534)
Apabila ternyata si sakit tidak bisa menggunakan air, ia boleh bertayammum. Andai tayammum pun tidak bisa, ia tetap shalat sesuai dengan keadaannya dan ia tidak berdosa. Yang penting, ia tidak meninggalkan shalat dengan berbagai alasan yang ada.

4. Berkeluh kesah dan berputus asa dari rahmat Allah l
Sebagian orang yang menderita sakit yang lama merasakan kejenuhan sehingga ia berkeluh kesah dan berputus asa dari rahmat Allah l. Tentu hal ini menyelisihi ucapan Rasulullah n:
لاَ يَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَ هُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ
“Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan ia husnuzhan/berbaik sangka kepada Allah l.” (HR. Muslim no. 7158)
Ulama mengatakan, di sini ada peringatan untuk tidak berputus asa dan di sisi lain ada anjuran untuk raja’ (berharap akan beroleh rahmat Allah l) saat tutup usia. Makna husnuzhan kepada Allah l adalah menyangka Allah l akan merahmatinya dan memaafkannya. (al-Minhaj, 17/206)
Dengan demikian, orang yang sakit wajib sangat berhati-hati dari sikap berputus asa dari rahmat Allah l.
Fadhalah ibnu Ubaid z menyampaikan dari Rasulullah n, sabda beliau:
ثَلاَثَةٌ لاَ تَسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهُ k بِرِدَائِهِ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ، وَإِزَارَهُ الْعِزُّ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
“Ada tiga golongan yang kamu tidak usah menanyakan mereka (isyarat bahwa mereka akan mendapat siksa/hukuman di akhirat), yaitu: seseorang yang ingin menyaingi Allah k dengan mengenakan rida’/selendang-Nya, karena rida’-Nya adalah kesombongan dan izar-Nya adalah kemuliaan; (Yang kedua) seorang yang ragu tentang perkara Allah; dan (ketiga) putus asa dari rahmat Allah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, dinyatakan sahih oleh al-Imam Albani t dalam ash-Shahihah no. 542)

5. Murka dan tidak sabar terhadap takdir Allah l yang menyakitkan
Semua yang ada di alam ini terjadi dengan takdir Allah l, yang baik atau yang buruk. Mengimani hal ini termasuk kandungan rukun iman yang keenam, yaitu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Satu contoh takdir yang buruk adalah sakit yang diderita seseorang. Sebagai hamba yang beriman kepada Allah l, si penderita atau si sakit harus menghadapinya dengan kesabaran. Dalam sebuah hadits disebutkan:
مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidaklah seseorang diberi dengan suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas/lapang daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan, “Bersabar atas musibah yang menimpa itu wajib menurut kesepakatan para imam agama ini.”
Murid beliau, Ibnul Qayyim t berkata, “Sabar itu wajib menurut kesepakatan umat. Sabar adalah setengah iman karena iman itu terbagi dua: setengahnya adalah sabar dan setengahnya adalah syukur.”
Seorang muslimah pernah bertanya kepada Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t, “Saya menderita sakit. Terkadang saya menangis memikirkan keadaan saya ketika sakit ini. Apakah tangisan ini bermakna berpaling dari Allah l dan tidak ridha dengan ketetapan-Nya? Hal ini terjadi tanpa kesengajaan saya. Apakah menceritakan tentang sakit yang dirasakan kepada orang-orang dekat termasuk perkara yang dilarang?”
Samahatusy Syaikh t menjawab, “Tidak ada dosa bagi Anda untuk menangis (karena sakit yang diderita) apabila tangisan itu sekadar meneteskan air mata tanpa disertai ratapan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi n tatkala putra beliau dari Mariyah al-Qibthiyyah x, yakni Ibrahim, meninggal dunia:
الْعَيْنُ تَدْمَعُ وَالْقَلْبُ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى الرَّبُّ، وَإِنَّا لِفِرَاقِكَ، يَا إبْرَاهِيْمُ، لَمَحْزُوْنُوْنَ
“Mata menangis, hati pun bersedih. Namun, kami tidak mengucapkan ucapan selain apa yang diridhai oleh Rabb kami. Sungguh, dengan perpisahan denganmu, wahai Ibrahim, kami merasakan kesedihan.”
Hadits yang semakna dengan ini banyak.
Tidak masalah pula bagi Anda untuk memberitakan kepada karib kerabat dan teman-teman tentang sakit Anda, disertai dengan pujian kepada Allah l, mensyukuri, menyanjung, dan meminta kesembuhan kepada-Nya, serta menempuh sebab-sebab yang dibolehkan untuk beroleh kesembuhan. Kami wasiatkan kepada Anda agar bersabar dan mengharapkan pahala. Bergembiralah dengan kebaikan, berdasarkan firman Allah l:
“Hanyalah orang-orang yang bersabar ditunaikan pahala mereka tanpa batas/perhitungan.” (az-Zumar: 10)
Dan firman-Nya:
“Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang bila mereka ditimpa musibah, mereka mengatakan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali).’ Mereka itulah yang beroleh shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)
Juga berdasarkan sabda Nabi n:
مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلاَ نَصَبٍ، وَلاَ سَقَمٍ، وَ لاَ حَزَنٍ، حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ، إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
“Tidaklah seorang muslim terus-menerus ditimpa oleh penyakit, tidak pula kepayahan, sakit, kesedihan, sampaipun dukacita yang dirasakannya, melainkan dengan itu akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya.”
Rasulullah n bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Siapa yang Allah l kehendaki kebaikan baginya maka Allah l akan menimpakan musibah kepadanya.”
Kita memohon kepada Allah l agar menganugerahkan kesembuhan kepada kita dan ‘afiat serta hati dan amal yang baik/saleh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mengabulkan doa.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Mutanawwi’ah, 4/144)

6. Bergantung kepada selain Allah l, baik kepada dokter maupun lainnya.
Seorang muslim memang diperintah untuk menempuh sebab dan hal ini tidak bertentangan dengan keharusan bersabar serta bertawakal. Ibnul Qayyim t berkata, “Adapun memberitakan kepada seseorang tentang keadaan yang sedang dialami, apabila maksudnya adalah meminta tolong agar ia diberi bimbingan/arahan, atau diberi bantuan, atau sebagai perantara agar kesusahannya hilang, si hamba tidaklah dicela dengan penyampaiannya tersebut. Misalnya, seorang yang sakit memberitahu dokter tentang keluhan yang dirasakannya.”
Sama sekali tidak ada dosa bagi si sakit untuk berobat dan menempuh sebab yang bisa mengantarkannya kepada kesembuhan dengan izin Allah l, seperti mencari dan berobat kepada seorang dokter yang ahli.
Akan tetapi, ia wajib menggantungkan hati dan harapannya hanya kepada Allah l. Ia harus menyadari bahwa dokter dan obat hanyalah sebab kesembuhan semata, bukan yang menyembuhkan. Yang menyembuhkan segala penyakit secara hakiki hanyalah Allah l. Allah l berfirman menyebutkan ucapan Nabi Ibrahim q:
“Dan apabila aku sakit maka Dia-lah yang menyembuhkanku.” (asy-Syu’ara: 80)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata tentang makna ayat di atas, “Maksudnya, apabila aku jatuh sakit, tidak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkanku selain Dia dengan apa yang Dia takdirkan berupa sebab-sebab yang mengantarkan kepada kesembuhan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/46).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(insya Allah bersambung)

Catatan Kaki:

1 Cara duduknya sebagaimana duduk dalam shalat, iftirasy atau tawarruk. Kalau si sakit tidak mampu, ia boleh duduk tarabbu’ atau bersila. Rasulullah n pernah shalat dengan duduk bersila saat sakitnya, sebagaimana berita Aisyah x yang dikeluarkan oleh an-Nasa’i dan dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i. Apabila tidak mampu juga, hendaklah ia duduk dengan posisi yang nyaman baginya. Demikian faedah yang disampaikan oleh al-Imam al-Albani t ketika ditanya tentang masalah ini. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, 2/317)

2 Masalah orang meninggalkan shalat dengan sengaja karena malas, bukan karena menentang kewajiban shalat, diperselisihkan oleh ulama. Di antara mereka ada yang mengafirkan. Ada pula yang berpendapat tidak mengafirkannya, namun diberi sanksi yang berat dengan dipenjara, diberi waktu tiga hari untuk bertaubat dan kembali mengerjakan shalat. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh (dan yang melakukannya adalah pemerintah muslim, bukan individu, red.). Wallahu a’lam.

3 Dikerjakan di waktu shalat yang pertama. Misalnya, shalat zhuhur dan ashar dikerjakan di waktu zhuhur.